Thalita bangun saat matahari belum menampakkan senyumnya di ufuk timur, gadis itu bergegas membersihkan diri kemudian menghadap Sang Khalik. Usai beribadah, Thalita segera memeriksa ulang tugas-tugas kuliahnya, semua beres.
Gadis itu tampak tersenyum senang," awal pagi yang baik. Buka ponsel ah, kalau sampai dikick lagi dari group, awas aja tuh si Abang."
Lagi-lagi Thalita tersenyum senang, tak ada notifikasi apapun di aplikasi hijau miliknya, pertanda Gideon tak marah padanya. Photo profil Gideon juga masih tampak, berarti Thalita tidak sedang diblokir.
"Tumben nih, si Abang, lagi kesambet atau gimana nih? Biasanya dikit-dikit blok, kok tumben sekarang enggak?" gumam Thalita sambil menggaruk kepala yang memang gatal karena empat hari belum keramas.
Tiba-tiba ponsel Thalita berdering, Gideon.
"Halo, Bang. Selamat pagi!" sapa Thalita.
"Selamat pagi juga cantik, sopan banget ya, semalam matiin telpon tanpa pamit."
"Abang sudah pikun? Kan Thalita udah pamit juga, kok malah dibilang tanpa pamit sih?"
"Iya, pamit. Tapi belum Abang jawab udah kamu matiin."
"Thalita udah ngantuk, Bang, dari awal kan udah bilang juga."
"Iya, Abang paham kok, Sayang. Maaf ya, kalau selama ini Abang suka marah-marah sama Thalita!"
"Ini Abang gak lagi mabok kan?"
"Kok mabok, sih?"
"Ya kan tumben aja gitu, pagi-pagi gak ada hujan gak ada angin tiba-tiba minta maaf. Kalau gak lagi mabok, pasti Abang abis kepentok deh."
"Bisa gak sih, kamu tuh gak bikin Abang kesel? Sehariiii aja, please!"
"Bikin kesel gimana sih, Bang?"
"Gimana gak kesel, masa pagi-pagi belum sarapan udah dituduh-tuduh lagi mabok?"
"Ya kan aneh aja gitu, gak biasanya Abang kayak gitu ke Thalita."
"Ke Thalita doang sih Abang tuh beda sikapnya. Ke yang lain mah enggak."
"Kok gitu, Bang?"
"Karena Abang sayang sama kamu. Emmm, Tha...mau gak kamu kalau kita pacaran?"
"Maksudnya, Bang?"
"Thalita, jangan pura-pura bego deh ya! Abang tau, kamu tuh ngerti maksud Abang."
Suara Gideon mulai terdengar kesal, dia sudah mempersiapkan diri, untuk mengatakan isi hatinya, tapi Thalita menanggapinya dengan bercanda.
"Abang serius?"
"Iya, Abang serius, Sayang."
"Tau kan resikonya apa, kalau kita pacaran?"
"Tau kok, dan Abang sudah pikirkan itu masak-masak, sebelum Abang menyatakan perasaan Abang ke kamu. Gimana?"
"Entahlah, Bang. Thalita belum bisa jawab."
"Kok gitu? Tinggal bilang iya, atau tidak aja kok."
"Boleh minta waktu?"
"Oke, Abang kasih waktu sampai nanti siang. Kalau Abang nelpon lagi nanti, harus udah ada jawaban. Thalita tau kan, Abang gak suka menunggu terlalu lama."
"Oke, nanti Thalita akan jawab. Sekarang mau siap-siap buat ngampus dulu, see you Abang."
"See you too, Cantik. Love you."
"Love me too."
Sambungan telepon sudah terputus, tapi Gideon masih merasa gemas dengan jawaban Thalita. Jika cewek-ceweknya terdahulu selalu menjawab dengan kata, love you more, setiap kali dia mengucapkan love you, Thalita berbeda, cewek itu pasti menjawab dengan love me too. Emang cewek satu ini unik, beda dari cewek-cewek lain yang pernah Gideon kenal.
Tiba di kampus, Thalita disambut Rere dengan cengiran. Pasti ada udang dibalik bakwan kalau cowok itu sudah memasang tampang seperti itu.
"Ada apa, kok senyum-senyum sok imut kayak gitu?" tanya Thalita sengit.
"Jutek amat, Neng? Lagi PMS ya?"
"Lagi bete aku, Re. Kalau kamu mau nambahin bete, mending jauh-jauh deh kamu, dari pada nanti ku telan gak pakai air!'
"Emang lu kira gua kapsul? Main telan-telan aja," gerutu Renald.
"Makanya, jangan bikin bete! Ada apa, cepat deh ngomong, mumpung aku belum emosi nih!"
"Anu...jadi gini, Tha, aku lagi butuh duit nih. Kamu ada gak, aku mau pinjam."
"Buat apaan?"
"Aku ada rencana buka toko online, Tha. Mau jualan kaos yang gambarnya desain sendiri gitu, jadi pembeli bisa request sesuai selera. Kan itu butuh modal, aku mau pinjam sama kamu."
"Yang bikin desain, siapa?"
"Ya aku lah, siapa lagi? Kan kamu tau, aku ada sedikit skill di situ. Biar gak jago-jago banget kan termasuk lumayan, nanti juga aku bakal terus belajar."
"Oke sih kalau begitu, tapi aku gak bisa pinjami kamu, Re."
Renald tampak menghela napas, rencananya menemui jalan buntu. Sebelumnya, Renald sangat berharap Thalita dapat membantunya. Tapi Renald tak bisa memaksa juga, mereka masih sama-sama mahasiswa, belum mempunyai penghasilan tetap, wajar saja Thalita tak bisa membantu, mungkin memang lagi tak ada dana.
"Kok malah melamun, Re?"
"Enggak kok, Tha. Cuma lagi mikir aja, bisa dapat modal dari mana."
"Gini lho, Re, aku tuh gak bisa pinjami kamu modal, tapi kalau kamu ngajak kerjasama, aku mau."
"Maksudnya gimana, Tha?"
"Ya kita bekerja sama gitu, lho. Misal kamu bagian desain, tar aku yang bagian promo. Tapi kita kerja bareng, dan hasilnya dibagi bareng juga."
"Berarti, kamu mau pinjami modal, Tha?"
"Bukan pinjam, Re tapi kita patungan."
Renald diam sejenak, berusaha mencerna maksud Thalita, kemudian tersenyum setelah merasa paham.
"Oke, Tha, aku setuju."
"Deal?"
"Deal, Tha."
Keduanya saling bersalaman dan tersenyum, kerjasama mereka dimulai hari itu.
"Nah, satu masalah udah selesai, sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tadi bete?" tanya Renald.
Thalita menarik napas, kemudian menghembuskan dengan kesal.
"Ayolah, cerita aja, Tha! Siapa tau aku bisa bantu."
"Kamu tau kan, Gideon, yang sering ku ceritain ke kamu itu?"
"Yang ketua dari group online kamu itu kan?"
"Iya, bener."
"Kenapa dia?"
"Nembak aku?"
"Soo?"
"Aku bingung, mau terima atau tolak?"
"Lha kamu ada perasaan gak sama dia?"
"Ya kuakui jujur, ada. Tapi..."
"Oke, aku paham kok, Tha. Terima aja, tapi tetap waspada, hati-hati, bagaimanapun dia cuma teman online kan? Kalian belum pernah bertemu secara nyata, jadi jangan berharap lebih! Jadikan sebuah hiburan semata!"
Thalita tersenyum, gadis itu memahami apa yang dimaksudkan oleh sahabatnya itu, "terima kasih ya, Rere Sayang. You are the best friend in my life."
"Ingat Tha, kalian gak mungkin bersatu, jadi jangan sampai kamu benar-benar sampai jatuh hati beneran! Have funs aja, okey dear?"
Thalita mengangguk mantap, Renald merasa senang melihat gadis itu kembali tersenyum, tak lagi bete seperti tadi. Selanjutnya mereka terlibat obrolan serius, tentang usaha baru yang akan mereka rintis.
Siang itu, Gideon kembali menelepon Thalita, menanyakan jawaban atas pertanyaannya pagi tadi.
"Gimana, Sayang? Kamu mau kan kalau kita pacaran?" tanya Gideon.
"Iya, Bang, Thalita mau. Tapi ada syarat dan ketentuan berlaku ya?"
"Apapun itu, Sayang."
Keduanya tersenyum di tempat yang berbeda, yang terpisah jarak ribuan kilometer, senyum yang mempunyai arti yang berbeda juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments