Televisi layar datar yang berada di ruang tamu pun dimatikan, Zaneta meletakkan remote pada tempat semula.
Acara yang ia tonton sedari tadi membosankan, tetapi matanya juga belum bisa terpejam. kepalanya pusing, tetapi tak ingin berbaring.
Ck, kenapa tiba-tiba ia merindukan kampung halaman?
Tak terasa, jarum jam telah menunjuk pada angka dua-belas-kurang.
Itu berarti, hampir empat jam ia berada sendirian di ruangan itu. Dan selama itu pula, Diero mengasingkan diri dengan 'keasyikan' di balkon.
Kesendirian tetap menjadi teman setia. Namun, tak apa, Zaneta menyukainya. Telah terbiasa.
Dua porsi Pasta yang tadi ia beli masih terbungkus di atas meja makan. Sudah dingin, mungkin.
Sebenarnya jika ingin, Zaneta bisa saja memakannya tanpa perlu menunggu suami tak tahu dirinys itu. Namun, kebetulan tak berselera.
Kerongkongannya mendadak ingin dialiri wine- pengobat rasa suntuk terbaik, menurut Zaneta.
Jika ia meminumnya, tak ada 'kan yang keberatan?
Pintu balkon pun memecah sunyi. Tergeser, membuat deritannya.
Zaneta yang baru saja membawa MacBook dari kamar, disuguhkan dengan pemandangan pria-berwajah-merah-padam. Kenapa?
Merasa diperhatikan, Diero pun ber kikuk ria sembari mengunci pintu kembali. Apa dia terlihat aneh, sekarang?
"Ku kira... kau sudah terjun bunuh diri.“
"Aku ke toilet dulu."
Tangkisan cepat itu membuat wanita Romero kembali berhela. Ujaran sarkastik nya tak membawa pengaruh rupanya. Oh...
Zaneta berhela kesekian kali, memutuskan ruang tamu menjadi tempat pelepas inspirasinya sekarang.
Jika Ayahnya tahu bahwa ia telat makan, mungkin bisa kacau orang tua itu. Namun, Zaneta sudah tak peduli lagi.
Untuk apa makan, untuk apa mengisi perut jika hatinya tetap kosong di dalam sana? Sebenarnya tak ada hubungan, memang. Pft.
Cekungan tipis itu mencoba tersungging. Saatnya kembali berkutat dengan naskah tersayang.
Tengah malam, rasa sepi, dan secangkir macchiato, perpaduan sempurna untuk menyelaraskan diri dengan dunia yang ia bangun sendiri. Dunia fiksi.
***
Sial, kenapa baru terasa dinginnya? Diero mengusapi lengan beberapa kali setelah keluar dari toilet.
Wajah rupawan itu baru selesai terbasuh, terikut pula dengan surai atas coklat-gelap yang lembab.
Bungkusan plastik di atas meja menjadi perhatian Diero kini. Gelas yang tadinya terpegang, ia letakkan kembali.
Baru ingat, selesai mandi tadi perutnya memang belum terisi apa pun. Ck, apa hal 'itu' membuatnya melupakan rasa lapar?
"Kau sudah makan?" Pertanyaan Diero membelah keheningan, mengarah pada wanita yang duduk anteng di ruang tamu Memunggunginya.
"Sudah."
Hampir perutnya tergelitik. Sudah, katanya?
Nyatanya Diero menemukan kertas pembayaran setelah menggeledah isi kantung itu, kemudian mengeluarkan satu-persatu. Dua porsi pasta tertulis di sana.
Sudahlah, jangan mengkadali buaya.
Diero berkacak sebentar. "Ayo, makan."
Ajakan dari dapur belum juga mengusik Zaneta dari ketikannya. Wanita berikat cepol itu masih menarikan jemari pada papan ketik, inspirasi sedang tumpah' di otaknya sekarang. "Nanti."
Decakan kasar pun Diero ujarkan.
Rasa bersalah pun mulai merasuki, berpikir bahwa sejak tadi Zaneta menunggunya hanya untuk makan? Benar-benar bodoh.
Diero sadar bahwa kastanya sudah naik satu kelas sekarang, atau dalam arti lain; 'istimewa' di mata Zaneta.
Namun, ya... tak harus seperti itu untuk menarik perhatiannya. Diero tak mau menyulitkan orang lain, satu mindset gila lagi dari Uncle Pecinta Uang itu.
"Ayo, makan," ulangnya lagi. Sekarang posisinya sudah berdiri dekat sofa, mengamati Zaneta yang berkencan dengan benda mati. Ia seperti radio rusak, sekarang.
"Maksudku nan—"
Zaneta mengerjap. MacBook nya telah tertutup sempurna, digantikan oleh pria berkaus hijau lumut yang menatapnya dengan serius.
Tarikan tangan tak ayal membuat Zaneta mengekori sang suami. Membawanya pada ruang makan yang sudah terhidang pasta di atas meja.
"Bos-mafia itu bisa membunuhku jika tahu putrinya tak teratur makan."
Bokong Zaneta terhempas pada kursi. Barulah ia merasakan nyeri pada perut keroncongan, tepatnya.
Kebaikan dari seorang Diero La Martin kali ini tak begitu ia tanggapi. Tidak murni baik.
Hanya menyeret Ayahnya sebagai alasan, bukanlah bisa dianggap sebagai sebuah kebaikan. Itu benar, memang.
Alasan dari Diero memperlakukan Zaneta dengan baik karena Ayah wanita itu yang menyeramkan. Lebih horror dari hantu-hantu musim panas.
Untung ini hanya simulasi. Bisa gila dia jika ditakdirkan memiliki bentukan mertua jelmaan piranha Amazon itu.
Belum ada obrolan lanjutan dari pasangan baru tersebut, kunyahan beserta gesekan garpu lah yang menjadi latar pemecah kecanggungan mereka.
Sungguh, keadaan yang tidak mengenakkan. Bahkan untuk mencari topik obrolan saja, rasa nya susah sekali.
"Kau... tentang rutemu itu ... bagaimana?" Diero meneguk air sebentar. "Aku masih belum paham." Akhirnya, satu topik berhasil ia singgung.
Bukannya apa, hanya mencegah agar Zaneta tak beranjak dan memilih menemaninya dalam satu meja.
Sepertinya, sih... berhasil. "Oh, benar juga. Sebentar."
S*al, kemana lagi dia? Diero melongok tak puas pada punggung yang sudah melesat menuju kamar. Baru saja ditahan sudah lepas lagi.
la mengusap dagu gemas, kenapa senyuman tipis di pesawat itu tiba-tiba saja membayangi benak? Ini gila.
Bagaimana caranya membuat senyuman itu muncul lagi?
Bersambung ....
Bagaimana caranya? Ada saran untuk Diero?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments