Malam pertama .

Diero meluruskan tubuhnya di atas ranjang king-size, sial-bahkan luasnya mencukupi empat orang untuk tidur bersama. Bibirnya tak henti berdecak, melihat nominal angka yang baru saja bertambah pada rekeningnya.

Ini gila. Ia tak sedang bermimpi 'kan?

Secepat itu bayarannya terlunaskan? Wanita-gila itu memang sangat cepat untuk urusan menghambur-hamburkan uang.

Ponselnya pun terlempar pada kasur, ia pun beranjak untuk menyadari bahwa setelan seragam pengantin masih saja menempel di badan.

Otot pada tubuhnya ia renggangkan, lelah sekali rasanya. Seperti baru mengangkat beban dari ratusan mil jauhnya.

Memang setelah acara outdoor itu usai, mereka langsung di'campakkan pada rumah Tuan Romero.

Entah disekap atau apa pun itu, tak ada yang ingin mengambil pusing untuk saat ini.

Dan, tak bisa dipungkiri lagi ... bahwa skenario mereka memang berhasil. Berhasil 'membius' para hadirin dengan khidmatnya prosesi sakral itu.

Tentu saja, selain Lindka dan Alwar—sepasang dalangnya.

"Aku masih penasaran, apa yang kau katakan pada papaku saat itu?" Zaneta yang masih berbalut gaun pengantin menghampiri Diero yang berdiri di tepi kasur.

"Apa?" sahutnya enteng.

"Apa papaku tak melakukan apa pun padamu? Seperti memukul ... menghajar, melukai, atau ....“ Tangannya terus bergerak panik, menggeledah—tepatnya meraba sekujur tubuh pria itu dengan kesetanan.

Tentu saja, si pemilik tubuh menghindar risih dengan perlakuan yang baru saja diterimanya. "Apa yang kau lakukan, sia ...” ucapannya mendadak menggantung, tatkala mendapati Zaneta yang semakin menunduk. Tepat di bawah perutnya, dimana....

".. lan."

ehm.

Diero membeku.

Menyadari keheningan, Zaneta pun mendongak kecil. Ya, memasang wajah datar seolah menganggap ini adalah hal biasa-mimik khasnya.

Tapi itu sudah luar biasa bagi Diero! Catat itu, Neta! Kau hampir saja membangunkan 'sesuatu' yang....

Bruk!

... tadinya terlelap' di dalam sana. Astaga.

"Sialan, kau!" Diero meringis kecil memegangi perut, posisinya kini terbaring kasar pada kasur. Pukulan Zaneta kuat juga, hampir lilitan ususnya berubah posisi di dalam sana.

Memang apanya yang salah? Zaneta terduduk pada tepi kasur, atasan gaunnya yang hampir melorot ia naikkan sesekali.

Menangkap hal itu, Diero beberapa kali menarik napas. Gelisah. Jadi, urat malu j*****g-gila ini sudah putus, rupanya?

"Jelaskan, apa yang kau katakan pada papa-ku?"

"Oh, bos-mafia itu?" sinisnya.

"Kenapa dengan mudahnya dia mengizinkanmu untuk hal itu...." Zaneta melepas perlahan satu persatu penjepit pada rambutnya. "... padahal sangat sulit untuk meluluhkan hatinya."

Diero kembali meluruskan tungkai yang masih di selimuti kaus kaki. "Hanya meladeni berduel catur dari ponselnya."

"Hanya itu?"

"Hm. Ku katakan juga bahwa kau sudah hamil anakku."

"Kau gila?!" Zaneta menoleh, matanya perlahan melebar tanpa ampun. Murka, tepatnya. Pantas saja....

"Justru aku menyelamatkanmu, hanya itu alasan yang menurutku pasti tak dapat ditolak oleh sebagian besar orang tua di muka bumi ini." Diero menghela kecil. "Dan aku juga menyayangi nyawaku, jika saja tak mengucapkan hal itu ... mungkin aku sudah ditemukan tewas karena dilempar dari lantai empat."

Merenung. Surai kehitaman itu kini tergerai, menutupi bahu yang sedari tadi terekspos jelas. Benar, juga. Ia melengos lesu. "Kalau begitu, ayo lakukan."

UHUK! Kali ini Diero benar-benar merasakan kupingnya berdengung, seakan ada ribuan lebah menerobos masuk ke sana. "Kau... gila...." Hampir ia kehabisan kosakata.

"Aku juga ingin merasakannya. Jadi, ayo lakukan." Memang, tak ada secuil kebercandaan yang terdapat pada iris kehitaman itu. Semacam putus asa, mungkin.

"S**t Jangan katakan kalau kau ...." Telunjuknya mengarah tepat pada wanita itu. Gemetar.

"Tentu saja."

S*AL! Haruskah Diero menghantamkan kepalanya pada tembok detik ini juga? Tentu saja di zaman 'gila' sekarang ... bisa dibilang; perawan hampir punah. Namun, yang ia dapati malah... sulit untuk ia terima.

"Rahimmu sudah ker***ut, ya? kasihan sekali.“ Diero menyindir sarkas. Masa bodoh, tabiat aslinya mulai mengambang detik itu juga. Masa bodoh juga pada klien yang bisa saja sakit hati atas ujarannya, itu benar-benar aib bodoh yang terlalu memalukan untuk diungkit di negeri ini.

Zaneta terdiam, pandangannya kembali tertuju pada meja rias-cerminan dirinya ada di sana. Sang pengantin yang menyedihkan, siratan tenang itu terus saja tak terlepas dari wajah 'bayi'nya. Sesekali mencuri lihat pada pantulan 'suami'-nya yang masih bersandar pada punggung kasur, seakan menunggu kejelasan yang akan ia ujarkan.

Namun, apa lagi yang harus ia jelaskan? Bukankah semua sudah jelas, she's still virgin, now and later.

"I'm a virgin. But, I've had o***l and a****l ****."

"Good girl" pujian itu diikuti oleh tepuk tangan kaku. Putus-putus. Antara takjub ataupun mengejek, sesuka Diero saja.

"Ah, aku tidak pandai bercanda ternyata." Mimik lesu itu tetap hinggap pada sosok wanita itu, ia pun menggeser posisi pada tengah kasur. Berusaha menghadap Diero yang malah mengambil jarak darinya.

Tentu saja ucapannya tadi itu tidaklah benar, tapi 'suami'-nya itu sudah berpikir yang tidak-tidak tadi.

Dalam kondisi diam itu, Diero menelisik figur wanita-bergaun-putih di depannya. Sial, bahkan wajah itu terlalu menyedihkan untuk ia analisis. Sedikit kasihan, sih. "Hah! Kau pura - pura lugu, kan?" desisnya frustrasi. "Kau memang terlihat idiot, tapi kau tak sepolos itu. Potong ... telingaku ... jika aku salah.”

"Memang ... aku sudah pernah tidur.'

Diero berlega.

"Tapi hanya tidur ... belum sampai m********h, menggeliat, menggelinjang, dan lain-lain."

God save our lim. Dosanya mungkin akan bertambah banyak sebentar lagi karena terlalu banyak menghujat. "Shiiit! Tapi kau penulis fiksi p*****o..."

"Lalu?"

"Ku pikir kau sudah handal melakukannya."

"Jadi ... menurutmu aktor yang memainkan peran pembunuh juga harus menjadi pembunuh dulu agar menghayati perannya? Tolong, gunakan otakmu. Daya khayal dan logika harus seimbang, Uncle."

Benar juga, ucapan enteng barusan tak bisa untuk Diero tepis. Sudahlah, mengalah saja kali ini. "Baiklah, ini memang di luar batas logikaku."

Zaneta terdiam, menatap kliennya yang masih terjebak dalam rasa ketidak-warasan. Sedikit lucu ia rasa, pria tampan bervisualisasikan bak dewa itu menjadi pasangan tidurnya kali ini.

Menghabiskan hari terbaik dalam hidup bersama pria asing demi keinginannya sendiri, dan... itu sudah cukup. Sepertinya.

Dan setelah itu... entahlah.

"Buahi aku."

Glek. "Kau... keracunan makanan, tadi?"

"Sok jual-mahal sekali, ck. Baru kali ini aku mendapati lelaki sewaan semacam ini." Helaan itu berakhir dengan tubuh mungil yang telah beranjak pada lemari pakaian.

Jadi, rasanya ditolak itu seperti ini rupanya?

"Listen, Baby. Aku memang lelaki bayaran, tapi bukan gigolo-alias 'pemuas' bayaranmu." Diero sontak terbelalak—" dan TOLONG ganti pakaianmu di tempat lain, Bung. Kau merusak pandanganku!" Hell yeah.

"Ini kamarku, kau saja yang keluar."

Diero memunggung sembari membuka kasar dasi beserta jasnya. Gerah. “Kalau begitu, aku tidur di luar saja.“

"Silahkan. Tapi jangan salahkan aku ... jika Papa langsung mengarahkan senapan buruannya ke arahmu, saat kakimu baru saja melangkah melewati pintu."

"****" Baiklah, segera tahu diri siapa yang 'menumpang' sekarang. Benar-benar keluarga gila. Welcome to the craziest Romero family, La Martin.

Tubuh wanita itu sudah berganti dengan piyama satin berwarna vanilla, kembali mendaratkan tempat pada posisi semula— menghadap Diero yang baru saja melucuti jas abu-abu pekat. “Buahi aku,” ulangnya lagi.

"Tolong tahan dulu," tatapnya sinis.

Sungguh, bercinta dengan orang asing dalam keadaan sadar bukanlah keinginannya. Tidak, bukan asing lagi.

Setidaknya ia telah tahu bahwa syaraf otak Zaneta telah bergeser sedikit dari tempatnya. Sungguh, untuk satu permintaan itu ... ia benar-benar selektif kali ini.

"Ck, bahkan jawabanmu persis sekali dengannya." Gantian Zaneta yang bersinis. Ya, jawaban itu persis sekali dengan jawaban yang ia terima dari pria 'itu'. Mengapa Diero hampir mengikuti gaya orang itu, sih? Zaneta berhipotesa liar.

"Aku tak akan membiarkan ******-ku melebur pada rahim yang sudah keriput."

"Tinggal pakai pengaman. Kenapa kau bodoh sekali? Bahkan aku bisa membelikanmu pabrik k*****m berlapiskan emas jika kau ingin."

Diero memijat kepalanya yang tidak pusing. Tidak, ia sudah pusing sekarang. "Maksudku ... ck, lupakan." Mengapa mengobrol dengan perawan-tua ini membuat syaraf emosinya jadi menukik tajam?

"Tapi, kau memang sedikit benar. Aku tak se'polos' itu." Zaneta mulai memperhatikan 'suami'-nya agak lamat. Intens. "Aku tahu... ukuran 'milik'mu hanya dalam sekali lihat.”

Diero berdehem. "Seperti apa?" Merasa tertantang? Tentu saja. Si j*****g-gila ini boleh juga sepertinya.

Zaneta mengacungkan kepalan tangannya, kemudian mencengkram siku lengan. "Se-'pan jang' ini, kan?"

Whoa.

Diero terkekeh pelan melihat wajah datar itu. Benar-benar bocah liar. "Itu seperti 'milik' keing leo-arrgh! Brengsek! kau ****** gila!"

Tak berniat melakukan apa pun, Zaneta hanya bisa terdiam mendapati Diero yang mengaduh memegangi kepala. Ya, itu pukulan kedua yang baru saja ia layangkan dari kepalan tangan tadi.

Gerak-gerik itu masih ia perhatikan, seakan membandingkan perilaku pria itu dengan sang mantan-alumni hatinya.

Tidak sama, ternyata. Jika dipukul pun, mantannya tidak akan seberlebihan ini dalam memberikan respon. Oh.

"Sebelum berpisah, kami memang melakukannya." Zaneta berhela. "Dia memberikan banyak ‘je jak' di dadaku.“ Tanpa sungkan, jemarinya bergerak pada kancing piyama, membuka kaitan itu satu persatu, tetapi ....

"Kau masih waras, kan? Bagaimana bisa dengan mudahnya kau menunjukkan hal seperti ini pada orang asing? Aku orang asing, Bodoh. Orang asing!"

Zaneta kembali tersadar, mendapati tangannya yang langsung ditahan oleh pria itu. “Aku hanya ingin berbagi cerita..."

"Tapi aku pria, aku normal! Aku punya nafsu, yang bisa menguntungkan ataupun merugikanmu nantinya," gertaknya garang.

Sungguh, ia sudah tak habis pikir dengan akal sehat Zaneta yang sudah terhempas jauh kali ini. Apa patah hati itu bisa berdampak buruk semacam ini?

Zaneta berhela. Tersenyum kecil, menghibur diri sendiri. "Apa aku tak semenarik itu, sampai orang asing sepertimu saja mencegahku?" cicitnya diikuti tepisan pelan dari tangan Diero.

Mereka kembali berposisi normal.

"Maksudku, bukan." Astaga. ck, mantanmu bodoh sekali. Melepas wanita bodoh sepertimu."

"Kami memang serasi," sahutnya datar.

Sejenak Diero terdiam, menggali kembali ruang dalam paru-paru yang sempat sesak. "Berterima kasihlah padaku, karena mendapat klien sepertiku ... kau terlindungi dari klien hidung-belang di luar sa—"

"Terima kasih."

"****"

Sepertinya Diero butuh roket kali ini. Bukan, bukan untuk mem bawa nya pergi ke antariksa terjauh.

Cukup otak nya saja yang di bawa pergi, kepala nya sudah ter lanjur hendak me ledak karena meng hadapi 'istri'-nya yang benar-benar mantan pasien rumah sakit jiwa.

Masih tidak mengerti ia dengan Alwar yang tahan menghadapi spesies wanita semacam ini.

Selesai mandi dan berganti pakaian, Diero mendapati wanita itu yang sedang bermain ponsel di atas kasur.

Syukurlah, perilaku 'istri'-nya agak normal kali ini. Diero mengelus dada sepintas, sembari melewati Zaneta yang berbaring tak acuh.

"Sepertinya, kontrakmu akan sedikit panjang kali ini."

Diero menoleh. "Oh? kenapa?" Wewangian ala baju-baru dari piyama yang ia pakai menusuk sesekali, sering-sering saja dibelanjakan begini.

"Firasatku, Papa akan mengirim kita ke luar negeri. 'Mencetak' cucu."

Sial, dia pikir membuat anak seperti membuat adonan pie apel? "Tak masalah, asal uangmu masih cukup menggaji aktor kawakan sepertiku."

Zaneta mengangguk pendek, menatap lepas pada pria yang baru saja merebahkan diri ke pinggir kasur. "Tenang saja, aku masih punya banyak uang. Membeli stok pakaian dalammu untuk setahun saja rasanya masih bersisa lebih."

"Sialan." Lagi-lagi ia tertohok. "Apa yang kau lakukan?" Netranya mengawasi Zaneta yang sedang membentangkan kantung tidur di lantai.

"Tidurlah di sini, Uncle. Aku tak akan membiarkanmu berada satu ranjang dengan pemilik-rahim-keriput." Zaneta berdecak kecil. "Ya, terkadang aku memang baik."

"O-oh..." Bibir Diero membulat Bengong. "Okay ... glacie."

"Grazie, Bodoh."

Terserah saja. Glacie, glatzier, grazie—itu bukan urusannya. Diero memilih menurut kali ini.

Beberapa menit pun terlewati, dan ... lampu pun padam.

Tidak, bukan padam sepenuh nya. Hanya ter ganti oleh lampu tidur.

"Nona rahim-k*******ut, bisa kah ... kau turun kan hawa pen dingin nya?" ujar Diero dari bawah.

"Laku kan saja sen diri."

"Sakit, Idiot" Untuk ke sekian kali ia me ringis. Apa tak ada cara yang lebih sopan lagi se lain me lempar remote ac?

Dahi nya baru saja ter hantam kuat, sasaran empuk memang. Mungkin besok ia benar-benar akan hilang ingatan setelah ini.

Semoga kontrak ini segera ber akhir, ia tak tahan. Sungguh.

"Selamat tidur, Uncle."

"You too, Bella."

Ber sambung ...

Bella arti nya cantik, ya.

Terpopuler

Comments

lovely

lovely

dihh zanata JD cewek terlalu agresif g ada harga diri SM skli kurang suka

2022-12-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!