"Harusnya kau belajar dari Kakakmu Zayd, meskipun dia sampai saat ini belum mempunyai keturunan tetapi ia tidak melakukan hal nekat seperti yang kamu lakukan saat ini!"
"Dan untukmu Syafea, apakah kau tahu harga diri seorang wanita? Seharusnya kau bisa menjaga harga dirimu dan juga harga diri suamimu."
"Kau tidak bisa memutuskan sesuatu hal hanya dengan berdiskusi dengan suamimu saja, bahkan tidak melibatkan anggota keluarga yang lainnya. Apakah kamu tidak menganggap kami ada?"
Syafea menunduk, betul apa yang dikatakan oleh Umi barusan. dia memang terlalu naif untuk menjadi seorang wanita. Bahkan kali ini harga dirinya mungkin lebih rendah daripada Aletta.
Hanya demi sebuah popularitas ia telah menjual tubuhnya kepada lelaki lain. Berbohong untuk sebuah dosa besar yang tidak bisa ia tutupi untuk selamanya.
"Aku tahu aku salah, tetapi kalian tidak bisa mendikteku dengan menyalahkan semua hal kepadaku."
Syafea menatap ke arah suaminya, berharap jika Zayd mengatakan sesuatu kepadanya. Akan tetapi bungkamnya Zayd mengatakan jika ia memang tidak berguna.
"Aku merasa menyesal telah memperjuangkan cinta kita, Mas. Sungguh aku merasa kamu tidak bisa diandalkan!"
Suasana malam itu benar-benar mencekam. Tidak ada yang berani berbicara satu kata pun. Begitu pula dengan Aletta yang merasa kehadirannya salah karena memasuki sebuah keluarga.
Meskipun ia telah mendapatkan restu dari kedua orang tua Zayd Abdullah, tapi dengan begitu ia juga melukai hati istri pertama dari Zayd.
"Bagaimana jika aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Belum satu bulan bersama masalah seberat ini sudah menderaku!"
Aletta memberanikan diri untuk menatap ke arah depan. Namun, Aletta melihat kebencian yang besar di dalam mata Shafea. Berbeda dengan saat pertama kali ia meminta rahimnya untuk menitipkan buah cinta mereka.
"Kenapa aku berada di sini? Harusnya aku tidak memasuki kehidupan rumah tangga mereka. Maafkan aku ya Allah atas semua kekhilafan yang telah aku lakukan saat ini," ucap Aletta di dalam hati.
Sama halnya dengan yang dilakukan oleh Zayd saat ini. Ia begitu terkejut dengan kejadian yang terjadi di depan matanya saat ini.
"Bagaimana aku menghadapi kemarahan Umi. Jujur saja awalnya aku juga menolak hal ini, tetapi keteguhan hati Syafea membuatku jatuh dan tidak bisa menolak permintaan darinya," gumam Zayd saat menatap Syafea.
"Umi, maafkan perbuatan kami. Niat hati hanya ingin memberikan sebuah kebahagiaan dengan menghadirkan seorang cucu untuk Umi dan Abah, tetapi permasalahannya justru seperti ini."
"Iya, Umi. Maafkan kami," pinta Syafea dengan tulus.
Sorot mata Syafea sangat berbeda dengan apa yang berada di dalam hatinya. Ada banyak hal yang ingin Syafea katakan, tetapi karena saat ini kondisinya tidak kondusif membuat Syafea hanya bisa pasrah.
"Aku tidak menyangka kemarahan wanita ini begitu besar. Aku kira dia hanya bisa berdiam diri ketika melihat ketidakadilan terjadi pada putranya."
Abah hanya menghela nafasnya, beliau membiarkan istrinya meluapkan beban yang ada di pikirannya karena ia tahu Umi tidak pernah mengajarkan hal seperti ini kepada putra-putrinya. Meskipun ia tidak menyetujui pernikahan Zayd dan Syafea tetapi Umi tidak pernah mengungkapkannya secara langsung di hadapan mereka.
"Abah harap kalian bisa mengetahui sebuah alasan kenapa Allah belum menitipkan amanahnya kepada kalian berdua."
Sontak keduanya menatap ke arah Umi dan Abah.
"Jika sepasang suami belum diberikan amanah seorang anak, bisa jadi mereka belum dinilai siap secara lahir dan batin. Bisa jadi itulah ujian di dalam pernikahan mereka dan bagaimana cara mereka menyikapi hal itu sampai Allah benar-benar menurunkan amanahnya pada mereka."
"Jika kalian hanya pasrah tanpa mau berusaha itu sama saja bohong. Coba lihat ke dalam diri kalian masing-masing, apakah kalian sudah mengambil hati Allah dengan semakin sering berdoa dan beribadah kepadaNya? Atau kalian semakin meninggalkan perintahnya dan semakin suka mendekati laranganNya?"
Zayd menggeleng, tentu saja ia selalu berdoa di setiap sujudnya. Akan tetapi hal itu sangat cocok jika dinilai dari sudut Syafea yang jarang sekali beribadah.
"Apakah ini teguran dari Allah kepadaku hingga akhirnya takdir membawaku untuk bertemu dengan Aletta?"
"Mungkin saja begitu, tetapi semoga hubunganku dengan Syafea tidak akan menjadi renggang karena hal ini."
"Saat ini, Abah tidak mau berbicara banyak, aku rasa kalian sudah dewasa dan mampu mengerti apa yang harusnya kalian lakukan dan tidak!"
Mungkin inilah yang dinamakan batas kesabaran dari seseorang. Ada kalanya seorang manusia itu berdiam diri atas apa yang terjadi kepadanya. Namun, ada kalanya ia harus berbicara tentang apa yang menurutnya tidak benar.
Umi tampak menghela nafasnya. Ia tidak mau mengatakan apapun lagi terlebih semuanya sudah jelas saat ini.
"Sekarang aku serahkan semuanya ini pada kalian berdua. Putuskan dengan kepala dingin, karena sebuah hal penting tidak bisa sembunyikan selamanya."
"Aku juga tidak ingin membuat nama baik Aletta tercoreng di sini. Jika ia menjadi istri keduamu maka ia juga harus mendapatkan hak yang sama."
Sontak saja kedua mata Syafea membulat sempurna. Jujur ia tidak menginginkan hal ini terjadi. Awalnya ia mengira bisa memberikan semua hal yang dibutuhkan keluarga besar Zayd dengan sebuah keturunan, tetapi semua rencana yang telah ia susun rapi semuanya batal dan berantakan.
"Kenapa harus begitu, bukankah setelah Aletta melahirkan ia bisa kembali pada kehidupannya kembali? Lagi pula usia Aletta masih muda."
"Apa kau tega memisahkan ibu dan anaknya. Apakah kau pikir tidak ada ikatan batin di antara keduanya setelah ia melahirkan nanti?"
"Entahlah, yang jelas aku belum bisa mengatakan apapun lagi, Umi."
Syafea terlihat pasrah terhadap hal ini. Semua keputusan yang diucapkan Umi tidak akan membuatnya semakin dicintai olehnya.
"Jika sampai kamu mencuri posisiku, maka bisa aku pastikan hidupku akan menderita Aletta!"
"Apa kau juga mau protes terhadap keputusanku?"
"Kalau iya maka ucapkanlah sekarang!"
Terlihat kedua tangan Syafea mengepal sempurna. Merasakan sebuah sesak di dada karena sebuah hal yang terjadi di luar keinginannya.
"Zayd, putuskan dengan secepatnya. Aku berharap jika semua yang kamu lakukan tidak melukai kedua istrimu. Menikah bukanlah sebuah permainan. Jika kamu sudah menikahi dua wanita kau harus memperlakukan mereka dengan seimbang. Tidak boleh berat sebelah ataupun memihak ke sebelah.
"Baik, Abah. Apa yang diucapkan Umi dan juga Abah adalah sebuah kebenaran. Aku menyadari jika apa yang telah aku lakukan salah. Maka dari itu aku meminta maaf dan akan memperbaiki semuanya."
"Dan untukmu Aletta aku ...."
"Aku tidak bisa menyentuh dirimu sampai kita melakukan pernikahan secara sah secara agama dan hukum. Itu artinya kau harus banyak bersabar untuk hal itu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
@⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔Tika✰͜͡w⃠🦊⃫🥀⃞🦈
apa aku salah komen ya 🤭... Syafea gimna sih dia yang melibatkan Aletta dlm kehidupannya malah dia mengancam Aletta... benar" ngk bener ni orang
2022-12-05
3
🥑⃟𝚜𝚌𝚑𝚊𝚝𝚣𝚒🦊⃫⃟⃤ₕᵢₐₜ𝚞𝚜
aku apa thorrr ko g d lanjutin 🤔🤔🤔
2022-12-04
2
🥑⃟𝚜𝚌𝚑𝚊𝚝𝚣𝚒🦊⃫⃟⃤ₕᵢₐₜ𝚞𝚜
harus seimbang dong jngn berat sebelah zayd. 🤭
2022-12-04
2