...༻✡༺...
Waktu menunjukkan jam tujuh malam. Mona sudah menyiapkan segala kebutuhan di meja makan. Dia juga memaksa seluruh keluarga Danendra untuk meluangkan waktu bersama.
"Kau yakin Disha berpacaran sama Defan? Hubungan mereka terasa tidak seperti itu. Aku bahkan sering mendengar mereka saling mengejek dengan kata kasar," imbuh Anas. Dia merupakan ayah kandung Disha. Anas juga tidak jarang mendesak Disha untuk menikah. Tetapi desakannya tidak separah Mona.
"Tidak ada yang mustahil. Kita tidak tahu kapan Defan dan Disha jatuh cinta. Kau tahu sendiri kalau jodoh itu tidak bisa ditebak. Bukankah harusnya kau senang? Ini kabar baik bukan? Disha bahkan membicarakan perihal pernikahan," sahut Mona sembari merapikan gelas yang ada di meja.
"Aku memang senang. Tapi aku hanya tidak menyangka lelaki itu adalah Defan." Anas baru saja duduk ke kursi.
"Begitulah jodoh datang. Tidak ada yang bisa menebak siapa dan kapan." Mona terlihat begitu sumringah.
"Apa kau pernah mendengar rumor tentang Defan? Aku dengar dia menderita..." Anas berhenti bicara sejenak. Dia menengok ke kiri dan kanan. Memastikan tidak ada anak keduanya yang bernama Dika.
Setelah yakin keadaan aman, Anas melanjutkan, "Dia menderita impoten..."
"Ah! Beberapa hari lalu aku melakukan perawatan di klinik ibunya Defan. Katanya itu hanya gosip. Tidak benar adanya. Seorang dokter seperti dia tidak akan berbohong kan?" tanggap Mona tenang.
"Aku rasa itu benar!" ucap Dika yang mendadak muncul. Kedatangannya membuat Anas dan Mona tersentak kaget.
"Dika! Sejak kapan kau di sana?" timpal Anas. Dia merasa Dika tidak seharusnya mendengar pembicaraannya dan Mona.
"Kak Defan sepertinya benar-benar menderita impoten. Aku sering mendengar Kak Disha mengejeknya dengan sebutan letoy," ujar Dika dengan raut wajah serius.
"Dika!" pekik Mona. Dia menegur dengan pelototan mata. Mona segera mendelik ke arah Anas. "Kau! Ngapain juga bicara begituan," timpalnya kepada sang suami.
Anas mengabaikan Mona dan Dika. Dia berpura-pura batuk. Lalu meminum air putih.
Tak lama kemudian, Enita datang. Mona memang sengaja mengundangnya agar bisa mengetahui bagaimana hubungan Disha dan Defan. Mengingat Enita memiliki bakat meramal dan mampu memprediksi masa depan. Dia biasanya bisa mengetahui hal itu dari sikap serta tatapan mata seseorang.
"Mana Disha dan Defan? Mereka belum datang?" tanya Enita seraya duduk ke kursi.
"Belum. Pasti sebentar lagi," jawab Mona antusias.
Di waktu yang sama, Disha dan Defan sedang dalam perjalanan menuju rumah Danendra. Keduanya sama-sama baru pulang dari kantor.
"Aku rasa kita harus menyiapkan banyak hal. Keluargaku pasti penasaran dengan hubungan kita. Apalagi Mamahku. Rasa ingin tahunya sangat tinggi," cetus Disha sambil memegang ponsel. Dia membuka aplikasi catatan. Di sana Disha sudah mencatat kemungkinan pertanyaan yang akan diberikan keluarganya.
"Katakan saja. Aku mendengarkan," sahut Defan.
"Pertama, aku pikir kita harus merancang cerita bagaimana awal mula kita berpacaran. Jadi aku akan mengatakan kalau kau jatuh cinta kepadaku dan menyatakan cinta lebih dulu," ucap Disha.
"Aku tidak setuju. Harusnya kau yang lebih dulu jatuh cinta kepadaku," tolak Defan dengan dahi yang berkerut samar. Dia memang tipe lelaki yang mencintai dirinya sendiri lebih dari apapun. Tidak heran, Defan seringkali tak mau mengalah. Apalagi dari sahabatnya sendiri.
"Apa?! Dimana-mana lelaki yang menyatakan cinta lebih dulu! Enak saja aku yang jatuh cinta lebih dulu. Aku nggak setuju!" balas Disha.
"Pokoknya aku tidak mau tahu! Kau yang lebih dulu jatuh cinta kepadaku!" Defan bersikeras.
"Kau yang jatuh cinta lebih dulu kepadaku!" Disha tak ingin kalah. Sebenarnya ini bukan pertama kali dia dan Defan berdebat. Mereka memang sering cekcok saat memiliki pendapat berbeda. Mungkin karena itulah Disha menyebut Defan lebih menyebalkan dibanding Dimas.
"Kau!" Defan tetap pada pendiriannya.
"Kau!" Disha sama kerasnya seperti Defan.
"Kau!"
"Kau!"
Beberapa menit berlalu. Disha dan Defan masih belum berhenti berdebat. Sampai akhirnya mereka tiba di tempat tujuan.
"Sial! Aku bahkan belum selesai dengan cerita awal kita berpacaran," umpat Disha. Ketika mobil Defan sudah memasuki wilayah pekarangan rumah.
"Ini gara-gara kau tidak mau mengalah." Defan menyalahkan Disha.
"Enak saja. Harusnya kau yang mengalah. Pokoknya, yang jatuh cinta lebih dulu itu adalah kau ya. Awas saja kalau kau tidak cerita begitu pas ditanya," tukas Disha sembari mengacungkan jari telunjuk ke wajah Defan.
"Eh, aku--" Defan ingin menyahut, tetapi Disha sudah keluar dari mobil. Gadis itu memang sengaja meninggalkan Defan lebih dulu.
Defan mendengus kasar. Dia segera mengikuti Disha masuk ke dalam rumah. Hingga keduanya disambut oleh semua orang yang menunggu.
Defan juga saling berkenalan dengan Enita. Keduanya memang baru pertama kali bertemu. Jadi Defan masih belum tahu mengenai bakat meramal yang dimiliki Enita.
Disha dan Defan duduk bersebelahan. Sungguh, keduanya merasa sangat canggung. Terlebih atensi semua orang tertuju kepada mereka.
"Kalian benar-benar berpacaran?" tanya Anas. Memulai pembicaraan.
Disha menyenggol kaki Defan. Menyuruh lelaki itu untuk menjawab.
"Iya, Om. Sudah tiga tahun lebih. Tapi baru sekarang kami berani mengatakannya kepada semua orang." Defan segera angkat suara setelah mendapat senggolan dari Disha.
"Aku benar-benar tidak menduga," tanggap Anas.
"Kalau boleh tahu, siapa yang jatuh cinta duluan?" tanya Mona. Melanjutkan pembicaraan.
Prediksi Disha benar seratus persen. Dia menjawab, "Defan yang lebih dulu..."
"Aku? Bukankah kau yang lebih dulu menunjukkan rasa sukamu kepadaku?" Defan ternyata tetap pada pilihannya.
Pupil mata Disha membesar. Dia ingin sekali menampar pipi Defan sekarang. Meskipun begitu, Disha tidak mau mengalah. Jadi dirinya lebih memilih merubah topik pembicaraan.
"Lupakan. Aku dan Defan mungkin tidak akan menceritakannya. Itu agak memalukan bagi kami. Yang jelas kami berniat ingin menikah dalam waktu dekat," ujar Disha.
"Ya, minggu depan aku dan keluargaku akan datang ke sini untuk melakukan lamaran," ungkap Defan. Dia dan Disha memaksakan diri untuk tersenyum.
"Itu benar-benar kabar baik. Kalau begitu kami juga akan bersiap untuk minggu depan," sahut Mona. Dia dan Anas tampak tersenyum simpul.
"Senyuman Kak Disha kok begitu? Lebay! Kayak senyuman pura-pura tahu nggak," tukas Dika gamblang. Dia segera kena geplakan di jidat dari Mona.
"Kakaknya lagi bahagia kok malah ngomong gitu," geram Mona.
"Dih! Nanti kalau kau sudah besar pasti bakal ngerasain," kata Disha. Dia sengaja menahan diri. Padahal biasanya jika mendengar Dika mengkiritik, maka Disha seringkali menjewer telinga remaja berusia 15 tahun tersebut.
Satu-satunya orang yang tidak bicara hanyalah Enita. Dia begitu serius memperhatikan Disha dan Defan. Itu terus dilakukannya sampai sesi makan malam selesai.
Defan yang merasa tidak nyaman, berbisik ke telinga Disha. "Teman Mamahmu itu kenapa terus menatap kita," ujarnya.
"Dia memang begitu. Pokoknya jangan balas tatapannya." Disha balas berbisik. Dia memang sering merasa tidak nyaman dengan kehadiran Enita. Aura wanita itu memang agak mengancam. Meskipun begitu, Disha tidak pernah mempercayai ramalan yang dikatakan oleh Enita.
Kini semua orang tengah menyantap hidangan pencuci mulut. Saat itulah Enita angkat suara.
"Aku melihat bintang yang bersinar terang untuk hubungan kalian," celetuk Enita. Masih menatap Defan dan Disha. Semua orang sontak terdiam.
"Jika kalian menikah, rumah tangga kalian akan berjalan sangat baik dan membahagiakan. Bahkan penuh gairah," ungkap Enita.
Mona yang mendengar tersenyum lebar sambil menyatukan tangan ke depan dada. "Kau merasakan itu, Nit?" tanyanya memastikan.
"Ya, meski apa yang kulihat sekarang tampak seperti kepalsuan, tapi kepalsuan itu hanya akan berselang sesaat," jelas Enita.
"Hahaha! Candaanmu lucu sekali. Seperti peramal saja. Aku tentu berharap yang kau katakan itu terjadi. Tapi yang jelas tidak ada kepalsuan yang terjadi." Defan tertawa hambar. Dia menganggap Enita sedang bercanda.
Disha lekas menyenggol Defan dengan siku. Lelaki itu otomatis terdiam.
"Dia tidak bercanda. Tante Enita memiliki bakat bisa membaca masa depan seseorang," bisik Disha. Meskipun begitu, dia skeptis terhadap pernyataan Enita. Terlebih wanita itu menyebut rumah tangga Disha dan Defan bahagia. Bagi Disha itu jelas tidak mungkin, karena pernikahan yang dilakukannya dengan Defan hanyalah pernikahan kontrak.
'Sudah kuduga. Ramalannya tidak bisa dipercaya. Dasar pembohong,' batin Disha tak percaya. 'Atau mungkin dia membicarakan bagaimana bahagianya aku dan Defan saat bisa fokus bekerja. Ah.. Aku sudah tidak sabar bisa menikmati hidup tanpa tuntutan dari Mamah,' sambungnya menduga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Kamiem sag
mungkin
2024-05-11
0
Emn Sc
mungkin seiring berjalannya waktu dg tiap hr hidup bersama. ..akan tumbuh rasa sayang dan cinta Mereka
2023-10-16
0
Bzaa
inget .. tidak ada yg tidak mungkin dis
2023-06-23
0