Italia

Take off. Zaneta baru saja kembali dari toilet, menghempaskan diri di sebelah pria yang sedang bermain ponsel, Diero. Memang itu kebiasaannya setiap naik pesawat, suka buang air kecil.

"... we invite you to hold the chair back, close and lock the small tables and that are..."

Announcement yang menggema membuat telinganya berdengung. Diero memilih memberi perhatian pada langit kelam yang sebentar lagi mereka arungi.

Jarak yang akan dilalui sekitar hampir dua jam, itu berarti selama itulah ia akan duduk bersebelahan dengan si-rahim-keriput. Astaga, membosankan pasti.

"Kau pernah ke Italia?"

Mendengar celetukan itu, Diero menggeleng pendek. "Kau pasti sering."

"Hm. Saat kecil dulu, bersama Mama."

"Oh, ku kira sering. Papamu 'kan punya penginapan di sana."

"Tidak. Hm... kalau ke luar negeri, pernah?"

"Tidak pernah."

Zaneta mengangguk saja.

Belasan menit mereka habiskan kembali pada kesibukan masing-masing. Masih terjaga. Zaneta sedikit gusar, rasa buang-air-kecil kembali mengundang. Namun, ia malas berjalan.

Seandainya pria-bayaran di sebelahnya ini juga membuka jasa mengantar-jemput keluar masuk toilet, ck.

"Uncle, aku mau duduk dekat jendela.“

Diero memelankan volume earphone. Lagi-lagi gangguan. "Pindah saja."

"Tapi aku suka bolak-balik ke toilet."

"Kalau begitu tak usah." Simpel, kan?

"Tapi aku ingin duduk di situ."

Cobaan macam apa lagi ini?! Sabar, La Martin. "Ya, sudah ... pindah,” cetusnya sedikit kasar kali ini. Tidak sabar, tepatnya. Hal mudah saja dipersulit.

Zaneta pun beranjak, terdengar desisan dari bibir itu seperti mengujar 'yess' setelah Diero memberi respon. Namun, ya....

"Ck, aku tak bisa keluar. B*doh." Diero kembali mencerca.

Zaneta bengong. Menatap Diero dengan posisi yang masih berdiri, seolah menutup akses langkah.

Astaga ...." Maksudku, kau keluar dulu ...,“ helanya kasar. "Minggir...."

Oh. Zaneta mengangguk kecil, dan memundurkan langkah agar Diero berpindah duduk lebih dulu.

Hampir saja punggungnya menabrak tubuh Pramugari yang cantik juga, menurut Diero, ckck. Sial, masih begini saja matanya sudah mulai berbelanja.

Diero pun berpindah. Malas. Tatapan binarnya tadi-ulah Pramugari-kembali tak bersahabat.

Membiarkan Zaneta yang mengisi bangku kosongnya setelah ia menyamankan posisi, lalu memakai sabuk. Bertukar tempat saja membutuhkan waktu beberapa menit. HAH!

Raut wajah istrinya sudah agak cerah sekarang. Duduk seperti Ratu yang mendiami singgasana ternyaman, padahal jika dia ingin buang air kecil tak tahu lagi harus melangkah dari mana. Diero sudah terlanjur menutup akses dengan kaki yang me lurus.

"Astaga, ponselku!" kata Diero.

"Apa?"

"Kau ... duduki.”

Duduki? Memang ada yang sedikit mengganjal, sih. Zaneta sedikit menaikkan paha kiri, enggan memberikan benda pipih itu dengan tangan sendiri... atau sengaja membiarkan Diero mengambilnya dari....

"M-maksudku bangkit dari dudukmu, kau ingin membuat tanganku bergerak liar rupanya," decaknya tak sabar.

Zaneta berdiri, Diero mengambil dengan kesal ponselnya. Suka sekali membuat orang-tua satu darah tinggi.

"Uncle, aku gugup."

"Kenapa?" Diero memelankan volume lagu. Lagi.

"Tidak tahu." Zaneta berhela. Gusar, tepatnya. Tiba-tiba malas saja menempuh perjalanan, padahal itu salah satu negara favoritnya.

"Kenapa gugup? Bahkan kita sudah pernah berciuman sebelumnya." S*al, Diero menggeram kecil. Mengapa ia bisa sembrono begini?

"Kapan?" Zaneta menoleh sekilas. "Oh."

"Ka-kau tahu?" Jadi ... dia tak mabuk?

"Tentu saja, kau yang menciumku."

"Kenapa aku? Kau lebih brutal saat itu."

"Di depan altar, Uncle duluan yang menciumku."

"O-oh." Diero berhela lega. Zaneta tak ingat rupanya. Hampir ia menuntut rugi.

Pandangan Zaneta kembali terusik ke luar jendela, berusaha melenyapkan berbagai kegelisahan yang semakin merasuk saja.

Biasanya jika begini, akan ada sesuatu hal tidak baik yang terjadi. Bukan, bukan hanya hal-tak-baik. Tapi, bisa saja hal lain. Ah, entahlah! "Apa liburan ini kita tunda saja, Uncle?"

"Apa?!" Tatapan kau-gila tak ayal Diero berikan. Mungkin sebentar lagi, semburan api akan menghanguskan wanita Romero itu.

"Bukan ... maksudku ... jangan ke Italia. Ke mana saja. Norwegia, Antartika, ke mana pun itu. Asal jangan ke sana." Nada bicaranya melemah di akhir, membayangkan hal yang tidak-tidak sudah tercetus dalam benaknya. Hal apa yang akan terjadi kira-kira, Zaneta bergumam tak nyaman.

"Kau ingin mengecewakan papamu lagi, hah? Asal kau tahu saja, meyakinkan orang lain itu tidak gampang. Apa lagi jika yang harus diyakinkan adalah bos-mafia itu, kau-"

"Ya sudah. Tak jadi,“ cicitnya pasrah. Semoga 'bulan-madu' ini berjalan lancar, meskipun hanya pura-pura.

Ya, begitulah.

***

"Uncle, bangun. Kita sudah tiba."

"H-hah? A-apa?" Diero meng geliat kecil kala lengan nya di senggol pelan. Di sebelah nya, ada Zaneta yang sudah bersiap menunggu nya. Aneh, padahal ia lebih dulu terlelap dari wanita itu.

Melihat sekitar, se isi bangku sekitar telah kosong. Lalu tertegun... mendapati Zaneta yang tersenyum kecil dan berjalan melewatinya. Manis juga, rupanya. Oh.

Sial, mengapa gadis sekaya ini disia-siakan? Ah, maksudnya gadis baik. Diero berdecak samar, mengapa dia jadi bersimpati begini? Menjijikkan.

***

Pizza, spaghetti, menara Pisa, Roma, Gondola, jika men dengar hal-hal itu, negara apa yang langsung ter besit dalam benak kalian? Ya, benar. Italia.

Jika ada suatu negara yang di anggap superpower karena kekayaan budaya yang di miliki, maka kemungkinan besar negara itu ada lah Italia.

Negara ini di kenal se bagai lahir nya peradaban barat serta pemicu pesat nya perkembangan ilmu pengetahuan, periode yang di kenal sebagai Renaissance. Ber bagai seniman legendaris dunia tak ayal ber munculan di sini pada era abad ke 15 hingga pertengahan 17.

Kala telah tiba di bandara Internasional Leonardo da Vinci, Zaneta dan Diero pun ber baur dengan penumpang lain yang ber hambur memenuhi pintu kedatangan.

Tak jauh dari sana, belasan orang dengan banner bertuliskan nama-nama berbaris mencari orang yang mereka tunggu.

Tapi, di mana nama mereka?

"Tak ada yang menyambut ... kita?" Diero memicing ke sekitar sembari menggeret koper.

Zaneta mengedik dagu ke sembarang, baru saja ia selesai mengecek ponsel. Mengabari Tuan Romero perihal mereka yang telah tiba di tujuan, ritual yang biasa ia lakukan untuk mengurangi kekhawatiran orang-tua satu itu.

"Ciao, benvenuti e benarrivati in Italia (Halo, selamat datang dan tiba di Italia)."

"H-huh?"

Mereka menghentikan langkah di depan seorang pria jangkung berambut ikal yang langsung menyapa mereka kala itu.

Tentu saja Diero tak mengerti, sempat berpikir bahwa orang satu itu seperti penipu jika tak langsung disikut oleh Zaneta.

"Dia Leonidas, guide kita selama di sini.“ Zaneta berterang santai setelah menyapa Leo tak kalah ramahnya.

Guide? Oh ... Tidak buruk. "Ya sudah. Hai..." sapanya sekena.

Leo tersenyum. "Sono la vostra guida qui, mi chiamo Leonidas. Daro sapere di molte cose d'Italia a voi. Come ti chiami signor? (Aku pemandu wisata kalian, namaku Leonidas. Aku akan memberitahu berbagai hal tentang Italia. Siapa nama Anda, Tuan?)"

Diero ber-hah?

Ringisan sinis itu membuat Zaneta terkesiap kecil. S*alan, orang-tua ini tak bisa menjaga sopan santun sedikit, kah?

Zaneta berdehem samar, sembari melirik Leonidas untuk menjaga-jaga agar guide-nya tak tersinggung kali ini.

Merasa dipermainkan? Tentu saja. Diero merasa kepalanya sedikit berdenyut, berbagai pemikiran buruk mulai bermunculan di atas sana. "Dia mengejekku, kan?"

Zaneta mengernyit. "Me ... ngejek?"

"Tentu saja. Ucapannya panjang seperti itu ... pasti dia meledekku. Iya, kan?"

Astaga. Helaan napas pun Zaneta cuatkan, Ternyata 'suami' nya ini lebih bodoh dari yang ia duga. "Dia bertanya namamu."

"Oh. Serius?"

"Serius, Uncle. Beri tahu nama mu," tanggap Zaneta malas, diikuti rotasi pada bola mata kehitaman itu,

Diero berketus "Diero."

"Allora, mi piace di conoscerli (Baiklah, senang mengenal kalian.)." Leo membalas tatapan jengah Diero dengan ekspresi hangatnya. "Andiamo al Sicilia. Posso aiutarti a prendere il tuo bagaglio, per lavore? (kita pergi ke Sisilia. Bolehkah saya membantu untuk membawa koper?)"

"Kenapa orang semacam ini bisa-bisanya menjadi guide?" Diero berhela kasar.

Sumpah, baru kali ini ia mendapati pemandu yang asyik sendiri dengan pembicaraan. Bukan memakai bahasa internasional atau apa, malah semakin membuat bingung orang yang dipandu.

Dalam diam, Zaneta tersenyum kecil mengawasi gerak-gerik Diero yang ogah-ogahan, kala koper-koper mulai diambil alih oleh Leo.

Mulai 'panas' sepertinya. Lucu.

Mereka bertiga pun berjalan, dengan Leo sebagai penunjuk arah. "Italia min interesa, possiamo trovare molto posto bello qui. (Italia begitu menarik, kita bisa menemukan banyak tempat yang indah di sini.)"

"Musnah kau." Diero menyematkan kembali earphone pada telinga, menyumpal diri dari obrolan 'gila' yang membuat urat syaraf-nya menimbul.

Baru datang saja ia sudah di hinggapi oleh culture-shock. Semoga hanya bentukan semacam ini yang ter akhir ia jumpai.

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!