TCS 10

“Anak dari wanita ******, akhirnya kamu masih berani bekerja di sini?” tanya Mike saat berpapasan dengan Alice yang baru saja selesai dari membeli kopi di kafe. 

Alice menelan salivanya susah payah saat Mike menyapanya dengan suara cukup keras hingga mungkin cukup banyak yang mendengar kalimat menjijikan itu. 

Alice memegang cup kopi di tangannya dengan susah payah, karena sekarang tatapan para pegawai mulai berbeda. Ia memejemkan matanya sebentar, lalu memilih untuk melangkah meninggalkan Mike yang terdengar tertawa setelah Alice benar-benar pergi. 

Alice meminum kopinya dengan hati yang perih seraya terus mencatat laporan yang akan diberikan pada asisten Mike nanti. Di meja kerja sudah ada setumpuk laporan yang belum disahkan karena harus ia periksa ulang dalam keadaan perasaan yang berantakan. Ia mengambil tisue, lalu mulai menghapus air matanya yang tiba-tiba saja menggenang. 

“Hah, anak pelakor ada di sini? Astaga, aku kira dia tumbuh dari keluarga yang baik. ternyata penampilan seseorang memang bisa menipu, ya,” sindir seorang wanita yang baru saja masuk ke ruangan yang sama dengan Alice, kedua matanya menatap sinis dan jijik seakan Alice adalah kotoran yang harus dibuang bersamaan dengan sampah yang setiap hari menumpuk. 

“Biasanya buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Kalau ibunya pelakor, otomatis anaknya juga bisa menjadi pelakor atau calon pelakor,” cemooh yang lain. 

Sekali lagi Alice memejamkan matanya saat dadanya merasa sesak oleh ejekan-ejekan tersebut. Ia merasa bahwa kehidupannya di kantor makin terasa sulit dan makin bertambah hari, makin ia tak betah dan ingin resign saja daripada harus bertahan dan menghancurkan mentalnya. 

Karena tidak tahan, akhirnya Alice langsung menumpuk semua lembaran-lembaran miliknya di atas meja tanpa peduli oleh pengesahan yang harus dilakukan seora, kemudian ia melangkah cepat menuju kamar mandi, melihat banyak tatapan benci dilemparkan padanya. Mata-mata yang mereka miliki sepereti pisau yang melukainya. Alice tak tahan, hingga akhirnya ia masuk ke dalam kamar mandi dan mulai menangis di sana. 

“Tidak, aku juga tidak mau menjadi seperti ini. aku juga tidak mau menjadi seorang anak dari seseorang yang merebut suami orang lain, tapi aku bisa apa? Aku hanya seorang anak yang tak bisa memilih untuk terlahir dari orang tua yang mana,” sesalnya. Ia duduk di atas kloset yang tertutup, menyembunyikan wajahnya pada lutut yang tertekuk dan isaknya mulai terdengar perih. Dadanya kembali terasa nyeri saat komentar para pegawai yang mem-bully-nya terngiang-ngiang di kepala. 

“Tidak, aku bukan pelakor. Aku tidak akan seperti Ibu,” desis Alice. 

Lama ia menangis di dalam kamar mandi, seakan ia tak berani untuk keluar dan menghadapi ejekan lagi. Jika ia memutuskan untuk keluar, maka sama saja ia akan diterkam oleh kenyataan yang membuatnya kembali menangis. Ledekan mereka belum selesai hingga Alice keluar dari pekerjaan ini. 

Hingga malam tepat pukul 20.00 di mana para pekerja sudah berganti shift, barulah Alice berani untuk keluar kamar mandi. Ia memeriksa dirinya di depan kaca, melihat wajahnya yang cukup berantakan lalu segera pergi meninggalkan hotel menuju rumah dengan was-was. Ia takut bertemu dengan Mike dan kembali di-bully oleh lelaki itu.

Saat sampai di rumah setengah jam kemudian, ia melihat Esme yang sedang duduk di ruang tamu seraya membaca majalah wanita keluaran terbaru. Tampak di depannya sekotak pizza yang belum dibuka. “Tumben sekali kamu pulang malam,” komentar Esme saat melihat Alice yang baru saja tiba di pintu. 

“Ibu, aku mohon lebih baik kita keluar saja dari rumah ini, Bu. Aku tidak mau tinggal di sini. Aku juga akan mencari pekerjaan lain. Aku mohon, Bu,” ucap Alice seraya berjalan ke arah Esme dan duduk bersimpuh di depan ibunya. 

Esme menurunkan majalahnya, menatap Alice dengan pandangan tak percaya. Kepalanya menggeleng kuat. “Tidak, apa yang kamu katakan? Kamu ingin keluar dari rumah ini setelah aku pertemukan kamu dengan ayahmu? Yang benar saja. Alice, lupakanlah kata ‘kembali’ karena kita sudah tak memiliki tempat tinggal lagi. Rumah lama kita sudah Ibu jual,” cetusnya seraya menaruh majalah di kursi sebelah. 

Belum selesai rasa takutnya terobati, ia malah terkejut dengan pernyataan Esme yang entah kapan telah menjual rumah lama mereka. “Ibu, jangan berbohong. Aku mohon,aku tidak bisa tinggal di sini. Ibu, di sini bukan tempat kita. Lebih baik kita keluar dan jangan pernah menginjakkan kaki di sini lagi. Jika memang rumah kita sudah dijual, bukankah ada cara lain agar kita tetap pergi, kita bisa mengontrak sebuah rumah baru, itu lebih baik daripada di sini, Bu, aku mohon.” Rinainya kembali terjatuh, karena Alice sudah tak bisa lagi menahan air matanya. Ia benar-benar tak sanggup membayangkan bagaimana tiap hari menjadi bahan bully-an orang-orang kantor dan Mike. 

“Apa yang terjadi padamu? Apakah ada yang menyakitimu di kantor? Jika ada, lebih baik dikasuskan saja dan Ibu akan meminta ayahmu untuk menyewa lawyer,” tegas Esme. “Bangunlah, Alice. Lebih baik kamu makan daripada mengharapkan sesuatu yang mustahil. Sudah enak hidup di sini, tapi kamu ingin kembali ke masa-masa dulu yang bahkan Ibu tak pernah menginginkannya sedikit pun,” cetusnya. Esme mengubah posisi duduknya, menatap Alice kesal, lalu berdiri dan merapikan pakaiannya yang sepertinya terlihat masih sangat baru. 

“Ibu, aku mohon.” Sekali lagi Alice mengucapkannya dengan posisi kepala yang makin tertunduk, seperti seseorang yang akan bersujud. 

Kedua tangan Esme menyilang ke depan begitu melihat Alice yang semakin berusaha keras. “Sekali Ibu katakan tidak, maka jawabannya tetap tidak. Jika memang harus ada yang keluar dari rumah ini tentunya itu bukan kita, tapi Raina dan Mike yang harus angkat kaki,” tegasnya. 

Raina yang baru saja keluar dari kamar dan lewat ke depan ruang tamu, tak sengaja mendengar perkataan Esme. Seketika darahnya langsung terasa mendidih dan ia langsung melangkah ke arah Esme dan anaknya seraya membawa kemarahannya yang sudah sampai puncak. “Apa yang kamu katakan? Keluar? Jika ada yang keluar harus aku dan anakku? Kamu betul-betul perempuan tak tahu malu, Esme! Mana harga dirimu sebagai wanita? Kalian hanya numpang di rumah ini dan tidak memiliki hak untuk mengusir pemilik dari dalamnya,” sentak Raina. Urat lehernya terlihat menyembul, wajahnya sangat memerah, memperlihatkan bahwa ia sangat marah dengan ucapan Esme. 

Alice memejamkan matanya, lalu berdiri. Ia tahu bahwa situasi mulai kacau, tetapi ia tak bisa menghentikan mereka. 

“Jangan pernah beraninya kamu mengatakan hal itu lagi, atau saya yang akan membuat kalian berdua lebih dulu keluar dari rumah ini dan menjadi gembel di luar sana,” bentak Reina lagi, untuk kedua kalinya ia menyerang Esme. 

Terpopuler

Comments

Bunda Hani

Bunda Hani

esme tuh ga sadar apa ya kalau kelakuannya bikin Alice menderita

2022-12-04

0

Bunda dinna

Bunda dinna

Alice yg jadi korban di sini

2022-11-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!