Petuah Alwar

"Jadi, bagaimana bulan madumu, Bung?"

"Diamlah."

Lawan bicara Diero terkekeh, membuat pria itu menjauhkan ponsel sekilas. Suka sekali membuatnya marah, memang.

Alwar.

"Semoga lancar. Ingat pesanku, ja—”

"....ngan menghambur-hamburkan uang. Berhematlah untuk dana pernikahanmu, kan?" potong Diero jengah. Ya, sudah hapal sekali rasanya ia dengan petuah gila itu.

Ia belum pikun, tolong. Hanya terkadang ... suka lupa diri.

Alwar bergumam. "Baguslah. Ku harap bukan hanya sekadar masuk-kanan-keluar-kiri."

Diero menumpukan sebelah tangan di beton pembatas. Lampu-lampu rumah penduduk beserta pekatnya langit menjadi pemandangan baru baginya di bawah sana.

Tak ada bintang, tetapi tidak pertanda juga bahwa hujan akan turun. Cuaca yang dilema.

Sesungguhnya, ia mencari mati untuk bersembunyi pada balkon. Angin pantai yang berembus dashyat, benar-benar berhasil membuatnya menggigil. Hampir mati beku dia di sini.

Namun, untuk masuk rasanya masih enggan. Zaneta di dalam. la segan mengobrol dengan Alwar jika ada wanita itu.

Terlebih, sebentar lagi ia sudah janji mau menelepon Nidia.

"Aktor La Martin, kau mendengarku bicara tidak?"

"Oh? A-apa?" Diero sedikit tergagu. Sial, memikirkan apa dia tadi?

"Kali ini jangan bermain-main. Kau tidak muda lagi, La Martin. Hampir menginjak kepala tiga."

"Hm."

"Giatlah mencari uang, bekerjalah dengan keras. Bersenang-senang itu memang perlu. Tapi tidak harus setiap hari 'kan?"

"Hm." Diero bermasam. Tatapannya mengarah malas ke sekitar, sudah muak rasanya jika Alwar bersikap seperti orang-tua begini. Bibirnya hanya bergerak abstrak kala Alwar memberi wejangan kecil.

"Masa kau belum bisa menyisihkan kerja kerasmu sampai saat ini, hah? Kau bahkan tak punya tanggungan, berbeda denganku yang menyekolahkan adikku. Meskipun dia mendapat beasiswa, tapi tetap saja ... tak mungkin dia hanya mengandalkan beasiswa di negeri orang."

Benar, kan? Berceramah lagi. Ya, meskipun memang banyak benarnya.

"Hanya menghidupi dirimu sendiri, Bung. Ah, juga... Tak semua permintaan dari pacar, harus kita penuhi seluruhnya. Ada hal yang perlu kita prioritaskan lebih dari itu. Jika dia memang mencintaimu, dia pasti mengerti dan tak ingin memaksakan kehenda—"

"Masih lama bicara? Aku ke toilet dulu."

"Durak! (Bo*doh). Dengar aku bicara!"

"Okay... okay. Lanjutkan, Učitelʹ (Guru) ...." Diero berhela kasar, menghempaskan duduk di kursi. Menghadap pada ombak yang beriak tak menentu, menghempas tebing sesekali dengan bantuan angin.

Sebenarnya, sih dia kedinginan.

"Bukannya aku ingin berbangga diri, tapi bagaimana lagi? Aku bersyukur mengenal Lindka. Meskipun pekerjaanku sudah dibilang meyakinkan di masa depan, tapi dia tak bergantung sepenuhnya padaku. Kami saling membahu membayar apartemen, dia pun belum pernah memakai uangku sepeser-pun. Malah aku yang sering meminjam uangnya."

Diero berhela. Merenggangkan otot punggung yang mulai kaku. Lantas, aku peduli?

Alwar berhela. Ia yakin bahwa Diero memuntahkan bulat-bulat apa yang terucap dari bibirnya. "La Martin, aku menasehatimu sebagai teman yang baik. Sebagai saudara. Tak ada yang bisa mengubah hidup kita, selain diri kita sen—"

Terdengar sayup-sayup keributan kecil dari lawan bicara, bibir Diero menahan sunggingan. Berarti....

“Aku tutup dulu. Nanti kita mengobrol lagi."

"Hm." Diero tersenyum puas.

"Si*l. kau pasti senang, kan? Ck, ya sudah. Ingat yang kuberitahu padamu tadi, Durak!"

"Hm. Semoga praktek Anda berjalan lancar, Učitelʹ."

Telepon pun diputus sepihak.

"Hahaha!" Diero tergelak setelah menggeser ikon merah. Selamat sudah kupingnya dari berbagai pesan tak-penting itu.

Masa bodoh dengan menyimpan, uang bisa dicari. Kapan saja. Tergantung kemauan dari orang itu, bukan? Hal yang mudah mengapa harus dipersulit, sih?—begitulah mindset dari seorang Diero La Martin.

Baru saja menarik napas-merayakan selebrasi, napasnya tercekat begitu saja. Mendapati ponselnya kembali berbunyi nyaring. "Oh, Tuhan!" paniknya. Saat begini saja baru mengingat Tuhan, ckck.

Tamatlah riwayatnya setelah ini.

"Elo ...."

"Oh. Night baby, sweetheart, cheesecake, sugarbaby, honey...," sambut Diero dengan nada amat-manis. Hm. Sapaan itu harus lengkap ia utarakan, jika tidak ... ya, tapi hampir saja tadi ia lupa urutan itu.

Terlambat kasmaran, tepatnya.

"Aw." Nidia menyahut memuji. "Eloku sedang apa?"

"Menghabiskan malam di penginapan Uncle, Sayang." Diero meremas paha gemas. Dalam hati ia berharap, semoga hal tidak baik tak terpikirkan oleh wanita itu nantinya.

"Mmm... kenapa seminggu itu rasanya lama sekali..." Nidia berhela pelan.

Diero terkekeh. “Kau sudah merindukanku? Tumben."

"Tidak. Aku rindu uang dan ...," ketusnya halus, "... aroma tubuhmu. Ah, Elo... tunggakan apartemenku, bagaimana?" Nidia merengek kecil sembari menghiasi kuku kaki dengan kuteks oranye.

Diero mengambil jeda beberapa detik.

'Jangan menghambur-hamburkan uang.'

"Iya, nanti ku kirimkan."

"Lalu ... saat hang-out tadi, aku melihat Agnes dan yang lain memakai clutch keluaran DIOR Mereka menyindirku karena clutch ku sudah kuno."

'Berhematlah untuk dana pernikahanmu.'

"Iya, sekalian untuk itu.“

"Jangan itu saja. Makanku juga terancam akhir-akhir ini, lamaran kerja-ku juga belum diterima."

"Iya..." Diero menoleh ke sekitar, “... Sayang. Aku kirim nanti," lirihnya.

Tak apa. Kali ini saja.

Belum menghabiskan seluruh isi tabungannya, belum.

"Aku senang mendengarnya. Manis sekali..."

"Kau lebih manis, Dia ...."

Maaf, Tuan Učitelʹ. Aku hanya mengambil 'sedikit' uangku. Ada cinta yang harus kuberi makan, setidaknya kau mengerti itu. Diero berhela pelan.

"Uncle?"

"Siapa itu?"

H-Hah! Diero refleks menutup mulut, acara menguapnya gagal kali hanya karena 'gangguan' kecil itu. Si*lan, mengganggu orang pacaran saja.

"Siapa itu?" ulang Nidia penuh selidik

"Oh, apa?" Diero menggeser pintu perlahan. Merasa telah tertutup sempurna, langsung mengunci dari luar. Napasnya hampir tercekat di kerongkongan.

"Itu suara apa?"

"Apa? 0-oh, mungkin tetangga," sahutnya enteng.

Nidia bernada curiga. "Kau ... punya tetangga?"

"Hm. Tetangga atas."

"Kau bilang kau tinggal di Villa?"

Mati aku. "Maksudku, Villa itu ... ditinggali oleh dua keluarga." Diero mencuri napas, "Ah, aku lupa memberitahu hal itu padamu. Haha.. iya, baru ingat... rupanya."

"Dia sudah menikah?"

"Hah?"

"Tetangga itu sudah menikah? Atau masih lajang?" serang Nidia bertubi-tubi.

"Dia sudah berkepala empat, Sayang. Tenang saja."

"Darimana kau tahu dia berkepala empat? ku pikir, suaranya seperti wanita muda."

"Tidak begitu. Astaga-itu hanya dari kejauhan. Jika dari dekat ... akan berubah." Diero menggaruk dahi, pertanda frustrasi.

Agak lama Nidia mendiamkan. Mungkin menakar-nakar atas alasan yang baru saja didengar ataupun mencari pertanyaan baru. Diero sudah pasrah dikuliti sekarang.

"Baguslah."

Yess. Diero berhela lega. Ternyata semudah ini membohongi wanita?

"Elo, pap please" rengek Nidia. Lagi.

Pap? Tamat lah sudah. "A—pa? Suaramu tidak jelas, Sayang. Rrrr ... rrr...“ Diero menjauhkan ponsel sesekali, menggoyang-goyangkan kecil guna mencari angin lewat.

Sumpah, ia sudah takut jika diminta seperti itu oleh Nidia. Pasti akan terjadi 'hal' yang....

Nidia menggertak pelan. "Post on picture, Sayang."

"Sekarang?"

"Aku rindu padamu. Kita juga sudah empat hari tak melakukan video-call. Apa salah jika aku meminta hal itu ... pada kekasihku sendiri?" Nada bicara Nidia perlahan mengecil, membelai pendengaran Diero yang semakin bergidik gemas. Merayu, tepatnya.

... setidaknya jangan dilakukan di sini.

"Oh, nanti aku kirim."

"Nanti?!"

"Kita masih bertelepon."

"Kalau begitu selesai kita bertelepon. Langsung kirimkan padaku."

"Oh, tentu saja."

Diero melirik sekilas pada kaca pembatas. kira-kira, sedang apa istrinya di dalam? Maafkan suamimu ini yang sedang berselingkuh, nona-keriput. Diero tersenyum kemenangan.

Pastilah Zaneta kesepian di dalam sana. Masa bodoh.

"Elo, cium aku. Sekarang."

Diero tergagap. "D-di sini?"

"Hm. Aku rindu melakukan dirty talk, rindu jemarimu yang berakhir pada—"

"Sekarang?" potong Diero lirih. Hanya perkataan itu yang tersisa dalam kepalanya.

S*al, kekasihnya pasti mau meminta 'itu'. Sudah hapal sekali dia, kebiasaan Nidia ataupun mereka saat sedang dilanda hubungan-jarak jauh.

Kalian yang sudah cukup umur pasti sedikit 'paham' dengan hal itu, coba tebak?

"Mumpung aku sendirian, di sini juga hujan." Nidia melenguh kecil, kemudian berbisik, "Aku ... sedang memakai b*a favoritmu. Mau lihat?"

Terkutuklah si Uncle-Mesum beserta isi kepala sampahnya. Hanya dengan begitu saja, dadanya sudah bergemuruh cepat. Gairah si Uncle-Miskin baru saja terpancing.

Diero mengusapi dada berkali-kali, mengantisipasi Zaneta tidak memergokinya nanti. "Oh, tentu saja ....“

Bersambung ....

Sudah terlihat kan? Betapa bodohnya ... Diero?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!