Sendal couple

Ketukan dari high-heels runcing memecah kesunyian, Nidia tak dapat menahan kesabarannya lagi kali ini.

Bel ke-sebelas sudah ia bunyikan, tetapi tak ada sedikitpun tanda kehidupan pada pintu apartemen kekasihnya. Si*l, anak itu berniat atau tidak sih kali ini? Gumamnya kesal.

Beberapa detik berselang, wanita berikat cepol dengan kantung sampah keluar dari pintu sebelah. Ah, ternyata tetangga kekasihnya itu wanita?

Tapi, baguslah. Setidaknya orang ini tidak lebih cantik darinya. Nidia mulai ber angkuh-ria.

Melihat dari tampilan saja, Nidia tak bisa meyakini bahwa wanita itu—Zaneta, memiliki hidup yang bahagia. Atau mungkin ... sudah beranak tiga?

Dari ujung rambut, lihatlah dari pakaian itu, tak mencerminkan gairah hidup yang sejahtera sama sekali. Apalagi hingga ujung ka...

Tunggu.

Gesekan langkah yang lamban itu lolos begitu saja, tak mengacuhkan sekalipun perempuan berkaki jenjang yang beberapa detik lalu mencuri-lihat padanya.

Dua kantung sampah kini berada di masing-masing genggaman Zaneta, menyeret bungkusan besar itu layaknya baru saja menggeret mayat pembunuhan.

Aneh sekali, rasanya. Nidia tak dapat meloloskan pandangannya kali ini, titik pada kaki itu terus saja ia amati.

Tidak, tepatnya pada sendal yang Zaneta pakai.

Seperti ... ia pernah melihatnya. Namun ....

"Hah...." Nidia berhela heran. Model sendal itu mengingatkan seketika pada sendal miliknya- tepatnya sendal couple bersama Diero. Mirip sekali.

Jelas sekali ia belum pikun, masih dapat terbayang ia dan Diero membeli bersama sebagai hadiah dua-tahun hubungan mereka kala itu.

Benar-benar tak bisa ia percaya.

"Bagaimana bisa ...." Lagi-lagi ia menimbang penuh. Memang itu bukanlah sendal istimewa, mungkin banyak bentuk yang sama dengan alas kaki itu.

Namun, yang menjadi pembeda adalah huruf pada belakang sendal yang ia buat sendiri. Miliknya huruf 'DLM', milik Diero huruf 'ND- menandakan inisial dari nama mereka.

Dan Zaneta ... memakai huruf 'ND? "Tak mungkin ...," cercanya sekali lagi. Ujung jemari ia gigiti kecil, kepala maupun hatinya hampir meradang kali ini.

***

"Bagaimana pekerjaanmu?"

"Aku? Lancar saja, Pa." Diero mengunyah kecil Pringles, kembali meladeni 'Ayah-mertua' yang masih bersemangat untuk menaklukkannya kali ini. Tak rela kalah.

Pada hal ia berniat memenangkan simulasi-judi itu agar secepatnya kabur dari 'neraka'. Tapi Ternyata ... orang tua satu itu sudah ketagihan bertarung dengannya rupanya.

S*al, bahkan ia tak berani untuk menyentuh ponsel barang sedetik pun. Keadaan ini sungguh menyiksa.

Tuan Romero mengusap ujung kartu. “Ku dengar, ekspor wine akhir-akhir ini menurun drastis."

Mati aku. "Oh, begitulah," ringisnya pendek. "Kami sedang berupaya untuk meninjau langsung lahan para petani. Dengan menyisihkan sebagian penghasilan perusahaan untuk penyumbangan pupuk serta alat-alat pengusir hama, mungkin bisa menaikkan semangat mereka agar lebih bergiat lagi dalam meningkatkan kualitas."

Merasa puas dengan tanggapan sang menantu, Tuan Romero manggut-manggut. “Kau mulia sekali. Jadi, kira-kira pasar mana yang sedang kau tuju?"

"Karena suplainya menunggu jangka agak lama, mungkin hanya dibatasi pada negara Eropa."

"Bagus, itu tak buruk." Tatapan itu tetap tak lepas dari kartu yang bertebaran di meja. "Jadi, kau sibuk akhir-akhir ini?"

"Hm." Sibuk apa dia? Ayolah, otak. Berputar cepatlah kali ini! "Hanya mengawasi laporan bulanan, Papa."

Tuan Romero ber tukas, “Jika kau tak sibuk, luangkan waktu ber sama Zaneta. Tinggal lah dalam satu hunian. Wanita hamil tak baik di tinggal kan sendirian."

"Oh. Baik, Pa." Hamil? Haha! Diero menahan tawa dalam deheman.

"Dan ... apa aku akan men dapat cucu jagoan? Atau putri cantik? Atau sepasang ... atau dua jagoan? Atau dua putri can-"

"Belum tahu, Pa!" potongnya lantang. Emosional.

"Belum tahu... kenapa?" Beliau mengernyit.

"Ah-Zaneta masih belum mau ditanyai hal itu. Yaa ...." Diero mengernyit gemas. ".... sedikit tersinggung. Mungkin pengaruh mood Ibu hamil."

"Oh, benar juga. Mama Zaneta juga pernah begitu saat hamil."

Bagus lah. Ya, lakukan saja. Bohongi terus orang-tua tak ber salah ini, La Martin.

"Ah, aku sedikit ber syukur punya menantu yang bisa diandalkan seperti mu. Padahal tak sedikit pula pria di luar sana-alias anak kenalanku yang punya pekerjaan lebih baik darimu. Ck, tapi aku baru tahu ternyata Zaneta sudah menyimpan cinta selama enam tahun." Tuan Romero memainkan kartu nya. "Zaneta sudah ter lalu penurut padaku selama ini, membuatku tak bisa mem bantah lagi demi kebahagiaan dalam pernikahannya."

Hening.

"Asal kau tahu saja, salah satu rekanku saat di pernikahan mengatakan padaku ... dia pernah melihat mu di tepi sungai. Sedang menjadi musisi jalanan... atau apa lah itu. Aku tak paham."

Apa?

Ber sambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!