#MDS 11#

"Sekar … sebenarnya aku-aku, …"

Tiba-tiba sebuah sepeda motor melintas di hadapan keduanya.

"Nak Zain? Apa yang kamu lakukan di sini, dan siapa gadis ini?" tanyanya.

"Ehm … anu, Pak. Dia-dia."

Pria paruh baya yang mengendarai sepeda motor itu bernama ustadz Anwar, dialah ayah kandung Hanum, gadis yang dijodohkan dengan Zainal.

"Bukankah kamu sudah menyetujui perjodohanmu dengan Hanum? Kenapa kamu masih saja berani mendekati gadis lain?" cecar pria berpeci itu.

"Bukan begitu, Pak. Saya dari kantor balai desa. Kebetulan sawah milik orang tua saya melewati rumah Sekar, jadi sekalian saya mengantar Sekar pulang," papar Zainal.

"Memangnya dia anak kecil, pakai diantar segala. Saya tadi dari rumah kamu, tapi rumahmu kosong."

"Abah dan umi masih di sawah, Pak."

"Kamu susul mereka sekarang. Ada hal penting yang harus kami bicarakan."

"Kalau boleh tahu, hal penting apa, Pak?"

"Saya ingin mempercepat pernikahanmu dengan Hanum," ucap pak Anwar seraya melirik ke arah Sekar.

"A-a-apa?!"

"Dua hari lagi Hanum wisuda, jadi saya berencana menikahkan kalian di bulan ini."

Zainal terdiam, ia bingung bagaimana harus menanggapi ucapan pak Anwar.

"Kenapa kamu diam saja, cepat ke sawah dan minta kedua orangtuamu segera pulang."

"Nggih, Pak. Ehm … Sekar, maaf aku duluan."

Sekar menganggukkan kepalanya.

"Lihat penampilanmu, kamu sama sekali tidak pantas untuk Zainal," ucap pak Anwar sesaat setelah Zainal berlalu.

"Saya tahu diri siapa saya, lagipula saya dan mas Zainal tidak memiliki hubungan apapun," jelas Sekar.

"Bagus lah kalau begitu. Awas saja kalau sekali lagi saya melihatmu jalan bersama Zainal!" ancam pak Anwar.

Beberapa saat kemudian kedua orang tua Sekar, Darman dan Sumirah muncul. Mereka terlihat lari tergopoh-gopoh ke arah anak gadisnya itu.

"Ya Allah, Nduk. Kamu nggak apa-apa 'kan, Nduk? Tadi mbok dengar dari katanya kamu hampir dilecehkan si Husein yang edan itu," ucap Sumirah.

"Alhamdulillah, aku nggak apa-apa, Mbok. Husein sudah diamankan di kantor balai desa. Warga sudah melaporkannya pada polisi," papar Suci.

"Syukurin! Biar tahu rasa. Anak kepala desa kok tidak punya akhlak!" umpat Sumirah.

"Pak Anwar dari mana dan mau kemana?" tanya pak Darman.

"Oh, jadi gadis ini anak kalian."

"Benar, Pak. Sekar ini anak sulung kami."

"Bilang padanya jangan dekat-dekat dengan pemuda yang sudah punya calon istri."

"Maksud Bapak apa?"

"Tadi saya lihat anak kalian ini jalan bareng Zainal."

"Apa benar begitu, Nduk?" tanya pak Darman.

"Aku-aku dan mas Zain hanya jalan bareng dari kantor balai desa saja kok

Pak."

"Ya sudah, kita pulang sekarang. Kami permisi dulu, Pak."

Darman bersama istri dan anak perempuannya itu pun lalu meninggalkan tempat tersebut.

"Kamu beneran nggak diapa-apakan sama si Husein itu 'kan, Nduk?" tanya Darman.

"Alhamdulillah, tadi aku berhasil melawan Husein dengan mendorongnya ke dalam kolam."

"Bagus! Untung saja kamu bukan gadis yang lemah. Bisa habis kamu kalau kamu hanya bisa pasrah saja," ujar Darman.

"Owalah. Gak Hasan, nggak Husein … sama saja. Tingkahnya bikin malu orangtua."

"Oh ya, Pak. Tadi di balai desa sempat terjadi keributan lantaran warga memaksa pak Lurah Handoko untuk lengser dari jabatannya. Mereka merasa apa yang dilakukan Hasan dan Husein tidak memberi contoh yang baik bagi warga," ucap Sekar.

"Bapak setuju! Jujur bapak juga kurang menyukai kepemimpinan pak Handoko. Dia pilih kasih pada warganya. Dia berlaku baik hanya dengan warga yang yang kaya saja."

"Bapak dan Mbok tidak kembali lagi ke sawah?" tanya Sekar.

"Nanggung, ini nanti saja setelah makan siang. Kamu sudah masak 'kan?"

"Sudah, Pak. Tadi aku masak urap sama goreng pindang."

"Bu ne, kita makan siang dulu," ucap Darman.

"Bapak duluan saja. Aku mau angkat jemuran dulu."

Darman pun lantas menuju ruang makan.

"Weladalah! Se*an alas! Ning ndi kabeh panganane?!"

(Kemana semua makanannya?)

"Ada apa, Pak?" tanya Sekar.

"Lihat, makanan nya hilang lagi. Sebenarnya siapa yang dari kemarin berbuat jahil? Manusia atau makhluk halus?!"

Lagi-lagi Darman dibuat meradang saat mendapati meja makan itu kosong tanpa ada makanan sama sekali.

"Ya Allah Gusti! Makanan yang sudah kumasak tadi?!" pekik Sekar.

"Ono opo to, Nduk?" tanya Sumirah yang baru saja masuk setelah mengangkat jemuran.

"Iki loh Bu ne, panganan e ilang maneh."

(Ini lho Bu, makanannya hilang lagi) Sebenarnya ini ulah manusia atau makhluk halus?!"

"Kamu beneran sudah masak 'kan, Nduk?"

"Sudah, Bu."

"Lalu, kemana, makanannya? Sepertinya memang ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini," gumam Sumirah.

"Sepertinya sudah cukup lama kita tidak mengadakan selamatan di rumah ini. Bagaimana kalau kita adakan selamatan, Pak?"

"Kamu benar, Bune. Mungkin penghuni alas di belakang rumah kita ingin mengingatkan kita agar kita tidak abai dengan hal itu. Ya sudah, setelah panen cabai besok, kita adakan selamatan di rumah ini," ucap Darman. Sumirah mengangguk setuju.

"Ya sudah, bu ne masak lagi buat Bapak. Di dapur masih ada sisa sawi."

*****

Sore itu Sumirah tengah berada di dapur untuk memasak air sadapan pohon kelapa. Darman juga berada di ruangan itu melepas lelah sembari minum segelas kopi dan singkong rebus.

"Tumben jam segini si Gendhis belum pulang, Bu ne?"

"Gendhis itu kan sudah kelas tiga. Mungkin ada les tambahan di sekolahnya."

"Bagaimana kalau setelah lulus nanti Gendhis minta kuliah? Bapak semakin merasa tidak adil saja pada si Sekar," ucap Darman.

"Kita beri pengertian pada Gendhis kalau kuliah itu perlu biaya yang besar. Memang sekarang harga cabe sedang tinggi, tapi bagaimana kalau di tengah jalan nanti kalau tidak bisa melanjutkan membiayai kuliahnya karena harga cabe yang tiba-tiba anjlok?"

"Itu yang Bune khawatirkan."

Tiba-tiba terdengar suara teriakan Sekar dari arah halaman rumah.

"Bapak! Mbok!"

"Ada apa sih, Nduk, kok teriak-teriak."

"Gendhis, Pak … Mbok."

"Iya, kenapa dengan Gendhis?"

"Barusan ada tetangga yang memberitahu kalau Gendhis dan temannya tertabrak mobil di jalan raya dekat sekolah mereka."

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un."

"Lalu bagaimanakah keadaan adikmu?"

"Aku belum tahu, Pak. Kita disuruh datang ke rumah sakit secepatnya."

"Ayo Pak ne, kita cepat ke sana," ucap Sumirah. Raut wajahnya tiba-tiba berubah panik.

"Ya sudah kamu matikan dulu apinya, lalu kita berangkat ke rumah sakit."

Sumirah bergegas mematikan api. Mereka bertiga pun lantas menuju rumah sakit.

Di depan ruang tindakan tampak beberapa remaja yang mengenakan seragam sekolah.

"Pak … Bu … Mbak," sapa salah satu di antara mereka.

"Kalian teman-temannya Gendhis ya?" tanya Darman.

"Iya, Pak."

"Apa yang terjadi pada anak saya?"

"Ehm … saat pulang sekolah tadi Gendhis Gendhis berboncengan dengan Anto. Tapi di perempatan jalan sepeda motor mereka ditabrak angkutan umum."

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un."

"Lantas, bagaimana keadaan mereka sekarang?" Sumirah menimpali.

"Mereka masih dalam penanganan dokter."

"Ya Allah Gusti, semoga Gendhis baik-baik saja," lirih Sumirah.

Beberapa saat kemudian pintu ruangan terbuka. Tampak seorang dokter keluar dari dalam ruangan itu.

"Bagaimana keadaan mereka, Dok?" tanya Darman.

Dokter itu menghela nafas berat.

"Maaf jika saya sudah menyampaikan kabar kurang baik. Kecelakaan itu mengakibatkan kedua pasien terluka parah sebab keduanya tidak mengenakan helm. Keduanya mengalami cidera parah di bagian kepalanya, bahkan pasien perempuan mengalami patah tulang di bagian tangan kanannya karena sempat terlempar beberapa meter dari kendaraan yang mereka tumpangi," ungkapnya.

Tentu saja penjelasan dari dokter membuat tubuh Sumirah mendadak lemas. Ia bisa saja ambruk di lantai jika Sekar tidak cepat-cepat menopangnya.

"Ya Allah Gusti, Gendhis!" pekik Sumirah.

"Kedua pasien harus menjalani operasi secepatnya, jadi saya harap Bapak dan Ibu segera mengurus administrasi."

"Apa, Dok? Operasi?"

"Benar, Pak. Hanya itu cuma satu-satunya jalan yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan nyawa kedua pasien, Maaf, saya permisi dulu."

Dokter itu pun lantas berlalu dari hadapan mereka.

"Ya Allah, Pak ne, dari mana kita mendapatkan uang untuk biaya operasi Gendhis?" tanya Sumirah sesaat setelah dokter berlalu.

Darman tampak terdiam. Pun kebingungan tidak bisa disembunyikan dari raut wajahnya.

Tidak berselang lama seorang pria dan wanita muncul dan menghampiri mereka.

"Di mana Anto? Bagaimana keadaannya?" tanyanya si wanita.

"Anto masih di dalam, Bu. Barusan dokter mengatakan dia harus segera menjalani operasi," jawab salah satu teman sekelas Anto.

"Operasi? Ya Allah, Pak, dari mana kita bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi Anto?"

"Maaf, Pak, Bu, apa Bapak dan Ibu ini orang tuanya Anto?" tanya Darman.

"Benar, Pak. Bapak dan ibu sendiri siapa?"

"Mereka ini orang tuanya Gendhis, Bu," jelas salah satu remaja berseragam.

"Gendhis?"

"Gendhis teman sekelas kami yang tadi membonceng sepeda motor Anto."

"Oh, jadi gara-gara kalian anak saya celaka. Pasti anak kalian minta diantar pulang ke rumahnya 'kan?" cecar si wanita.

"Ibu Jangan menyalahkan anak kami secara sepihak. Yang terjadi ini adalah musibah, bisa menimpa pada siapa saja," ujar Sumirah.

"Pokoknya kami akan menuntut anak Bapak dan Ibu jika terjadi sesuatu pada Anto!" ancam si wanita.

"Sudah Bu, Jangan ribut-ribut begini. Lebih baik sekarang kita pikirkan bagaimana cara kita mendapatkan uang untuk biaya operasi Anto," ucap si pria Ia lantas merangkul pundak si wanita kemudian mengajaknya duduk di sebuah bangku.

"Maaf ,Suster, kalau boleh tahu berapa biaya operasi itu anak kami?" tanya Darman pada seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang tindakan.

"Di sini pasien perempuan mengalami luka yang lebih parah. Biaya operasi yang diperlukan cukup besar, sekitar 25 juta rupiah," jelas perawat.

Sekali lagi tubuh Sumirah dibuat lemas. Ia pun terduduk lesu di bangku panjang itu.

"Bagaimana ini, Pak. Kita harus mencari uang 25 juta untuk menyelamatkan nyawa Gendhis," ucap Sumirah.

Darman tampak berpikir keras sebelum akhirnya memberikan jawaban yang mengejutkan.

"Pak Wiguna."

"Pak Wiguna? Kenapa Bapak tiba-tiba menyebut nama itu?"

"Hanya pak Wiguna satu-satunya orang yang bisa menolong kita saat ini."

"Bapak kan tahu,dia lintah darat. Jangan sampai kita berurusan dengannya."

"Lalu, dari mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?" Kalau kita mengajukan pinjaman uang ke bank prosesnya akan memakan waktu berhari-hari. Sedangkan kita membutuhkan uang itu hari ini, sekarang."

Suasana hening sejenak.

"Bapak akan menggadaikan sawah kita untuk meminjam uang pada pak Wiguna."

"Tapi, Pak, …"

"Tidak ada jalan lain Bu ne."

Meskipun berat, akhirnya Sumirah mengangguk setuju.

Sekitar satu jam kemudian.

Darman kembali menghampiri Sumirah dan Sekar yang masih belum beranjak dari depan ruang tindakan.

"Bagaimana, Pak? Apa pak Wiguna memberi pinjaman uang untuk kita?" tanya Sumirah.

"Ya, Bu. Tapi, …"

"Tapi kenapa, Pak?"

"Syaratnya cukup berat. Setiap bulan kita harus membayar cicilan beserta bunganya sebesar 10%."

"Bapak setuju saja dengan syarat itu?"

"Mau bagaimana lagi? Bapak terpaksa menyetujui syarat itu. Kita tidak bisa menunda operasi Gendhis. Ini urusan nyawa, Bu," papar Darman.

"Bapak benar, Mbok. Uang insya Allah bisa dicari lagi, tetapi nyawa tidak ada gantinya."

"Tapi itu loh, syaratnya memberatkan sekali. Bagaimana kalau kita tidak bisa membayar cicilannya setiap bulan?"

"Mbok jangan mikir macam-macam. Yang terpenting sekarang adalah keselamatan Gendhis," tukas Sekar.

"Ya sudah, bapak ke bagian administrasi dulu."

Menjelang Maghrib, operasi Gendhis pun selesai dilakukan.

"Alhamdulillah, Nduk, kamu masih diberi keselamatan," ucap Sumirah sesaat setelah Gendhis sadar."

"Bapak … Mbok … Mbak Sekar. Kepalaku .. tanganku?"

"Kamu baru saja selesai menjalani operasi, Nduk," jelas Darman.

"Operasi? Bapak dapat uang dari mana untuk membayar biaya operasi Gendhis?"

"Sudah, kamu tidak usah memikirkan itu. Yang terpenting sekarang kamu bisa sembuh dan bisa segera pulang."

"Bagaimana kamu bisa mengalami kecelakaan, Nduk?" tanya Sumirah.

Gendhis mencoba mengingat peristiwa kecelakaan yang dialaminya sore tadi.

"Seingatku sepeda motor yang kami tumpangi baru saja menyeberang. Tiba-tiba saja aku merasa sesuatu menghantamku dengan begitu keras dari arah belakang. Aku tidak ingat apapun lagi setelahnya," ungkapnya. "Oh ya bagaimana keadaan Anto?" tanyanya kemudian.

"Bapak nggak tahu. Tapi tadi kami sempat mendengar obrolan orang tuanya yang juga kebingungan mencari uang untuk biaya operasi anak mereka."

"Anto itu siapa? Apa kamu sudah mulai pacaran?" tanya Sumirah.

"Ehm … nggak kok, Mbok. Dia hanya teman sekelasku. Rumahnya di desa Tegalwangi. Karena rumah kita searah, jadi dia sering memboncengku."

"Sekolah saja dulu yang benar, jangan mikir pacaran." Darman menimpali.

Tiba-tiba terdengar jeritan histeris dari seorang wanita yang berasal dari sebuah ruang perawatan. Demi menjawab rasa penasarannya, Sekar pun beranjak dari ruangan itu dan memeriksanya.

"Ada apa di ruangan itu, Sus?" tanyanya pada seorang perawat belum baru saja keluar dari ruangan tersebut.

"Pasien korban kecelakaan sore tadi baru saja meninggal dunia karena terlambat mendapatkan tindakan."

"Innalillahi wa inna ilaihiroji'un."

"Apakah nama pasien itu Anto, Sus?"

"Ya, benar, Mbak."

Meskipun hidup dan mati seseorang berada di tangan Allah, namun sepertinya Sekar harus berterima kasih pada pak Wiguna. Karena uang pinjaman dari nya lah Gendhis bisa mendapatkan tindakan operasi secepatnya sehingga nyawanya bisa tertolong. Jika tanpa bantuannya mungkin saja nasib adik perempuannya itu akan sama dengan Anto.

Bersambung …

Hai, pembaca setia, jangan lupa beri dukungannya ya. Beri like, komentar positif, fav, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰

Happy reading…

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!