Belasan bola terbuat dari benang lengket dilempar oleh laba-laba. Dengan sigap aku menghindar semuanya, “Tck, turun kau pengecut!.” aku mengumpat pada monster yang saat ini aku lawan.
Cara bertarung laba-laba begitu berhati-hati, dia akan berdiri pada benang yang membentang tinggi, lalu menyerang menggunakan bola lengket.
Jika seperti ini terus aku mungkin akan kehabisan stamina, “Oh tidak....” salah satu kaki menginjak bola lengket membuatku terjebak.
Melihat aku tidak bisa bergerak, dengan cepat laba-laba melakukan serangan dengan gigi taringnya. Tetapi....
“Akhirnya kau turun juga!.”
Itu adalah sebuah jebakan dengan trik kecil. Saat laba-laba mendekat, aku dengan cepat mengaktifkan semua skill yang aku miliki.
“Mati!.”
Belati kelinci aku ayunkan ke arah kepala laba-laba. Namun monster itu begitu cerdas hingga mampu menahan serangan dariku menggunakan kakinya.
Belati kelinci patah begitu melukai salah satu kaki laba-laba, monster itu menjerit kesakitan, tetapi tidak membuang kesempatan untuk melakukan serangan balik.
Aku merasakan sesak nafas saat sebuah pukulan menghantam dadaku. Walaupun aku telah menggunakan pelindung dada dari cangkang kelabang besi, tetapi dampak dari serangan kaki laba-laba masih terasa begitu kuat.
Laba-laba menendang beberapa kali dengan enam kakinya, membuat tubuhku terpental dengan luka dalam parah. Aku menyemburkan batuk darah, seluruh tubuh terasa sakit, seluruh tulang rusuk telah patah.
'Sangat kuat, aku tidak bisa melawannya.' aku hanya terkapar tidak berdaya. Laba-laba mendekatiku yang sudah tidak bisa bergerak dan melawan.
Mulut monster itu terbuka lebar menunjukkan dua taring yang besar nan mengerikan. Dia tidak berniat menjadikan aku kepompong seperti yang dia lakukan pada Roxy. Laba-laba berniat langsung memakanku.
“Aaaa!.”
Aku berteriak keras, saat mulut besar laba-laba berniat mengunyah kepalaku. Bukan karena aku takut, melainkan rasa sakit menjengkelkan itu kembali membuatku tersiksa.
Rasa sakit yang selalu membuatku dalam masalah.
Aku selalu kehilangan fokus pada saat-saat krusial karena rasa sakit ini. Pertama saat melawan bekalang sembah, Roxy terluka karena melindungi ku.
Lalu sekarang hal yang sama kembali terjadi, tapi jauh lebih buruk. Nyawa Roxy terancam karena kesalahanku, rasa sakin yang teramat parah membuatku kehilangan kendali.
“Cepat bunuh aku sialan.”
Aura mengalir dengan sendirinya, memberikan aku kekuatan. Intimidasi meledak begitu kuat, aku tidak pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya.
Tubuhku tiba-tiba bisa digerakan, dengan cepat aku mengambil pisau dapur dari dalam item Box untuk melakukan serangan balik.
Jika heran kenapa aku memilih pisau dapur daripada belati kelinci yang lebih kuat jika dialiri energi aura, maka jawabannya sangat sederhana.
Walaupun mampu menimbulkan kerusakan lebih besar, tetapi belati kelinci sangar rapuh sehingga hanya bisa digunakan satu atau dua kali pemakaian.
Sementara itu saat ini yang aku butuhkan adalah senjata tahan lama yang bisa aku gunakan untuk menyerang berkali-kali.
Serangan pertamaku menusuk dagu laba-laba, membuat monster itu seketika menutup kembali mulut mengerikannya dan menyingkir dari wajahku.
[Melakukan serangan kejutan, skill (Backstabe) aktif]
Aku terus melakukan serangan, hingga luka yang aku timbulkan membuat Laba-laba memuntahkan darah hijau langsung mengalir ke wajahku, sangat menjijikkan.
Terasa perih saat cairan itu mengenai mata, sehingga aku tidak bisa melihat, aku berusaha melakukan serangan lainnya dengan mata tertutup.
Serangan itu berhasil beberapa kali melukai laba-laba, hingga monster itu memberikan serangan balasan. Sadar akan apa yang akan terjadi aku pun berusaha mempertahankan diri.
Tetapi aku tidak memiliki cara bertahan apapun selain menggunakan lenganku.
Seandainya aku menyimpan setidaknya satu cangkang kelabang besi di dalam item box, mungkin aku bisa menggunakannya sebagai perisai.
Namun aku tidak berpikir begitu cerdas karena memenuhi item box dengan belati kelinci, sehingga kini aku hanya bisa menyesali tindakan itu.
Jeritan ku kembali pecah ketika tangan kiri tergigit oleh laba-laba. Kekuatan gigitan monster raksasa itu tidak perlu dipertanyakan lagi, lenganku langsung terputus.
Crunch Crunch Crunch!
Suara gigitan terdengar keras seakan seseorang tengah mengunyah tulang dan daging.
Kehilangan banyak darah dengan rasa sakit yang begitu menyiksa membuatku tidak lagi bisa bertahan.
Dengan nafas berat aku terdiam, hanya mampu menatap laba-laba menikmati lengan kiri ku yang dipatahkan.
“Hanya sampai sini.... Berharap Roxy memaafkan aku... Mungkin dia akan mengigit ku di alam baka.”
Tidak ada yang bisa aku perbuat untuk lepas dari krisis ini. Maka satu-satunya yang bisa aku lakukan hanyalah merelakan segalanya.
Menarik nafas dalam lalu menghembuskan secara perlahan, aku mencoba menenangkan pikiran ketika kematian ada di depan mata.
Mataku terpejam. Dalam ketenangan aku kembali mengingat saat masa kecil dimana sakit gigi hampir membuatku gila.
Aku tidak pernah menyangka jika rasa sakit yang menyiksaku akan lenyap hanya dengan satu kejadian tidak terduga.
‘Teman sekolahku tidak sengaja memukul belakang leherku membuat otakku seakan tersambar petir, itu membuatku kehilangan kesadaran. Saat terjatuh dagu ku membentur lantai dengan keras membuat gigiku yang berlubang terlepas.’
Aku merasa terselamatkan saat itu, mungkin jika sakit gigi bertahan lebih lama bisa membuatku bertindak lebih nekat.
Aku kembali membuka mata...
Namun saat aku menatap ke atas, bukan hanya mulut laba-laba yang aku lihat, tetapi aku juga merasa seolah beberapa pasang mata tengah menatapku.
Kemudian sebuah kilat menyinari penglihatanku.
***
[Sudut pandang orang ketiga(TP POV)]
Sore itu begitu gelap, angin bertiup kencang menandakan badai sebentar lagi tiba.
Namun tiba-tiba seluruh alam mengalami keanehan. Entah itu angin, manusia maupun waktu semuanya bergerak begitu lambat seakan terhenti oleh kekuatan misterius.
Dalam waktu yang perlahan membeku, dua sosok tidak diketahui menatap pertarungan Budi dengan Laba-laba raksasa yang saat ini terhenti.
“Itu merupakan Skakmat yang sangat jelas.” ucap seorang wanita dengan suara serak. Nada suaranya memberitahu jika pemilik suara sudah begitu uzur.
Sosok itu bungkuk dengan kulit wajah ketipu dan gigi menghitam, mengenakan gaun hitam dan sebuah tongkat bermotif tengkorak dia jadikan tumpuan untuk berdiri.
Wanita tua membicarakan keadaan Budi yang saat ini terlihat tidak mungkin memenangkan pertarungan melawan monster laba-laba.
“Berapa presentase kemenangan pemuda ini jika saja luka di mata kirinya tidak pernah ada?.” Tanya sosok lainnya.
Suara dari sosok itu begitu jernih seperti aliran air. Sangat menenangkan ketika mendengarnya.
Berbeda dengan wanita tua, sosok itu lebih muda dan begitu cantik rupawan, mengenakan kebaya hijau dengan mahkota emas di kepalanya.
Wanita tua menatap Budi yang tidak bergerak, dia mengusap dagunya sendiri seakan sedang berpikir.
“80%.”
Perkataan singkat wanita tua memberikan penilaiannya membuat sosok lainnya terkejut.
“Bukankah itu mengagumkan?, Setiap job yang pemuda itu miliki bahkan belum menembus level 10. Tapi dia sudah mampu melawan Laba-laba Assassin level 30.”
Suara jernih begitu terdengar sangat mengagumi Budi. Mendengar pemikiran wanita muda, membuat wanita tua tidak senang.
“Hemp, apa gunanya, dia pada akhirnya juga akan mati.” wanita tua mendengus kesal, “Sangat disayangkan dua gelar terkuat lenyap dari dunia ini begitu saja dengan sia-sia.” suara serak itu terdengar penuh amarah.
“Dilihat dari mana pun dia hanya bajingan yang beruntung, dia pasti telah menghabiskan keberuntungan seumur hidupnya untuk menjadi yang perta melenyapkan Dungeon. Sebab itulah sekarang dia mati dengan menyedihkan, karena tidak ada lagi keberuntungan yang tersisa.”
Wanita tua terus mengoceh, sementara wanita muda hanya menatap wajah Budi dengan penuh penyesalan.
“Anda benar Nyonya Lampir, sungguh disayangkan.”
Wanita muda memejamkan matanya lalu berbalik hendak meninggalkan tempat itu diikuti oleh wanita tua dibelakangnya.
Akan tetapi tiba-tiba langit bersinar terang, sebuah cahaya menjalar dari langit menuju permukaan.
Bagaikan akar tanaman, cahaya itu membentuk sebuah serat, meliuk-liuk seperti tidak terkendali namun terarah ke satu titik.
Sebuah petir turun ke bumi, menyambar tepat di belakang kedua wanita itu.
Membuat keduanya begitu terkejut.
Seperti air danau yang dilempari dengan batu besar, ketenangan bagaikan air yang ditunjukkan wanita muda mulai menghilang,
“Deus Ex Machina.” gumamnya dengan suara lembut.
Raut wajahnya bagaikan laut yang mulai tergulung ombak.
****
[Note: Emang ada wajah seperti itu?]
[Author: Namanya juga Foreshadowing]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Cika Ciki
Semangat kak
2023-01-29
0