Sabtu Pagi

Sabtu pagi yang dingin, dari luar kaca bening dihinggapi oleh titik-titik air yang saling memburu untuk mendarat pada bumi.

Ini sudah seminggu setelah 'pernikahan' putri Tuan Romero, berarti sudah lima hari Zaneta dan Diero 'pisah-ranjang'.

Ya, mereka memang sepakat dengan hal itu. Tidur di apartemen masing-masing, dan hanya bertemu bila ada urusan yang sangat penting.

Selain itu? Tidak. Bahkan mereka hampir lupa bertukaran kontak ponsel jika saja tak diingatkan oleh Alwar.

Sungguh, status yang sangat sederhana di zaman instan semacam ini. Ckck.

Zaneta menggigil, merapatkan sweater yang sudah menenggelamkan tubuh mungilnya. Entahlah, akhir-akhir ini rasanya ia tidak enak badan. Agak demam, tetapi masih berselera makan. Sangat.

Yang pasti ia belum hamil, Zaneta masih 'Tersegel' dan bergaransi.

Pintu pun berdenting.

"Nggh ...," gumamnya lesu. Sudah pengangguran seperti ini saja masih ada yang mengganggu waktu akhir pekannya.

Meskipun awalnya sengaja tak mengacuhkan, tetapi bel itu bergema terus-menerus. Tolong, siapapun tamu itu mengertilah dengan keadaannya saat ini.

Dengan gontai, ia menghampiri interkom. Demi Neptunus, sabtu paginya diawali dengan rasa keterkejutan yang amat sangat.

Hampir bola matanya melompat dari tempat, mendapati pria paruh baya dengan gaya yang sangat ia kenali menatap ke arah pintu. Oh? "Papa?"

Aneh. Biasanya Tuan Romero menghubungi lebih dulu sebelum mampir ke apartemennya. Namun ini, tumben...

"Ke mana dia?" decak Tuan Romero. Pintu pun terbuka, membuat harapan kecil beliau tersambut.

Dari dalam, Zaneta menyambut kedatangannya dengan senyuman khas. Semakin bahagia lah orang tua itu, mendadak rasa lelahnya menjadi terbalas dengan air muka putri kesayangannya itu.

"P-papa ...." Zaneta membiarkan Ayahnya melepas alas kaki, lalu kembali menutup pintu.

Tuan Romero memperhatikan sekilas sweater yang melekat pada tubuh putrinya. “Kau ... sakit?”

"Ah-tidak, Pa. Hanya baru bangun tidur.“ Tangannya menggandeng lengan Tuan Romero menuju ruang tamu. "Ayah ... sudah dari tadi menunggu?"

"Hm." Beliau melemparkan tatapan ke sekeliling ruangan. Belum ada perubahan letak atau penambahan apa pun pada perabot, masih terlihat dihuni oleh seorang saja. Seperti lalu-lalu. "Kenapa sepi? Mana Diero?"

Diero?

Sial, kenapa ia baru terpikir hal itu?!

"Apa dia tak mau tinggal bersamamu?"

Glek!

Diero ... ya, Diero ... di mana anak itu?! Zaneta mengambil beberapa detik untuk bungkam, berpikir keras. Tamatlah riwayatnya!

"Zaneta?"

"Dia masih sibuk, Pa. Di ... di luar kota, kemarin," sahutnya lembut kala duduk di sebelah Tuan Romero.

"Sekarang?"

"Oh, sekarang?" Die, you ... Neta! "Sekarang..."

***

Senyuman kecil terpatri pada kurva tipis pria itu, seakan ada ribuan bunga yang menghujani tubuhnya. Untuk hari ini, ia berhasil menepati janji—berkencan dengan Nidia.

Bagaimana ia tak senang? Jarang sekali kekasihnya itu mengajak bertemu lebih dulu. Selama dua tahun, begitu.

Ya, rasa kepercayaan diri semakin membukit dengan tebal dompetnya kali ini. Pasti Nidia akan senang nantinya, Diero berlega.

Kaki kanannya pun berhenti melanjutkan langkah, menyadari bokongnya terasa gatal. Oh, Tidak... Tidak. Bukan gatal, seperti ada sesuatu yang bergetar.

Oh, ponselnya rupanya.

Sialan. Kenapa ia lupa memblokir beberapa kontak untuk hari ini?

Diero merogoh saku belakang celana dengan ogah-ogahan, keparat memang. Jika ini getar telepon, ia tak mau mengangkatnya. Serius.

Rahim Keriput

Kau di mana? Papa di apartemenku. Sekarang.

"Heck!" Umpatannya menggema pada lorong apartemen. Untung sepi, ah. Mendadak Diero menoleh sekitar, jantungnya sudah seperti bermain trampolin di dalam sana. Kelimpungan.

Hampir ia berteriak frustrasi. Cobaan macam apa lagi ini?! "Asshh!" Mendadak sekujur tubuhnya dilanda gatal-gatal, hawa panas layaknya tersiram air mendidih menguasai diri.

Mati muda bukanlah pilihan yang diinginkannya saat ini. Jangan dulu, dia masih miskin... belum berpenghasilan tetap. Membeli tanah pemakaman saja belumlah mampu.

"Tenang, La Martin. Tenang ...." Diero menarik udara kecil lewat mulut. Ini pilihan yang teramat sulit dan sangat sulit, sungguh.

***

Lima belas menit jarum jam berputar menurut perkiraan Zaneta, dan selama itu pula lah Ayahnya memperlambat habisnya kudapan yang beliau bawa. Sengaja menunggu, mungkin.

Perbincangan yang sedari tadi ia ungkit bersama Tuan Romero tidaklah ia anggap serius, kepalanya seperti terpecah beberapa bagian di dalam sana.

Bahkan superhero saja akan muncul dengan segera saat dibutuhkan pada kondisi genting begini, tetapi pria bayaran itu ....

TING!

Ayah-anak itu sontak menoleh pada pintu, kemudian saling bertukar pandang. Zaneta langsung membersihkan bungkus-bungkus makanan yang berserakan kecil di meja, guna pengalihan suasana.

Padahal ia hampir mati karena rasa gugup. Tatapan Ayahnya benar-benar mengerikan kali ini.

Kenapa ia lupa memberitahu password apartemennya tadi? Ck.

"Bodoh sekali, kenapa tak langsung masuk."

"Dia sedikit pikun, Pa." Zaneta bercicit cepat. "Aku bukakan du—"

"Biar papa yang buka.“

"Papa ...." Gawat. Wanita berambut kehitaman itu tak dapat menahan pria bertubuh gempal itu kali ini.

"Papa ingin menyambut menantu tampan papa."

Tidak menyambut, mungkin lebih tepatnya-akan -menghakimi. Diero La Martin bodoh! Segera lah persiapkan dirimu untuk merasakan panasnya lidah api neraka.

Di luar, Diero menepuki paha dengan tidak sabar. Benar-benar seperti hendak mendatangi sarang mafia, ia dihinggapi gelenyar kegilaan selang belasan menit lalu.

Baru kali ini ia dipermainkan oleh orang tua yang tidak seberapa.

"Astaga!" bentaknya kala pintu terbuka. Bagaimana ia tak kaget saat disuguhi langsung oleh pemandangan gila yang hampir membuatnya meludah pada wajah itu? kau durhaka, La Martin. "Haha... Tuan Romero."

Sedikit kaget rasanya Tuan Romero, baru kali ini ada orang muda yang membentakinya di sepanjang usia.

Perlakuan barusan semakin menambah daftar pada ketidak-sopan-santunan Diero La Martin di mata mertuanya sendiri. “Tuan Romero?" ulangnya ganjil. "Panggil aku Papa, Brengsek."

"Oh. B-baik, Papa." Diero menahan ringisan kala kepalanya baru ditepuk kecil.

Benar-benar keluarga sialan, acara kencannya benar-benar hancur kali ini. Sorry, My beloved Nidia.

Lalu....

"Berapa cucu yang ingin kau berikan untukku?"

"Dua puluh ... mungkin?"

"Jackpot Ah-kau mau membunuh putriku?"

"Tapi aku yang Jackpot?"

"Sial, kenapa kau tak mau mengalah pada orang tua sepertiku?"

Dari dapur, Zaneta melongok kecil-memberi perhatian sekena pada suara yang saling bersahutan di ruang TV

Lagi-lagi ia berhela, menatap sampah-sampah yang baru saja ia geledah dari bufet. Lesu.

Untung sekali Diero bisa diandalkan lagi kali ini, tak perlu repot baginya untuk mencari kebohongan lain.

Dengan mudahnya, Tuan Romero percaya bahwa Zaneta baru saja keluar membeli makanan pesanan sang istri. 'Mengidam', katanya.

Mengidam cacing? Dengan kasar, dimasukkannya harta-karun' bungkusan bekas itu pada kantung hitam besar.

"Ke mana?" Sahutan protektif itu mengekori putrinya yang baru saja menggeret kantung sampah menuju pintu utama, meskipun netra itu tetap fokus pada kartu dalam genggam.

"Membuang sampah, Pa." Zaneta menyahut patuh sembari memakai sendal asal yang berserakan di dekat pintu.

Sial, kemana lagi dia? Bibir Diero seakan terkunci oleh tubuh mungil yang tadi melewatinya begitu saja. Tatapan was-was terus saja tersirat penuh karena lagi-lagi ia ditinggalkan.

Ya, tanpa rasa bersalah ... hingga pintu kembali tertutup sempurna.

"Zaneta memang begitu. Pendiam, pemalu, penurut dan rajin," celetuk Tuan Romero kala mendapati menantunya tertegun ke arah pintu. "Bagaimana padamu, apa dia juga begitu?"

Pe malu? Cih, yang benar saja? "Oh, ya... begitu lah." Padahal tidak. "Tapi, ter kadang kami saling memukul, hehe."

"Kau me mukul nya?" telisik Tuan Romero tajam.

"T-tidak, maksud ku ...." Peluh hampir me ngucur bebas pada paras tampan itu. Cobaan hidup se kali, memang. "Dia yang ter kadang me mukul ku, bukan ... bukan aku." Tangkis nya pasrah. Sudah tiga kali, se malam. "Hanya me mukul-seperti pukulan mesra, begitu ... Papa...."

Pukulan mesra? "Oh." Tuan Romero meng angguk, se akan me nimbang. "Hahaha! Zaneta memang ku ajar kan be gitu, untuk me lindungi diri. Pasti kau me lakukan hal yang tidak-tidak sampai dia be gitu?"

"Bukan! Hanya ... ha-ha, aku gugup mengatakan nya." Rahang pria itu sudah kebas karena ter lalu banyak me ringis paksa sejak tadi. Kepalan pelan ia layang kan se se kali pada sofa, guna pelampiasan kekesalan. Ya, untung Tuan Romero tak me nyadari hal itu. Huh...

"Tak usah gugup. Aku ‘kan sudah men jadi Papa mu, hahaha!"

"Ha-ha." Sia*an, kau Zaneta Romero. Perawan tua itu sengaja me lari kan diri dari situasi gila ini, itu pasti sekali.

Diero benar-benar di tuntut untuk ber sabar meng hadapi keluarga ‘ajaib' ini. Semangat, La Martin.

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

lovely

lovely

dasar s diero gk punya hati dah nikah masih kencan ma pacarrnya s'iga Lo Bucin akut ma istri lo🥴

2022-12-09

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!