Zaneta merenggangkan tulang punggungnya yang sejak tadi ngilu. Astaga, belum menginjak kepala tiga saja tubuhnya sudah menjadi 'sarang' penyakit.
Setelah memindahkan sampah pada tong di luar area apartemen, ia pun kembali menuju lift. Semoga saja Diero semakin akrab dengan Ayahnya kali ini.
Sebenarnya, Zaneta bukannya tidak peduli. Ia peduli, bahkan bisa dikatakan lebih dari itu.
Terlalu banyak ketakutan yang meng hinggap di kepalanya setiap Diero diminta untuk berbaur pada sang Ayah. Namun, ia juga bingung dengan apa yang harus ia lakukan.
Menurutnya, Diero pasti sudah lebih tahu-menahu tentang hal itu. Apalagi, mengingat usia dan pengalaman beradu-peran yang pasti lebih banyak dikuasai Diero, membuat Zaneta tak dapat meragukan lagi kinerja sang 'suami'.
Tak mau dengan ikut campur nya dirinya, Diero tak nyaman menjalankan peran sesuai dengan skenario mereka. Hanya itu.
Baru saja beberapa langkah lagi tiba pada bibir lift Zaneta diberi kejutan kecil. Bukan kejutan, mungkin sedikit heran. Selingan saja.
Wanita berkaki jenjang dengan terusan se-paha yang ia temui tadi membuatnya mengernyit samar.
Hm, bukankah tadi di lantai atas? Kenapa di sini lagi? Zaneta mengedik bahu kecil sembari menunggu lift terbuka.
Kelihatannya, sih seperti model. Bayangkan saja selisih tinggi mereka yang tidak seimbang. Ibarat babu bersama Tuan-putri.
Ya, untuk saat ini begitu saja dulu, karena Zaneta belum berhasrat untuk mengeluarkan item-item bermerk-nya dari 'kandang'.
Dalam hati, ia berargumen; sebenarnya siapa wanita ini? Jika tak tahu alamat, mengapa tak bertanya saja? Namun, untuk menanyakan lebih dulu ... Zaneta pun ogah sekali.
Punya mulut, bukan? kenapa tak dipakai saja untuk bertanya lebih dulu, dan ... yang lebih butuh juga siapa.
Begitu banyak orang asing yang patut dicurigai di zaman sekarang, Zaneta harus lebih berhati-hati. Yang jelas, beramah tamah lebih dulu bukanlah gayanya.
Sekali lagi, Nidia melirik curiga. Tak sia-sia ia rela turun kembali hanya untuk mengamati sendal yang dipakai oleh tetangga kekasihnya.
Dan sial sekali, memang. Nidia tak bisa menampik bahwa itu benar-benar sendal couple mereka. Gila, kah?
Ajaib, lift pun terbuka... yang membuat dua wanita itu mau tak mau melakukan perang dingin di dalam peti pengangkut
Zaneta tidak merasa bahwa ia tengah diperhatikan, pun di dalam kepalanya hanya berharap Ayahnya dan Diero tak berakhir dengan adu pukul di dalam sana.
Keheningan pun membalut tempat itu kala lift sedang beroperasi. Nidia lagi-lagi terbakar api, kepalanya sudah terlalu banyak dipenuhi kecurigaan. Menumpuk.
Tidak mungkin Diero berada dalam apartemen wanita-aneh ini, begitulah pemikirannya. Awas saja jika benar.
Goncangan kecil dari lift membuat mereka mengatur keseimbangan-Zaneta memegang sisi lift sementara punggung Nidia terhempas bersandar. Ini bukanlah adegan horror, tetapi kenapa sepertinya menyeramkan sekali?
Zaneta mengeratkan ikatan kantung hitam di tangan, ia berhela setelah lift kembali bergerak normal. Tas kecil Nidia yang baru saja terjatuh membuat rasa keingin tahuannya terpancing kali ini.
Di antara isi clutch yang berserakan, ia menangkap sesuatu yang ... pfft-menggelikan ia rasa.
Kotak ko****m? Oh.
***
Diero melirik lepas. Was-was.
"Tapi aku langsung membantah rekanku-si Bren*sek. Tidak mungkin menantu tampanku mau menggeluti profesi yang.. kau tahu 'kan?" Tuan Romero mengendik kan bahu. “Jelas-jelas pekerjaanmu lebih mapan dan bermasa depan cerah dibanding seniman tidak jelas seperti itu."
Tidak jelas, ya? Okay. "Iya, Papa." Rahang Diero perlahan berubah kaku.
"Sudahlah, jangan dipikirkan. Begitu banyak orang yang mirip di muka bumi ini, apalagi negeri kita sangat sempit. Dulu aku juga mirip seperti salah satu aktor terkenal dan menjadi idola kampus... saat muda, sih. Hahaha!"
"Ha-ha. Iya, Tuan Romero ... maksudku Papa," cengir nya kaku.
"Ah, hampir lupa. Kau bisa mengambil cuti?"
"Cuti?" Setiap hari.
"Kau tak mengecek ponsel? Aku mengirim QR code untuk tiket online kalian ... ke Italia. Bisa?"
Whoa. "Italia? Be... berapa lama, Pa?"
"Seminggu." Tuan Romero menyeruput sejenak kopi pekatnya. "Anggap saja ini hadiah pernikahan dari Papa, karena kemarin Zaneta mengatakan bahwa biaya pernikahan dari tabungan kalian berdua."
"Oh..." Kebohongan Zaneta sungguh mulia. "B- baiklah."
"Nanti tinggallah di penginapan Ayah. Zaneta sudah tahu seluk-beluk negeri itu, meskipun mungkin dia agak lupa karena sudah lama sekali tak ke sana." Tuan Romero tersenyum lepas. "Bersenang-senanglah, dan ... berikan hadiah cucu untukku," bisik nya di akhir kalimat.
Sial, per mintaan yang teramat berat. "Oh. Baik, Pa."
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments