Malam tiba.
Pak Wijaja baru pulang dari kantor, lalu mengajak istri dan anaknya untuk makan malam di luar, beliau juga mengundang Keluarga Halim (Keluarganya Baron), tetangga mereka yang sudah belasan tahun lamanya bertetangga dengan keluarga beliau. Sebelumnya, Pak Wijaja sudah berpesan pada istrinya untuk tidak masak untuk makan malam karena mereka akan makan malam di luar.
Keluarga Salim (Keluarganya Cefi) dan Keluarga Halim (Keluarga Baron) memang sangat dekat. Bahkan mereka sebetulnya sudah sering sekali pergi berlibur bersama-sama. Meski tiap pergi pun kedua anak mereka tidak pernah bisa akur. Dua keluarga itu benar-benar seperti keluarga meski hanya tetangga.
"Ih, kenapa harus ajak anaknya juga si, Ma? Kenapa nggak Tante Anes sama Om Pradana aja?" Tanya Cefi.
"Sttt ... Sayang. Nggak boleh gitu ah." Kata Ibu Larasati memperingati anaknya.
Keluarga Salim sudah sampai terlebih dahulu di saung rumah makan yang sudah dipesan oleh Pak Wijaja. Pak Wijaja baru saja mendapatkan proyek besar di Singapura, sehingga beliau ingin mengundang tetangganya itu sebagai syukuran kecil-kecilan.
Hal yang sama juga dilakukan Keluarga Halim kalau Pak Pradana sedang mendapatkan banyak rezeki. Keluarganya Cepi akan diajak pergi liburan atau sekadar makan-makan.
Setelah melihat mobil Keluarga Halim datang, Pak Wijaja dan Ibu Larasati pun menyambut kedatangan Pak Pradana, Bu Anes, dan juga Baron dengan cara berdiri dan keluar dari saung.
Iya, Pak Wijaja memang sengaja memilih restoran yang tempat duduknya persaung yang memang ditujukan untuk keluarga. Ada puluhan saung yang mengelilingi danau dengan lampu yang kerlap-kerlip. Situasi juga masih begitu asri, namun, meski begitu selama mereka berada di sana tidak ada satu nyamukpun yang mengigit mereka.
"Nak, salim yang sopan ya?" Pinta Ibu Larasati.
Cefi bangkit setelah diberikan perintah oleh ibunya, lalu dia mencium tangan Ibu Anes dan Pak Pratama. Dia tidak mau mencium tangan Baron takut ada kuman padahal Baron anak laki-laki yang melek kebersihan.
Tak lama kemudian, mereka pun duduk menunggu makanan datang sambil berbincang-bincang. Sedangkan Cefi dan Baron hanya diam saja dan hanya sesekali menjawab pertanyaan kalau ditanya dan saling melempar tatapan kebencian.
"Kalau seperti ini, kita seperti ingin menjodohkan anak-anak kita ya, Pak?" Ucap Pak Pratama sambil terkekeh. Beliau memang paling bisa mencairkan suasana agar tidak kaku dan tegang.
"Ya, saya juga harapnya juga begitu, Pak. Kalau Nak Baron mau sama anak saya ya monggo. Saya persilakan. Lagian saya sudah kenal anaknya, keluarganya, jadi saya sangat ikhlas melepas Xaviera." Sahut Pak Wijaja yang juga sambil terkekeh.
"Papa ..." Ucap Cefi. Dia tentu tidak mau menikah dengan Baron. "Aku nggak mau nikah sama dia. Hih!" Sahut Cefi.
"Yeuuu, siapa juga yang mau nikah sama lo." Ucap Baron.
Orang tua mereka pun langsung terkekeh mendengar jawaban dari putra putri mereka. Hal itu membuat Baron dan Cefi merasa kesal.
Sebenarnya Baron ingin mengatakan kalau dia tidak mau punya istri bodoh seperti Cefi namun dia masih menghormati kedua orang tua Cefi yang ada di sana. Mereka pun makan dan melanjutkan obrolan seusai makan.
"Nak Baron katanya mau magang ya? Udah dapet tempat magangnya?" Tanya Ibu Larasati yang memang mendengar info itu dari Ibu Anes.
"Iya, Tante. Udah dapet tempat magang di SMA deket rumah kita."
"Ma, Tante, aku mau ke sana ya." Ucap Xaviera. Dia tidak tertarik dengan topik pembicaraan ini. Lebih baik dia mencari udara segar.
"Iya, Sayang."
Restoran itu menyediakan view yang menarik dan juga instagramable jadi Cefi akan memanfaatkan momen terbaiknya. Dia tidak betah bercakap-cakap di sana bersama kedua orang tuanya karena yang ditanya selalu: Baron, Baron, dan Baron.
Cefi pun mulai mengambil ponselnya dan selfie. Cefi juga selalu tersenyum puas melihat hasil fotonya. Namun, dia merasa ingin foto dengan menggunakan kamera belakang. Cefi pun memutar otak dan menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari seseorang yang bisa membantu memotret dirinya. Masa bodoh dengan rasa malu.
"Sini, gue fotoin." Ucap seseorang.
Cefi langsung menoleh dan melihat ada Baron di sampingnya sambil mengulurkan tangan.
"Lo lagi gak mau ngerancanain apa-apa kan?" Tanya Cefi dengan tatapan menyelidik. Maklumlah selama ini Baron memang selalu memiliki banyak akal bulus untuk membuat Cefi menangis. Hal tersebut membuat Cefi tidak percaya kalau Baron tulus membantunya.
"Kalau gak mau yaudah." Sahut Baron. Dia memandang hamparan danau yang ada di depannya.
"Eh, mau-mauuu." Ucap Cefi yang langsung memberikan ponsel itu kepada Baron.
Baron menerimanya tanpa banyak protes. Malam ini, ntah mengapa dia memang ingin berkawan dengan Cefi karena dia bosan kalau harus duduk di dalam bersama orang tua mereka yang mulai membicarakan urusan orang dewasa.
Baron mulai bersiap untuk membidik dan Cefi pun sudah bergaya, namun tiba-tiba ponsel milik Baron berdering sehingga Baron memilih untuk mengangkat telepon tersebut terlebih dahulu.
Cefi mendengus sebal karena merasa telpon itu mengganggunya. Padahal, dia sudah merasa kalau posenya sudah sangat bagus untuk difoto.
Cefi mengamati ponsel Baron seketika dia langsung tersenyum melihat ponsel Baron yang ternyata adalah ponsel keluaran baru yang menjadi incarannya namun orang tuanya tidak mau membelikan karena ponsel milik Cefi baru berumur satu bulan. Cefi berniat untuk meminjam ponsel milik Baron.
"Gue ngajar kelas berapa aja bebas. Lo atur aja, gue mau kelas IIS atau MIA gak masalah. Oke, iya besok gue bawa almet. Sip."
Baron pun langsung memutus sambungan teleponnya. Lalu, dia menatap Cefi sebentar dan seketika dia ingat kalau dia sedang menjadi fotografer seorang Cefi. Baron pun mengangkat ponsel milik Cefi dan kembali bersiap untuk membidik.
"Eh, Barongsai..."
"Kenapa?"
"Hape lo kan bagus, nah pinjem hape lo aja dong."
"Enak aja ntar hape gue ada virusnya kalau ada muka lo."
"Ahela, pelit amat."
Baron tersenyum tipis, kemudian dia mengangkat ponselnya. Cefi yang melihat kalau Baron ingin memotretnya dengan menggunakan ponsel milik Baron pun langsung merasa senang. Dia langsung bergaya.
"Di sini Barongsai. Di sini." Pinta Cefi sambil berlari ke sana kemari. Malam ini Cefi merasa senang karena ternyata Baron bisa baik juga kepada dirinya.
"Ini memori gue lama-lama penuh ya mohon maap." Baron menggerutu.
"Yaelah ntar abis lo kirim ke gue tinggal hapus. Eh, kalau lo mau nyimpen juga gakpapa deh, takut lo kangen." Kata Cefi sambil terkekeh begitu saja.
Baron memotret momen itu lalu menatap Cefi, "Kangen dari mana? Hih." Ucap Baron sambil memasang ekspresi jijik.
"Sialan."
Baron terkekeh begitu saja. Bagi seorang Baron, rasanya pantang untuk tidak membuat Cefi sebal dalam sehari. Bahkan, mungkin bisa dikatakan kalau dia memiliki kebahagiaan sendiri ketika bisa membuat Cefi kesal apalagi menangis.
"Lo berani sendirian di rumah?" Tanya Baron tiba-tiba.
"Maksudnya?" Tanya Cefi yang bingung dengan pertanyaan Baron.
"Iya, kan lo mau ditinggal sebulan." Kata Baron.
"Apa? Ditinggal siapa?" Tanya Cefi.
"Ck, ya bokap nyokap lo lah. Katanya mau ke Singapur tadi gue denger." Kata Baron, "Kok lo bingung gitu si? Lo nggak tau kalau nyokap bokap lo bakalan pergi ke Singapur? Hahahaha udah gak dianggap anak berarti lo." Sambung Baron.
"Yeuuu, enak aja. Gak bakalan ditinggallah gue, gue bakalan ikut sama bokap nyokap gue. Gue mau jalan-jalan, shopping, seru-seruan. Lo tunggu aja fotonya, ntar gue kirimin foto-foto kebahagiaan gue!" sahut Cefi.
"Lah, kata bokap lo ditinggal si yeuuuu..." Baron meledek Cefi.
Cefi pun merasa kesal karena terus-terusan dipanas-panasi oleh Baron. Lalu, Cefi langsung pergi meninggalkan Baron untuk menghampiri ayahnya. Dia bahkan lupa kalau ponselnya masih ada pada Baron, "Papaaa ... Emang papa sama mama mau ke Singapur?"
"Kok kamu bisa tau, Sayang?" tanya Pak Wijaja.
Cefi menunjuk Baron. Baron jadi salah tingkah, dia jadi malu karena sudah memberitahukan Cefi yang ternyata belum tau soal kepergian orang tuanya.
"Maaf, Om. Saya kira dia udah tau jadi saya yang kasih tau, Om." Ucap Baron.
"Iya, Nak. Nggakpapa. Semakin cepat dia tau memang semakin baik."
***
Dari sepulang acara makan malam yang ternyata bertujuan untuk syukuran dan ingin menitipkan Cefi kepada Keluarga Halim (Keluarga Baron) selama kedua orang tua Cefi pergi di Singapura, hingga pagi ini, Cefi terus merajuk kepada kedua orang tuanya untuk ikut.
"Pokoknya Cefi mau ikut." Ucap Cefi.
"Nak, kamu udah kelas tiga. Kamu nggak bisa bolos lama-lama. Lagian kita di sana cuma 1 bulan aja." Ayah Cefi terus meyakinkan anaknya agar mau ditinggal.
Cefi memang takut tidak naik kelas lagi. Tapi dia lebih takut ditinggal sendirian di rumah. Dia bisa saja sebetulnya memanggil Om atau Tante dari ibu atau ayahnya namun Cefi tidak terlalu dekat dengan mereka karena menurut Cefi mereka sangat menyebalkan dan terus menyuruh Cefi untuk melakukan ini dan itu. Jadi, Cefi tidak akan mau tinggal bersama dengan mereka.
Cefi pun mencium tangan kedua orang tuanya dan langsung berangkat, sebagai bentuk mengambek, dia tidak mau diantar oleh ayahnya ke sekolah. Dia ingin naik angkot saja. Dia pun keluar dengan wajah dongkol.
Di seberang sana, Baron sudah keluar gerbang dengan motornya. Sebuah ide terlintas di benak Cefi. Dia mendekati Baron yang baru selesai menutup gerbang.
"Anterin gue sekolah dong." Kata Cefi.
"Ck, temen bukan, cewek bukan, sodara bukan, minta dianterin ke sekolah. Ogah amat, ngabisin waktu." Ucap Baron.
"Yaelah sekali doang. Pelit amat." Ucap Cefi.
Baron mendekatkan wajahnya ke telinga Cefi membuat Cefi sedikit merinding, "Gue mau jemput cewek baru gue. Selamat jalan kaki."
Cefi refleks langsung mendorong Baron dengan sangat kesal sedangkan Baron terkekeh di tempatnya. "Dasar playboy cap ikan teri! Sok ganteng banget si lo!"
"Lah, semua cewek bilang gue ganteng kok. Itu artinya gue emang ganteng beneran."
"Mata mereka katarak kali!"
"Ada ribuan orang yang bilang gue ganteng, cuma lo doang yang gak ngakuin. Berarti lo yang katarak! Hahahaha."
"Sialan!"
Cefi yang kesal langsung melempar Baron dengan menggunakan sepatunya. Kemudian, Baron dengan cepat menangkap sepatu itu dan membawanya pergi. Motor Baron pun melaju.
"Ehhh, Barongsai! Sepatu gueee!"
"Hahaha emang enak!"
Cefi pun menghentak-hentakkan kakinya ke jalan dan mau tak mau karena sepatunya dibawa oleh Baron, akhirnya dia memutuskan untuk pulang mengganti sepatunya dan ikut dengan ayahnya naik mobil pergi ke sekolah.
Sesampainya di sekolah, Cefi kembali lesu. Kejadian tadi benar-benar membuat suasana hatinya tidak baik.
Dug!
Tiba-tiba Cefi menabrak sesuatu. Cefi mendongak dan ternyata ada tangan seseorang di sana menempel di tembok. Menghalangi agar kening Cefi tidak terkena tembok tersebut. Cefi mundur selangkah dan menoleh ke pemilik tangan. Daren.
"Hampir aja dahi lo benjol." Kata Daren sambil terkekeh
Cefi pun langsung salah tingkah. Ini kali kedua dirinya mempermalukan diri di depan Daren.
"Makasih ya, lo nyelametin gue lagi." Kata Cefi.
"Iya, sama-sama. Lo lagi ada masalah ya? Kemarin lo keliatan ngantuk sekarang lo keliatan linglung. Eh, sorry kalau kata-kata gue nyakitin." Kata Daren lembut.
Cefi rasanya ingin berteriak begitu saja. Perlakuan lembut dari Daren membuat dia benar-benar merasa diratukan. Hal ini tentulah sangat bebeda dengan sikap Baron. Ntah mengapa dia langsung membandingkan Daren dengan Baron. Baron yang tidak akhlak dengan Daren yang terlihat sangat sopan tentu perbandingannya sangat jauh. Cefi mendengus sebal memikirkan Baron.
"Eh, lo nggak nyaman ya?" Tanya Daren lagi yang melihat Cefi yang mendengus.
"Eh, enggak-enggak. Gue lagi mikirin sesuatu yang gak penting aja." Kata Cefi.
"Ek-ek-ekhm!" Seseorang berdehem dengan sangat keras.
Cefi dan Daren langsung menoleh ke sumber suara. Dan mendapati Pak Mur sedang menatap mereka. Pak Mur adalah wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Di belakang Pak Mur sudah ada lima mahasiswa yang menggunakan almet yang sama dengan Baron.
Deg!
Cefi langsung mengamati satu persatu mahasiwa yang datang dan benar saja dugaannya, ada Baron yang juga terlihat terkejut dengan dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments