Pukul 22.00 WIB.
Pengajian untuk kedua orang tua Cefi telah selesai dilaksanakan. Kedua orang tua Baron berencana mengadakan pengajian bapak-bapak selama 7 hari berturut-turut setiap malam. Pengajian tersebut diadakan di Rumah Cefi, mengingat Cefi yang memintanya. Cefi, Ibu Anes, dan Ustazah Aisyah, beserta suami-suami mereka pun sudah selesai membereskan Rumah Cefi.
Ustaz Bangga dan Ustazah Aisyah pun pamit pulang mengingat hari sudah malam. Ibu Anes memberikan bingkisan kepada Ustazah Aisyah sebagai bentuk terima kasih. Awalnya Ustazah menolak namun karena Ibu Anes memang sudah meniatkan dan sedikit memaksa akhirnya Ustazah Aisyah menerimanya.
"Nak, malam ini kamu tidur di rumah mama lagi ya?" Tanya Ibu Anes.
Cefi terdiam. Dia sendiri pun bingung, di satu sisi dia ingin tidur di rumahnya namun dia takut sendirian (Pada dasarnya Cefi memang seorang yang penakut). Namun, kalau tidur di rumah Baron dia akan semakin merepotkan Keluarga Baron lagi. Dia sudah banyak merepotkan Keluarga Baron.
Lagi pula dia ingin tidur di rumahnya sambil mengenang kedua orang tuanya.
"Oh, apa kamu mau tidur di sini? Nanti mama suruh Baron temenin kamu." Tanya Ibu Anes.
"Enggak-enggak. Baron mau tidur di rumah, Ma." Kata Baron yang menyela pembicaraan.
"Barooon." Ibu Anes memperingati anaknya.
Baron terdiam dan menghela napas, "Jadi, gimana? Lo mau tidur di mana?" Tanya Baron kepada Cefi.
"Ma, aku tidur di sini aja ya? Gakpapa, Ma. Aku berani sendiri." Kata Cefi sambil tersenyum ke arah Ibu Anes.
"Begini saja, kita semua tidur di rumah ini. Papa sama mama boleh kan tidur di sini, Nak?" Tanya Pak Pradana. Beliau mengerti keadaan Cefi. Cefi mungkin masih sangat merindukan orang tuanya dan ingin berada di rumah tersebut.
Cefi menatap Pak Pradana dengan mata berbinar, "Benarkah?" Tanya Cefi.
Pak Pradana tersenyum dan menganggukkan kepala beliau. Ibu Anes pun ikut tersenyum kepada Cefi menyadari kalau Cefi terlihat senang dengan keberadaannya.
"Iya, kita akan menginap di sini." Jawab Pak Pradana.
"Asikkk. Terima kasih Papa, Mama." Kata Cefi.
Baron bangkit, "Baron mau pulang aja, Pa." Kata Baron.
"Enggak. Kamu harus di sini. Xaviera itu istri kamu Baron." Kata Ayahnya Baron.
Baron menghela napas. Dia duduk lagi. Dia hampir saja melupakan fakta itu.
"Lebih baik kalian istirahat. Kalian kan suami istri, sudah seharusnya tidur di kamar yang sama. Tapi papa minta satu hal, kalian jangan buat anak dulu. Xaviera masih sekolah, kamu juga masih mahasiswa tingkat akhir. Selesaikan dulu masa studi kalian baru lakukan apapun terserah kalian." Kata Ayahnya Baron.
Cefi terkejut dan menoleh ke arah Baron. Buat anak? Sungguh, baik Cefi maupun Baron belum ada memikirkan hal itu. Lagi pula apakah mungkin?
Kedua Orang Tua Baron dipersilakan untuk menempati kamar almarhum dan almarhumah kedua orang tua Cefi. Kamar itu masih bersih. Sedangkan Cefi dan Baron akan tidur di kamar Cefi. Cefi tentu tidak berani memberikan kamar tamu untuk kedua orang tua Baron mengingat di kamar tamu, tempat tidurnya sempit. Baron juga tidak mau tidur di kamar tamu yang belum dibersihkan.
"Lo ngapain?" Tanya Cefi saat keluar dari kamar mandi dan mendapati Baron yang sudah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Tidurlah. Mau apa lagi?" Tanya Baron yang sudah menutup matanya.
Cefi pun langsung mengguncang-guncang tubuh Baron, "Tidur di lantai aja sama!" Kata Cefi.
"Ih, ogah. Lo aja sono." Kata Baron.
"Lo kan laki, harus ngalah dong sama perempuan." Kata Cefi.
Baron menoleh ke kanan dan ke kiri, "Mana perempuan?" Tanya Baron.
Cefi mendengus, "Sialan." Jawab Cefi.
Baron memejamkan mata sambil terlentang, dia sangat mengantuk karena memang dia belum tidur sejak kemarin. Cefi mengamati Baron, dia tahu kalau laki-laki itu sangat lelah. Akhirnya dia pasrah.
Cefi pun menoleh ke bawah. Dia akan sakit kalau tidur di bawah. Tapi rasanya canggung untuk tidur di atas tempat tidur yang sama dengan Baron. Sebelum menikah, dia mungkin tidak terlalu masalah soal hal itu. Karena kalau pergi bersama kedua orang tua mereka, mereka berdua suka ketiduran di taman berdua. Namun, setelah menikah ntah mengapa ada rasa canggung.
"Ah, bodo amatlah. Dia aja gak kenapa-kenapa." Kata Cefi.
Cefi akhirnya memutuskan untuk berjalan ke sisi Baron dan merebahkan tubuhnya ke sana. Pikirannya ntah ke mana. Namun kali ini dia kembali memikirkan ibu dan ayahnya.
Ketika pengajian tadi, ntah mengapa Cefi merasa menjadi anak paling durhaka. Dia tidak terlalu pandai membaca Al-Quran. Belum fasih dan sangat terbata-baca. Dia ingin bisa melantunkan Surah Yasin dengan lancar agar dia bisa mudah mengirim doa untuk kedua orang tuanya.
Mama, Papa, maaf ... -ucap Cefi dalam hati.
Cefi kembali meneteskan air matanya, isakannya mulai keluar lagi. Namun, karena di sampingnya sudah ada Baron dan dia tidak mau mengganggu Baron, akhirnya dia memutuskan untuk berbalik dan memunggungi Baron.
Di belakang Cefi, Baron membuka matanya, dia melirik Cefi yang kini bahunya bergetar.
***
Cefi membuka mata saat ada sesuatu yang berat menimpa dirinya. Dia membuka mata dan terkejut setengah mati ketika pipinya menempel dengan pipi Baron dan tubuhnya seperti dipeluk. Ah, bukan di peluk. Ditiban. Cefi merasanya ditiban bukan dipeluk. Kini Cefi susah bergerak. Baron sangat berat.
Dug!
Cefi membenturkan kepalanya kepada dahi Baron, "Bangun, anjir, berattt!" Seru Cefi.
Baron pun meringis dan membuka mata. Seketika Cefi langsung mendorong tubuh Baron dengan kekuatan ekstra sampai akhirnya Baron jatuh dari tempat tidur.
"Brengsek! Sakit anjir!" Seru Baron.
Cefi langsung menutupi dadanya, "Lo semalem perkosa gue ya?" Tuduh Cefi.
"Cih, badan lo aja gak nafsuin gitu ngapain gue perkosa?" Kata Baron. "Lagian badan lo gak ada yang ..."
Cefi melemparkan bantalnya kepada Baron untuk menghentikan kalimat Baron. Dia tahu kalau Baron akan mengatakan hal yang menyakiti hatinya. Lebih baik menjaga dari pada mengobati.
"Trus ngapain lo peluk-peluk gue? Gue bilangin Papa baru tau rasa lo!" Seru Cefi.
"Gue gak kerasa ya! Orang gue lagi tidur. Salah sendiri bantal guling lo cuma satu, diambil pula!" Kata Baron.
"Yeuuu ngeles mulu lo, dasar cowok mesum!" Kata Cefi.
"Enak aja! Elo kali yang nyaman dipeluk sama gue." Kata Baron.
Cefi melolot, tidak terima. Lalu dia mengambil bantal lagi dan hendak melemparkan bantal itu kepada Baron. Namun, seseorang menghentikan gerakannya.
Tok tok tok!
"Kalau udah selesai berantemnya jangan lupa ambil wudu trus salat subuh!" Seru ibunya Baron dari luar kamar.
***
"Kalian berdua kenapa sih? Masih pagi udah cemberut aja." Kata ayahnya Baron. Pak Pradana.
Kini mereka sedang sarapan di rumahnya Cefi. Ibu Anes sudah memasak untuk mereka semuanya.
"Baron tuh, Pa. Ngeselin." Kata Cefi cemberut.
"Gue gak sengaja ya. Orang lagi tidur mana tau meluk orang atau nggak." Kata Baron.
Pipi Cefi terasa panas ntah kenapa. Dia melotot ke arah Baron, Baron balas melemparkan tatapan kesal ke arah Cefi. Kedua orang tua Baron terkekeh dan menggelengkan kepalanya.
"Ini mungkin terlalu singkat. Papa dan Mama juga tidak bisa memaksakan kalian untuk begini dan begitu. Semuanya harus dijalani pelan-pelan. Tapi, papa minta mulai saat ini jangan pakai lo-gue lagi. Dan Xaviera, kamu tidak boleh lagi memanggil suami kamu dengan nama. Panggil dengan sebutan "Mas" atau "Abang" atau ..." Kata Pak Pradana sambil melirik istrinya.
"Atau sayang juga boleh." Sahut Ibu Anes sambil terkekeh begitu juga dengan Pak Pradana.
"Hueeek!" Cefi dan Baron pura-pura muntah. Kemudian dia saling menatap dengan tatapan jijik satu sama lain.
Kedua orang tua Baron pun tertawa begitu saja melihat kelakuan anak dan menantunya. Namun, orang tuanya Baron akan selalu mengajarkan ini dan itu kepada mereka secara perlahan-lahan. Mereka bukanlah orang tua yang kolot. Mereka hanya mengerti kalau kedua anak itu masih sangat muda dan butuh proses pendewasaan.
"Pa, Ma, aku pulang dulu. Mau ganti baju terus berangkat ke sekolah." Kata Baron.
Cefi seketika ingat kalau dia juga harus ke sekolah, namun dia juga sangat paham kalau posisinya dia masih orang luar dan dia merasa harus membereskan peralatan makan di atas meja makan. Apa lagi dia merasa kalau dia adalah tuan rumah di rumahnya sendiri jadi tidak mungkin meninggalkan meja makan yang belum bersih.
"Nak, kamu juga harus berangkat ke sekolah, Sayang. Kan udah kelas 3 jadi nggak boleh kelamaan gak masuk sekolah." Kata Ibu Anes kepada Cefi.
"Iya, Ma. Aku berangkat sekolah. Tapi nanti abis beresin ini dulu." Kata Cefi.
"Sttt ... Nggak usah. Biar mama aja yang beresin. Kamu siap-siap aja nanti telat. Bareng Baron aja." Kata Ibu Anes.
"Aku bareng 'papa' aja." Kata Cefi. Seketika dia terdiam. Papa yang dia maksud di sini sebetulnya bukan ayahnya Baron. Melainkan Alm. Pak Wijaja, ayahnya Cefi.
Seketika mata Cefi panas. Dia memang biasa diantar oleh ayahnya ke sekolah. Itulah kenapa dia refleks mengatakan itu.
Menyadari apa yang terjadi, Ibu Anes pun langsung memeluk Cefi dan membuat Cefi menangis.
"Nggakpapa. Mungkin belum terbiasa." Kata Ibu Anes.
"Gakpapa. Ayo, papa antar kamu ke sekolah kalau kamu gak mau sama Baron." Kata Pak Pradana.
Cefi tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Cefi pun langsung bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah bersama dengan Pak Pradana. Cefi jadi teringat bagaimana dia yang selalu berangkat dengan ayahnya. Pak Pradana menepikan mobilnya namun seketika pandangan Pak Pradana tertuju pada Baron yang baru saja memasuki gerbang sekolah Cefi dengan menggunakan motornya.
"Loh, Nak. Baron magang di sekolah kamu?" Tanya Pak Pradana.
Cefi meringis dan menganggukkan kepalanya begitu saja, "Iya, Pa. Dia guru matematika aku di sekolah." Jawab Cefi.
Pak Pradana pun menganggukkan kepalanya begitu saja. "Nak, kalau bisa jangan sampai warga sekolah tau kalau kalian sudah menikah ya. Bukannya papa tidak suka tapi papa takut kalau kamu akan dikeluarkan dari sekolah." Ucap Pak Pradana.
"Baik, Pa. Aku enggak akan bilang ke mereka kalau aku udah menikah. Makasih ya, Pa. Makasih udah baik sama aku." Kata Cefi.
"Sama-sama, Nak. Papa juga papa kamu jadi sudah sewajarnya Papa seperti ini." Kata Pak Pradana.
Cefi tersenyum. Dia sangat beruntung memiliki mertua yang sangat baik seperti Pak Pradana dan Ibu Anes. Namun, sayangnya dia harus mendapatkan suami seperti Baron.
Huh, gue dapet mertua baiknya masyaAllah tapi dapet suami yang Astaghfirullah. Hidup kok becanda banget si. - kata Cefi dalam hati.
"Aku masuk ya, Pa. Assalamualaikum." Salam Cefi yang mencium tangan Pak Pradana.
"Waalaikumsalam wa rahmatullahi wa barakatuh." Jawab Pak Pradana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments