Sheep May Safely Graze milik Bach mengalun merdu, menjadi latar belakang dari penyambutan para tamu yang mulai mengisi taman itu.
Pernikahan ini memang ber tempat kan pada langit biru yang menjadi pondasi mereka, pita-pita serta mawar putih tersemat indah pada tiang, kursi-kursi yang berderet rapi, serta dominasi hijaunya rerumputan yang semakin menyegarkan mata.
Tak jauh di dekat altar kayu, Diero beberapa kali terlihat membenahi sarung tangan. Sial, kenapa ia jadi gugup begini? Meskipun ini hanyalah 'simulasi' baginya, tetap saja rasanya benar-benar seperti akan melaksanakan seumur hidup.
Beberapa pria ber-jas hitam-rekannya yang mulai berbaris di sekitar altar sesekali melempar gurauan, seakan meledek mempelai pria tampan yang sudah seperti 'kebakaran jenggot'.
Tak kalah hebohnya dengan Alwar-si dalang utama dari semua skenario apik ini. "Begini saja kau sudah grogi, bagaimana jika 'malam pertama'?" bisiknya.
Terlonjak lah sang mempelai pria, hampir saja ia mengumpati seisi kebun binatang pada pria itu. Jika tidak mengatas namakan pertemanan saja, mungkin .... “Diam kau."
Jelas bayang-bayang 'malam pertama' tak ada sekalipun dalam benak seorang Diero La Martin. Se-mesum apa pun ia, itu bukanlah hal penting Se-mesum apa pun ia, itu bukanlah hal penting untuk dibahas saat ini. Melihat tamu-tamu dari pihak wanita saja sudah membuat kepalanya hampir meledak.
'Aku percaya padamu, Uncle. Laksanakan dengan baik, maka uang imbalan akan segera mengalir pada rekeningmu.'
Baiklah, La Martin. Anggap ini adalah panggung teater—bukan, lebih tepatnya pentas besar ... kau membintangi film ternama. Orang-orang berpakaian resmi yang tengah duduk di sana hanyalah penonton—maha—benar, mereka hanya penonton. Ingat itu.
Diero menerima dengan segera kotak cincin yang baru saja diberikan oleh Alwar, lalu memasukkan pada saku celana.
Tamu-tamunya pun seakan ikut menikmati skenario ini, teman-temannya sangat bisa diandalkan.
"Good luck, bro!"
Diero mengangguk mantap.
***
Limosin hitam dengan simpulan pita dan kembang putih melaju mengarungi aspal mulus, dalamnya ada sang mempelai wanita ditemani sang Ayah. Dua sosok itu saling mengimbangi mimik kegugupan.
"Papa, aku ...." Zaneta menggigit bibir dalamnya, seakan ada yang akan meledak dari pelupuk mata sebentar lagi. Sesak.
"Jangan menangis, jangan mau dikalahkan oleh bocah bren*sek itu.“
"Papa, aku mau diberkati ... bukan menjadi peserta arena tinju," rengek nya lepas. Makin gusar lah dia, jelas Tuan Romero tak handal menghibur diri di saat semacam ini.
Jujur, beliau juga gugup. Ini adalah pertama dan terakhir untuk Tuan Romero, semua harus berjalan lancar di sisa usianya. “Lakukan yang terbaik, Nak. Rilekskan dirimu, Mama-mu juga seperti ini dulu saat diantarkan pada Papa."
Sebenarnya, merelakan putri kecil di jaga pada orang lain bukanlah hal yang mudah dilakukan oleh banyak Ayah di muka bumi ini.
Begitu juga pada Tuan Romero. Namun, kebahagiaan putri tunggalnya haruslah ia junjung di atas segalanya. Merelakan Zaneta yang akan dibahagiakan orang lain, beliau harus siap.
Hampir pecah tangisannya, mendapati usapan penguatan pada bahu. Zaneta mendongak kecil, menahan bulir bening yang mendesak keluar. "Maafkan, aku... Papa."
"Ck, jangan menangis." Tuan Romero ber desis kecil sembari memeluk erat putri-nya. Sial, kenapa lama sekali sampainya? "Pak Supir, tolong pilihkan jalan yang bagus. Putri-ku sedang tidak enak badan," titahnya sangar.
Seumur hidup... benarkah, ini harus seumur hidup baginya? Seandainya kebenaran yang terjadi juga seindah ini.
Papa, maaf. Mama... maaf.
***
Lamunan Diero sontak buyar kala mendengar riuhan kecil dari dudukan tamu, para jemaat mulai berdiri berbarengan sembari menoleh pada gerbang kayu. Jantung nya semakin menggila di dalam sana, seperti akan menjumpai malaikat-maut.
Bukan, ini hari putih. Tak seharus nya ia berpikiran tak mendasar semacam itu.
Anak kecil dengan taburan bunga mulai memasuki gerbang kayu, disusul oleh wanita bergaun putih off-shoulder menggandeng sang Ayah.
Ada beberapa wanita dengan terusan oranye memegangi ujung gaun sang mempelai wanita saat menyapu rerumputan-Katia dan Imelda, teman kuliah Zaneta dulu.
Wedding March dari Mendelssohn mengiringi prosesi kedatangan mempelai wanita. Sial, Diero tak bisa mengatupkan bibir beberapa saat.
Katakanlah jika dia norak atau apa, rasanya ia pun tak peduli lagi. Pupil nya tak kalah turut membesar, menangkap objek rupawan yang mendekati altar-menghampirinya.
Katakan jika ini mimpi?
Sungguh, pesona wanita dengan gaun pengantin tak bisa terelakkan untuk dilewatkan.
Tegukan saliva baru saja mengaliri tenggorokan. Diero menggangguk santun tatkala tepukan erat pada bahu ia terima. Padahal kepalan tangan itu hampir mendarat tepat pada kepalanya tadi. Orang tua sialan, memang.
“Kau ... jaga putri-ku. Ingat pesanku kemarin.“
"O-oh ...," angguknya kaku. Merilekskan otot wajahnya yang baru disapa bos-mafia barusan.
Setelah sesi mengantar mempelai wanita dari sang Ayah selesai, acara inti beserta pembacaan firman pun dimulai.
Nah, disinilah Diero hampir kehabisan napas. Dia butuh inhaler, tolong.
"Saudara Diero La Martin, apakah Anda bersedia menerima Zaneta Romero menjadi pendamping hidupmu, baik suka maupun duka sampai maut memisahkan kalian?"
Lord..."Aku bersedia."
"Saudari Zaneta Romero, apakah Anda bersedia menerima Diero La Martin menjadi pendamping hidupmu, baik suka maupun duka sampai maut memisahkan kalian?"
I do. "Aku bersedia."
Sekilas Diero melirik ekspresi Zaneta yang tenang, tak menyimpan kegilaan seperti dirinya. Apa si-gi*a ini sering menjadi janda di kehidupan sebelumnya? Diero bergumam khawatir.
Pembacaan ikrar suci serta pemberkatan pun dibacakan oleh Pendeta, dilanjutkan dengan penyematan cincin dan, ehm ... tebak saja apa.
Diero merogoh saku, sedikit gugup ia rasa. Belum lagi wanita 'cantik' di depannya yang turut mengawasi gerak-gerik, semakin kacau lah ia. kotak beludru itu pun dibukanya, lalu memasangkan cincin pada jari manis sang 'istri'. Hampir saja jatuh, astaga.
Bergantian oleh Zaneta, wanita itu menyematkan dengan perlahan cincin sang mantan-calon-suami pada lelaki bayarannya. Tipe anak-ayah yang penurut sekali.
Dan... longgar? Tuhan, bencana macam apa lagi ini?
"Ehm." Deheman Diero berhasil mengusir hawa yang tadinya hampir mencekam.
Tepuk tangan sukacita pun mengarah pada mereka, mem buat rasa percaya diri di antara keduanya mulai meningkat.
Baiklah. Zaneta, anggap bahwa pria ini si mantan-calon-suami mu. Dan Diero, anggap pula bahwa wanita ini si kekasih-aslimu.
Zaneta hampir limbung, memberikan lirikan kita-akan-'melakukan'nya kala Diero mengikis jarak di antara mereka.
Memang apa lagi? Tentu saja. Itulah momen intinya.
Kecupan lembut itu langsung ter layang pada bibir Zaneta, matilah dia.
Bagus, La Martin. Lakukan terus.
Cengkraman pada bahu kokoh itu Zaneta berikan, sedikit me**umat, tetapi tidak begitu mendominasi, keduanya terpejam beberapa detik.
Tautan kecil pada bibir itu terlepas, bersama dengan pasangan yang saling meninggalkan semburat merah muda pada pipi.
Dari bangku tamu, Lindka mencubit pelan lengan Alwar. Melihat orang berc***man saja ia sudah mau menangis, payah sekali.
"Kau mau juga?" Alwar meledek kekasihnya sembari menyeka pipi basah itu.
Lindka mengangguk. "Kau bodoh."
Tak disangka, perjuangan mereka untuk sahabatnya yang satu itu berbuah manis. Pastilah Zaneta merasa terobati dengan pengkhianatan itu.
'Would you be my last, Neta?'
Mendadak kepala Zaneta kosong, ucapan itu selalu terngiang dalam benaknya. Seperti kaset yang disengajakan rusak.
Sosok itu terus saja membayangi-pria berambut hitam, bertubuh tinggi tegap, juga cengiran hangat yang mudah sekali terpatri pada bibir itu.
For the last? ***** please.
You? Bullshit.
BERSAMBUNG ....
dan akhirnya mereka sah, apakah pernikahan mereka permanen? atau malah tak akan lama lagi mereka berpisah. dan semua pertanyaan itu, hanya mereka saja yang tahu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Devi Handayani
semangat thor😍😍😍😍
2023-02-06
0
lovely
hanya author nya yg tau 🤭 semangat up thour
2022-12-06
1