Ibu Larasati menyambut kedatangan Cefi dengan baik dan meminta Cefi untuk segera berganti baju dan makan. Cefi pun berganti baju, lalu menghampiri Ibu Larasati yang ada di ruang makan. Sesampainya di ruang makan, Cefi pun langsung duduk dan menatap ibunya. Cefi teringat pada saran yang diberikan oleh teman-temannya untuk mengajak orang tuanya bicara. Dan, karena dia sedang ngambek dengan ayahnya, dia memutuskan untuk membicarakan hal ini dengan ibunya.
"Ada apa, Sayang?" Tanya ibunya sambil menyodorkan piring kepada anaknya. Di atas piring itu sudah ada nasi dan juga ayam goreng kesukaan Cefi. Kebetulan, siang ini beliau hanya memasak ayam goreng dan sambal saja. Beliau baru akan memasak sayur nanti malam, karena Cefi tidak suka makan sayur dan yang makan sayur keseringan hanya kedua orang tuanya saja.
"Ma, mama sayang gak sama aku?" Tanya Cefi
Ibu Larasati pun terkekeh kepada anaknya. Menurut beliau, pertanyaan itu sangat lucu. "Pertanyaan kamu aneh banget, Sayang. Ya tentu mama sayang sama kamu. Mama kan ibu yang ngelahirin kamu masa mama nggak sayang sama kamu? Ada apa sih? Cerita dong sama nama."
"Katanya sayang tapi mau ninggalin aku sendirian ke Singapur." Ucap Cefi sambil mendengus sebal.
Kini Ibu Larasati tahu ke mana arah pembicaraan anaknya. Anaknya masih ingin membicarakan mengenai masalah kepergian Ibu Larasati dan Pak Wijaja ke Singapura.
"Sayang, kamu tau kan kalau papa nggak bisa jauh dari mama?"
"Emang aku bisa?"
"Bisa dong. Anak mama kan mandiri. Waktu ditinggal ke luar kota sehari sama papa mama aja kamu bisa sendiri."
"Ma, tapi ini sebulan. Sehari juga aku bisa bertahan karena aku nginep di rumah Tante Anes."
"Kamu kan bisa melakukan hal itu lagi, Sayang. Mama dan Papa juga udah titipin kamu ke Tante Anes dan Om Pradana, mereka nggak keberatan."
"Malu, Ma. Masa nginep sebulan di rumah Tante Anes. Lagian aku gak suka sama si Barongsai, Ma. Dia makin hari makin buat hidup aku ribet, Ma. Hidup aku gak tentram. Please, Ma. Ajak aku."
"Sayang, kamu harus mulai terbiasa sama mereka ya. Mereka itu bukan hanya tetangga, mereka sudah mama papa anggap sebagai saudara. Mereka juga baik sama kamu kan?"
"Anaknya enggak."
"Nanti mama bilang sama Baron buat gak nakal lagi sama kamu."
"Nggak usah, Ma. Ntar aku dibilang tukang ngadu."
Ibu Larasati tersenyum melihat anaknya yang mulai mengerucutkan bibir.
"Gak usah pergi ya, Ma? Di sini aja? Proyek itu batalin aja." Ucap Cefi dengan wajah memelas. Dia terbiasa hidup dengan orang tua, jarang sekali jauh dari orang tua, jadi beginilah jadinya.
"Sayang, Papa nggak mungkin batalin proyek, banyak karyawan yang menggantungkan hidupnya dari proyek ini. Kalau proyek ini tidak jadi, nasib mereka bagaimana?"
"Yaudah kalau gitu, aku harus ikut. Aku ikut mama papa ya? Aku janji akan lulus tahun ini bagaimana pun caranya. Aku juga janji akan belajar selama di sana, kalau mama papa mau aku ikut kursus atau les atau bimbel atau apalah itu, aku mau." Ucap Cefi sambil memegangi tangan ibunya sambil menangis.
Ibu Larasati yang melihat bagaimana anaknya menangis pun tidak tega. Rasanya begitu sulit melihat anak yang beliau lahir dan besarkan itu menangis dan memohon kepadanya. Beliau pun tersenyum sambil mengusap rambut anaknya, "Mama akan bicarakan sama papa kalau kamu mau ikut. Tapi kalau papa tetap melarang, jangan menangis lagi ya?"
Cefi pun menganggukkan kepalanya begitu saja. Cefi tahu, letak kelemahan ayahnya ada pada ibunya. Ayahnya bisa saja keras kepala kepada orang lain namun tidak bisa kepada ibunya. "Terima kasih, Mama." Ucap Cefi yang langsung memeluk ibunya begitu saja.
"Yaudah sekarang kamu makan dulu ya." Kata Ibu Larasati.
"Siaaap!" Sahut Cefi.
Tak lama kemudian, seseorang pun memencet bel. Sebetulnya rumah Cefi maupun Rumah Baron tidak terlalu besar. Rumah mereka adalah tipe rumah dua lantai di kompleks yang tidak terlalu kecil dan juga tidak terlalu besar.
Meski tidak terlalu besar, namun, karena terkadang suka tidak terdengar bila ada yang mengetuk pintu pagar, akhirnya mereka memasang bel di depan pagar rumah mereka.
"Mama buka gerbang dulu ya, Sayang."
Cefi menganggukkan kepalanya begitu saja. Dia kembali menikmati ayam goreng yang ada di hadapannya. Tiba-tiba dari belakang, dia mendengar suara mamanya yang mengobrol dengan seseorang. Dia memutar mata mendengar suara yang dia kenal itu.
"Nak Baron, makan dulu ya? Xaviera lagi makan tuh." Ucap Ibunya Cefi.
"Ngapain sih disuruh makan." Gumam Cefi kesal.
"Makasih, Tante. Kebetulan mama lagi nggak masak. Kalau boleh, mau deh Tante." Ucap Baron.
"Tentu aja boleh. Sini duduk dulu. Tante ambilkan nasinya." Ucap Ibu Larasati.
"Makasih, Tante." Ucap Baron.
Ibu Larasati pun langsung mengambilkan nasi dan lauk yang sama seperti Cefi kepada Baron. Baron menerimanya dengan senang hati.
"Kalau lauk atau nasinya mau nambah ambil sendiri ya, Nak. Tante mau ke minimarket dulu." Ucap Ibu Larasati.
"Iya, Tante. Izin ngusilin anaknya sedikit nggak papa ya, Tante." Ucap Baron yang terlanjur jujur.
Cefi langsung memberikan pelototan kepada Baron. Sedangkan Baron hanya mengabaikan tatapan tak bersahabat dari Cefi.
"Boleh, tapi jangan sampe nangis ya." Ucap Ibu Larasati sambil terkekeh.
"Mama! Jangan ditinggal. Nanti kalau dia melakukan tindakan asusila ke aku gimana?" Tanya Cefi.
"Maaf, Sayang. Sepertinya mama lebih percaya kalau kamu yang melakukannya." Ucap Ibu Larasati.
"Mamaaa!" Seru Cefi kesal.
Sedangkan Ibu Larasati dan Baron langsung terkekeh begitu saja. Ibu Larasati sangat mengenal Baron, ini juga bukan kali pertama Baron ke rumah beliau. Meski sering membuat anaknya menangis dan marah-marah. Namun, di mata beliau, Baron sebetulnya anak yang baik dan Baron hanya ingin berteman dengan Cefi meski cara bertemannya aneh. Setidaknya itulah yang ada di dalam pandangan beliau sebagai ibu. Dan insting ibu tidak pernah meleset. Kalau Baron memiliki niat jahat kepada Cefi tentu sudah dilakukan sejak lama. Ibu Larasati pun pergi sebentar karena mau membeli gula dan teh di mini market yang ada di kompleksnya. Beliau kehabisan stok.
"Ngapain sih lo ikut makan segala di rumah gue? Udah jatuh miskin?"
"Enak aja, gue tuh kaya. Lo aja bisa gue beli."
"Cih, mana ada orang kaya minta makan di rumah orang."
"Gue cuma melakukan hal yang sama kayak yang lo lakuin."
"Emang gue ngelakuin apa?"
"Lo kan sering numpang makan di rumah gue. Dan karena gue sebagai tuan rumah ngeliatnya udah berkali-kali jadi gue juga mau numpang makan di rumah lo. Mau ngerasain makan gratis."
"Astaghfirullah. Perhitungan banget jadi anak. Lo tuh mirip siapa sih, Barongsai? Perasaan Tante Anes sama Om Pradana baiknya kayak malaikat penjaga surga. Kenapa lo kayak penjaga neraka gini sih?"
"Lah, lo nggak mau ngaca? Lo juga sama, Antibiotik!"
"Udah-udah-udah. Gue mau makan dulu, ntar perangnya kita lanjut nanti. Ntar nasi gue keburu dingin."
Baron dan juga Cefi pun melanjutkan makan mereka. Sesekali Baron mengambil ayam milik Cefi yang membuat yang punya mendelik.
"Itukan ada ayam lagi!"
"Gue maunya punya lo. Gimana dong?"
"Emang bener-bener ya, lo!"
Tak lama kemudian, Ibu Larasati pun datang. Melihat kedua anak itu bertengkar bukan sesuatu yang tabu lagi bagi beliau.
"Mamaaa! Dia mau ngambil ayam aku!" Seru Cefi sambil membuat tameng untuk makanannya agar Baron tidak mengambilnya.
"Minta sedikit doang, Tante. Tapi gak boleh pelit banget anaknya." Ucap Baron.
"Udah-udah. Kalian abisin makanannya. Kamu juga Cefi, dari sebelum Nak Baron dateng makananmu gak abis-abis. Dan Nak Baron, ini masih banyak ayamnya. Ambil di sini aja jangan buat dia nangis lagi." Ucap Ibu Larasati.
Akhirnya Cefi dan Baron menyelesaikan acara makan mereka, "Lo ngapain ke sini? Gak mungkin kan lo mau numpang makan doang?"
Baron menyodorkan ponsel milik Cefi kepada Cefi. Ponsel itu sudah menginap di rumah Baron selama dua malam. Baron sendiri bingung kenapa Cefi tidak juga meminta ponsel itu kepada dirinya padahal itu bisa menjadi ladang untuknya mengerjai Cefi.
"Wah, hape gue!" Pekik Cefi merasa senang.
"Kok lo nggak ambil hape lo? Oh, gue tau, karena hapenya gak pernah ada notif ya? Jomblo yang menyedihkan."
"Guemah bisa tuh hidup tanpa hape. Eh, mana kirimin foto kemarin dong?"
"Udah. Lo cek aja udah ada di galeri hape lo."
"Lo buka-buka hape gue?"
"Iya dan gue baca semua makian lo buat gue di grup gak jelas itu."
"Ih! Gak sopan banget si lo!"
Baron mengangkat bahu. Ada hal yang sangat ingin dia bicarakan dengan Cefi. Dia dari tadi hanya sedang mencari cara untuk mengutarakan apa yang ingin dia katakan.
"Gue nggak bisa pindah."
Cefi yang sedang senyum-senyum melihat foto-foto dirinya yang memang sudah bagus-bagus pun langsung menoleh ke arah Baron.
"Maksudnya?"
"Bloon banget sih lo. Kesel gue."
"Siapa suruh ngomong setengah-setengah."
"Gue gak bisa cari sekolah lain. Gue bakalan tetap magang di sekolah lo. Gue minta buat lo pura-pura nggak kenal. Ada cewek yang lagi gue deketin. Jangan bikin gue putus lagi sama cewek gue. Lo udah janji kemaren waktu minta gue ngajarin lo."
"Ck, dasar playboy. Lagian kayaknya kemaren gue deh yang bilang begitu."
"Gue cuma pengen ngingetin lo aja sama ngasih aba-aba biar lo gak mencak-mencak sama gue di sekolah."
"Oke, deal. Tapi lo gak boleh ngaduin apa yang gue lakuin dan nilai gue di sekolah ke nyokap bokap gue. Gimana? Deal?"
"Oke, deal."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Santi Eprilianti
nah gitu dong kali kali akur, kan enak liatnya,jangan kya tom & jerry mulu🤭🤭
2022-11-17
0