Setelah selesai memposting cerbung barunya, Thalita baru membuka pesan-pesan di aplikasi hijau miliknya.
Seketika senyum Thalita terbit, membaca chat dari Vano, dan segera membalasnya.
/Udah bobo cantik, Om. Lagian chat bareng m*ling mau pulang. Ada apa sih, kangen?/
Kemudian Thalita membaca chat dari Clara, seketika senyum gadis itu hilang. Read aja, malas bales, batin Thalita.
Ting...
Pesan chat dari Gideon sang pacar, yang cuma dibaca Thalita lewat notifikasi, hingga centangnya tetap abu-abu, tak berubah jadi biru.
/Pagi kesayangan Abang, gimana, bobonya nyenyak kan? Mimpiin Abang gak tuh?/
Sekali lagi ada notifikasi masuk, dari orang yang sama, Gideon.
Ting...
/Sayang? Kok lama banget sih balasnya? Masih mandi atau sudah sarapan sih?/
Thalita tersenyum, tapi masih saja enggan untuk membalas, bahkan baca lewat notifikasi lagi. Karena hari sudah beranjak siang, Thalita bersiap untuk berangkat ke kampus, dan terlupa membalas chat Gideon.
Di kampus, pertemuan dengan Renald dan membahas bisnis yang sedang mereka tekuni, membuat Thalita lalai akan dunia maya, dan terlupa lagi membalas chat pacarnya.
"Wih, keren nih, Tha! Usaha kita berhasil, lumayan banget nih pendapatan yang masuk. Punyamu mau kamu tarik?" tanya Renald.
"Gak deh, Re. Biar aja di situ dulu, putar lagi, biar usaha kita makin gede!"
"Asiap, Tha. Tapi...."
"Apa lagi?"
"Punyaku ku tarik ya, aku butuh buat bayar kost, nih. Maklumlah, emakku belum transfer."
"Iya, tarik aja gapapa!"
"Tapi, Tha..."
"Kenapa lagi, Rere sayang?"
"Aku jadi gak enak sama kamu nih, modalmu jadi lebih banyak, berarti saham punyamu lebih gede. Artinya, nanti pembagian hasil bulan depan, lebih gede punyamu daripada aku."
"Duh, ribet banget sih kamu ini, Re? Samain ajalah gapapa, daripada susah ngitungnya. Lagian, aku gak paham juga cara ngitungnya!"
"Ya itu yang bikin gak enak, kesannya gak adil, Tha."
"Kan yang kerja banyakan kamu, Re. Jadi wajar aja kamu yang dapat lebih banyak. Punyaku kamu kurangi juga gapapa kok, asal aku gak rugi aja."
"Bener-bener gak punya jiwa bisnis kamu ini, Tha. Kalau kayak gitu mulu, kamu gampang ditip* tau!"
"Kan aku penulis, Re, bukan bisnis women. Atur menurut yang kamu pandang baik aja lah ya! Tapi..."
"Apa? Nyesel sama kata-kata kamu barusan?"
"Gak gitu, Re. Gini lho, umpama aku jualan buku aku di toko kita, boleh gak?"
"Kenapa gak boleh?"
"Ya kan yang dijual di situ bukan buku, tapi kaos dan produk-produk yang menggunakan desain grafis."
"Itu toko punya siapa?"
"Kita berdua."
"Jadi, yang ngatur mau jual apa saja di toko itu, siapa?"
"Ki...kita kan, Re?"
"Bukan, tapi Pak lurah."
Thalita mendengkus kesal, sahabatnya itu terkadang juga bisa menjengkelkan. Tapi sebenarnya Renald sahabat yang baik juga. Mereka berdua berasal dari keluarga yang pas-pasan, jadi mereka saling bantu dalam berjuang meraih cita-cita, termasuk mencari tambahan biaya kuliah.
"Tapi ini bisnis lho ya, Tha. Jadi meski yang kamu jual disitu bukumu, dan tak ada campur tangan dari aku untuk pengadaannya, keuntungan tetap dibagi, bukan milik kamu sendiri."
"Ya itu sih, pasti. Aku kan profesional, Re."
"Sip. Kalau gitu, nanti kamu kirim gambar dan deskripsinya ya, Say! Biar aku atur jadi bagus di toko."
"Siap, komandan."
Keduanya tertawa, meski tak ada yang lucu juga. Mereka hanya menertawakan diri sendiri saja, supaya hidup bahagia.
"Tha...!"
"Hem, ada apa?"
Thalita yang tampak sibuk mengetik cerbung baru di ponselnya, menjawab panggilan Renald tanpa menoleh.
"Kamu udah punya pacar ya, Tha?"
"Udah, memangnya kenapa?"
"Ya gapapa sih, cuma aku takut aja, kalau tiba-tiba pacarmu muncul, terus n*bok aku gara-gara cemburu aku dekat sama kamu."
"Gak mungkinlah, itu. Kan pacarannya online, Re. Jauh dia mah, butuh banyak ongkos buat sampai ke sini."
"Terus, apa enaknya kayak gitu?"
"Gak ada sih. Cuma aku nyaman aja sama dia, nyambung gitu kalau diajak bahas-bahas hal dan kehidupan di dumay. Tapi bener kamu sih, dia suka cemburu."
"Katanya, kamu gak suka punya pacar yang kayak gitu, bikin hidupmu gak bebas, terkekang?"
"Itu kalau pacar beneran, Re. Kalau jadi-jadian mah gapapa lah, buat seru-seruan aja kok."
"Kamu gak ada niatan serius gitu, sama dia?"
Thalita menggeleng, meletakkan ponselnya, kemudian menyesap minuman yang berada di depannya.
"Kami beda keyakinan, Re. Gak mungkin juga buat bersatu, temboknya terlalu tebal. Ingat kan, kerbau dan sapi tak kan pernah bisa membajak bersama! Gelap akan musnah begitu terang muncul, kan seperti itu konsepnya."
"Memang bener, tapi aku khawatir sama kamu Tha."
"Aku kenapa?"
"Sifat kamu yang kadang terlalu baik, bisa dimanfaatkan sama orang, apalagi cuma kenal online. Baik itu bagus, dan juga harus, tapi kudu ada batasannya, biar gak ada yang manfaatin!"
"Kamu tenang aja, Re. Orang yang mau manfaatin kebaikanku, silakan aja! Aku cuma menyediakan lahan untuk mereka menanam, dan suatu saat nanti, mereka akan memanen hasil dari tanaman mereka sendiri. Gitu kan hukum tabur tuai? Siapa menanam angin, akan menuai badai."
Renald menghela napas, baginya Thalita itu mahluk yang keras kepala, susah untuk diingatkan. Tampak sangat tegar, tapi sebenarnya sangat rapuh. Thalita sangat pandai berpura-pura, menutupi kelemahannya.
"Ya udah. Yang penting kamu hati-hati saja! Aku tak bisa membantumu kalau di dunia maya. Kalau di dunia nyata, aku bakal pasang badan buat kamu."
"Siap, Pak Bos. Kamu tau kan, Re? Seorang Thalita tuh gak b*go-beg* amat kok, cukup punya otak," Thalita tersenyum sambil menunjuk kepalanya.
Tiba-tiba ponsel Thalita berdering, Gideon. Thalita memberi kode pada Renald kalau yang menelepon pacarnya, Renald mengerti, dan melanjutkan makannya.
"Selamat siang, Abang sayang."
"Kemana aja, sih? Kok Abang chat dari pagi gak dibaca, apalagi dibalas. Kan Abang jadi khawatir."
"Maaf deh, Bang! Dari pagi gak pegang hape nih, sibuk banget aku, Bang."
Renald tersenyum sinis mendengar jawaban Thalita, bibirnya mengatakan 'ngibul' tanpa suara, yang membuat Thalita melotot padanya.
"Ya udah. Ini kamu sudah makan, Sayang?"
"Ini lagi makan di kantin kampus sama Rere."
Renald membuat suara dentingan sendok beradu dengan piring, agar pacar online sahabatnya itu mendengar.
"Baguslah kalau begitu, lanjut aja! Abang nelpon cuma khawatir aja sama kamu."
"Iya, Bang. Udah dulu ya, nanti sampai kost, Thalita telpon deh, ini kuota lagi krisis, kalau di kost kan ada wifi."
"Iya, deh. Lope u Cantik."
"Lope me too, Abang."
Sambungan telepon terputus, Thalita menarik napas lega, sedang Renald ngakak mendengar jargon lama Thalita yang tak berubah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments