Cefi sangat ingin menemui kedua orang tuanya. Dia ingin menyusul Baron, Pak Pradana, dan Ustaz Bangga yang sedang bersama dengan kedua orang tuanya. Namun, Cefi tidak diperbolehkan. Pak Pradana mengatakan akan cepat mengurus kepulangan jenazah kedua orang tua Cefi. Kalau Cefi menyusul akan memperlama proses. Akhirnya, Cefi menurut, dia lebih memilih menunggu meski rasanya sangat tidak enak.
Cefi terus menangis, dia sangat menyesal karena dialah yang meminta kepada kedua orang tuanya untuk segera berangkat ke Singapura. Andai saja Cefi bisa memutar waktu, dia akan menurut pada kedua orang tuanya dan dia tidak perlu meminta kedua orang tuanya berangkat.
Tatapan Cefi kosong.
"Istighfar, Nak..." Pinta Ustazah Aisyah yang merupakan istri dari Ustaz bangga. Di sisi Cefi juga ada Ibu Anes yang tidak mau meninggalkan Cefi sendiri. Beliau sangat tahu kalau Cefi sangat membutuhkan sosok orang tua untuk saat ini. Keluarga Cefi belum ada yang datang, jadi beliaulah yang harus berada di sisi Cefi, apalagi Cefi kini sudah menyandang gelar sebagai menantunya.
"Kenapa harus aku, Ustazah? Dari sekian banyak kenapa aku?" Tanya Cefi sambil menangis. "Apa ini hukuman untuk anak durhaka kayak aku, Ustazah? Kalau saja aku nggak nyuruh mama sama papa berangkat, aku nggak akan kehilangan mereka." Sambung Cefi menyesali apa yang terjadi.
"Nak, ini semua mungkin sudah jalan-Nya. Jodoh dan waktu kematian sudah diatur, takdir ini tidak bisa diubah manusia. Mungkin keliatannya karena kamu meminta orang tuamu berangkat namun bukan itu, sebetulnya mungkin sudah jalan takdir kedua orang tuamu, Nak. InsyaAllah, kamu anak yang hebat Xaviera. Kamu anak yang kuat. Allah menurunkan cobaan kepadamu begitu berat berarti Allah sangat menyayangimu, kamu orang-orang pilihan yang dipercaya bisa menyelesaikan dan melewati cobaan ini." Kata Ustazah Aisyah. "Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." sambung beliau mengutip salah dua arti ayat dari Surah Al-Insyirah, tepatnya ayat 5-6.
Air mata Cefi terus menetes. Kalau biasanya dia akan mengatakan kalau Ustazah Aisyah bawel karena terus menceramahinya, namun kali ini tidak. Duka mendalam seakan membunuh karakter jahil Cefi dalam sekejap. Cefi yang selalu dikenal orang orang kompleks sebagai sosok yang periang kini berganti menjadi sosok yang rapuh.
"Sekarang aku sendirian, Ustazah. Sendirian, bagaimana mungkin aku bisa melewatinya?" Tanya Cefi sambil menangis.
Ibu Anes memeluk Cefi, "Kamu tidak sendirian, Nak. Ada Allah dan kami di sisi kamu."
Cefi menangis lagi. Ustazah Aisyah dan Ibu Anes sangat baik kepadanya. Cefi tidak tahu apa yang terjadi kalau tidak ada kedua orang itu di sisinya. Sebab, di saat-saat seperti ini, jalan pintas terus terlintas di kepalanya.
"Besok pagi, insyaAllah kedua orang tuamu pulang, Nak. Karena Baron dan ayahnya masih mengurus ini dan itu." Kata Ibu Anes.
"Terima kasih, Tante, Ustazah. Terima kasih karena sudah baik sekali dengan Xaviera." Kata Cefi.
Tok tok tok!
Pintu kamar diketuk. Seorang ibu-ibu yang juga tetangga kompleks masuk, "Nak Xaviera, ada temannya." Kata Ibu-Ibu tersebut.
Tak lama kemudian ketiga teman Cefi yang bernama Amel, Dara, dan Putri masuk ke dalam kamar dan langsung berhambur memeluk Cefi. Ibu Anes dan Ustazah juga ibu-ibu yang mengantarkan ketiga teman-teman Cefi pun memilih untuk keluar memberikan Cefi waktu untuk bersama dengan ketiga temannya.
"Cefi yang sabar ya. Lo kuat. Lo anak kuat!" Kata Dara.
"Iya, Cef. Kita bakalan selalu ada di sini buat lo." Kata Amel.
"Iya, Cef. Maaf kita baru dateng karena baru dapet kabar satu jam yang lalu dari Pak Baron." Kata Putri.
"Dia yang masih tau kalian?" Tanya Cefi.
"Iya, Pak Baron yang kasih tau kita." Kata Putri.
Cefi pun menangis begitu saja. Ketiga teman-temannya memeluk Cefi dan mencoba memberikan semangat untuk Cefi.
Cefi sedang berada di titik terapuhnya. Dia merasa hidupnya tidak berguna dan dia menyesal karena belum bisa membahagiakan orang tuanya. Cefi menangis lagi.
"Gue nyesel, gue nyesel karena nyuruh bokap nyokap gue berangkat. Kenapa gue bodoh banget sih? Kenapa? Lagian kenapa gue gak maksa ikut mereka..." Cefi mulai meracau lagi. "Gue belum sempat bahagiain orang tua gue. Belum bisaaa ..." tangisan Cefi pecah lagi.
Amel memeluk Cefi dari samping dan mengusap-usap bahu temannya itu, "Ini udah takdir, Cef. Lo harus ikhlas ya."
***
Keesokkan harinya.
Semalaman Cefi tidak bisa tidur. Ketiga teman Cefi memutuskan untuk menginap menemani Cefi, mereka juga sudah izin kepada orang tua mereka dan juga kepada Ibu Anes. Mereka belum tahu kalau Ibu Anes adalah ibu dari Baron, guru magang matematika mereka.
Sekitar pukul 7 pagi. Mobil yang membawa jenazah kedua orang tua Cefi akhirnya tiba di Rumah Cefi. Tetangga kompleks Cefi mempersiapkan semuanya dengan baik.
Seseorang menghampiri Cefi dan memeluk Cefi. Orang itu adalah Tante Sonya adik ipar ayahnya. Dia juga melihat Om Soni yang merupakan adik kandung ayahnya. Cefi tidak begitu akur dengan om dan tantenya itu. Namun, kali ini Cefi tak menolak saat mereka memeluk dirinya, sebab sama seperti Cefi mereka juga sedang dalam keadaan sedih karena kehilangan.
Dua peti jenazah diturunkan dari mobil jenazah. Semua orang histeris. Awalnya kedua orang tua Cefi ingin langsung dibawa ke pemakaman namun Cefi meminta ingin melihat kedua orang tuanya untuk yang terakhir kalinya.
"Mama, Papa ..." Cefi terus menangis. Air matanya terus berderai. Tubuhnya gemetar hebat melihat dua peti jenazah yang berisi kedua orang tuanya tersebut.
Di samping peti kedua orang tuanya Cefi menangis, terus menangis. "Maafkan aku mama... Maafkan aku papa." Ucapnya yang tak henti-hentinya meminta maaf.
Ketiga teman Cefi terus menguatkan Cefi. Namun, Tante Sonya dan Om Soni datang hingga ketiga teman Cefi menjauh sedikit memberikan ruang kepada keluarga Cefi untuk berdiri di sisi Cefi.
Pak Pradana, Ustaz Bangga, dan Ibu Anes menghampiri Cefi. Cefi langsung mendongak ke arah Om Pradana, "Om, Cefi mau lihat wajah mama dan papa." Ucap Cefi dengan suara bergetar.
"Apa kamu yakin, Nak?" Tanya Pak Pradana.
Cefi menganggukkan kepalanya mantap. "Iya, Om."
Pak Pradana dan Ustaz Bangga membuka peti itu dan tangis Cefi semakin pecah.
"Ikhlaskan, Nak. Ikhlaskan kepergian kedua orang tuamu." Ucap Ibu Anes mencoba menguatkan Cefi yang histeris.
Dari jauh Baron mengamati Cefi dengan tatapan iba. Ingin rasanya dia memeluk Cefi namun dia tidak bisa melakukan itu.
Kedua orang tua Cefi sudah dimandikan di rumah sakit. Lalu, setelah disalatkan, kedua orang tua Cefi pun dimakamkan di pemakaman umum dekat kompleks rumah Cefi.
Setelah prosesi pemakaman selesai, orang-orang pun pergi satu persatu, dan mengucapkan ucapan duka kepada Cefi. Namun, Cefi tidak mau beranjak dari tempatnya, dia tetap menangis sambil mengusap nisan ibunya. Matanya benar-benar bengkak, hidungnya juga merah.
"Nak, ayo pulang." ajak Om Soni.
"Duluan aja, Om. Nanti aku pulang sendiri." Jawab Cefi.
Om Soni dan Tante Sonya pun pulang ke rumah Cefi. Ibu Anes dan Om Pradana sudah pulang duluan karena mereka harus mengurus tamu yang ada di rumah Cefi. Cefi menatap batu nisan ibunya. Terus mengusap batu nisan itu.
"Kalian bertiga pulang aja. Kalian pasti lelah dari kemarin. Istirahatlah. Terima kasih sudah datang dan peduli pada Xaviera." Di belakang Cefi. Baron mengatakan hal itu kepada ketiga teman Cefi.
Cefi menatap nisan ibunya. Dadanya sakit sekali, ntah mengapa dia merasa sangat sedih. Ini semua terlalu tiba-tiba. Dan dalam sekejap dia langsung kehilangan keduanya. Dua orang yang sangat dia cintai. Ibu dan Ayahnya.
Kini, Cefi mengerti bahwa dalam hidup hal yang paling sulit dilakukan adalah mengikhlaskan kepergian orang tua. Penyesalan paling sakit adalah ketika kita tidak bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya ketika kedua orang tuanya masih ada.
Cefi menyesal karena selama kedua orang tuanya hidup, dia belum bisa memberikan sesuatu kepada kedua orang tuanya. Belum bisa membuat kedua orang tuanya bangga. Dia masih suka marah-marah pada orang tuanya, tidak nurut, dan sering membuat malu. Sungguh, Cefi sangat menyesal.
"Mama, kenapa aku ditinggal? Kenapa kalian berdua tega tinggalin aku?" Tanya Cefi menatap kosong ke arah batu nisan ibunya.
"Apa kalian gak sayang sama aku? Apa aku terlalu ngerepotin sampai kalian ninggalin aku?" Tanya Cefi. Dia kembali terisak. Dadanya begitu sakit.
"Sekarang aku sendirian. Apa gunanya hidup tanpa kalian? Ma, aku mau nyusul aja. Mama Papa aku pengen mati ajaaa." Kata Cefi sambil menangis.
"Kata siapa lo sendirian?" tanya seseorang yang sudah berjongkok di samping Cefi.
Cefi menoleh ke samping dan menemukan Baron di sana. Baron sudah berganti baju koko hitam, celana hitam, dan kopiah hitam. Tidak seperti saat pertama kali datang. Saat pertama kali Baron datang, bajunya benar-benar kotor.
Cefi hanya diam dan menunduk.
"Ada nyokap gue yang lebih sayang lo ketimbang anaknya sendiri. Ada bokap gue yang tiap hari ngomongin lo sampe bilang pengen punya anak perempuan." Kata Baron.
Cefi masih diam.
"Walaupun lo ngeselin, tapi mungkin gue butuh lo, buat temen marah-marah gue. Gue juga gak mau jadi duda dalam waktu sehari." Kata Baron.
Cefi langsung mendelik ke arah Baron. Baron tersenyum kecil. Pancingannya berhasil. Dia memang berbeda. Dia sangat tahu bagaimana mengatasi Cefi.
"Lo bilang mau nyusulkan? Emang kalau lo mengakhiri nyawa lo, ada jaminan kalau lo bakalan ketemu sama nyokap bokap lo? Kehidupan setelah kematian itu misteri, nggak ada yang tau, Tik. Kita cuma manusia biasa. Punya keterbatasan, gak bisa liat apa yang terjadi dalam waktu semenit ke depan, sejam ke depan, apalagi setelah kematian." Kata Baron.
Cefi diam lagi. Baron mencoba memutar otak lagi agar Cefi segera bangkit. Dia tidak mau melihat Cefi menjadi lemah. Itu terlihat seperti bukan Cefi.
"Lagian gue sangat amat yakin kalau kedua orang tua lo masuk Surga karena mereka orang yang sangat baik. Nah, kalau lo nyusul, dengan keadaan lo yang gak siap dan barbar gini, apa lo nggak masuk neraka, Tik? Orang tua di Surga, lo di neraka ya gak ketemulah. Kematian lo sia-sia." Kata Baron.
"Sialan." Umpat Cefi.
"Lagian kalau lo mati ditanya man rabbuka sama malaikat lo jawab apa? Annyeong haseo? Apa lo gak dipites sama malaikat?" tanya Baron.
"Barongsai, pertanyaan lo gak manusiawi banget sih!" seru Cefi kesal.
Sialnya, meski kata-kata yang dilontarkan Baron cukup pedas, namun dia diam-diam membenarkannya dalam hati. Dia tentu tidak mau terlihat membenarkannya karena Baron bisa besar kepala.
Baron kali ini terkekeh.
Baron memutar tubuh Cefi agar mereka bisa berhadapan. Lalu Baron mengusap pipi Cefi yang masih menyisakan genangan-genangan air mata. Sudah cukup Cefi menangis. Rasanya, Baron tidak kuat melihat Cefi menangis lagi.
Baron sangat mengerti keadaan Cefi. Siapa yang tidak sedih ditinggal oleh kedua orang tuanya secara bersamaan, apa lagi Cefi tidak punya kakak atau adik, Cefi tentu akan merasa sendirian.
"Bener kan?" Tanya Baron.
Sudut cibir, Cefi terangkat sebentar. Baron tersenyum dan mengusap air mata Cefi lagi, kemudian dia membetulkan pasmina yang dipakai Cefi. Menyembunyikan anak rambut Cefi yang menyembul keluar.
Mendapatkan perlakuan seperti itu, mata Cefi kembali berkaca-kaca.
"Kok ada ya orang yang hibur orang sedih pake kata-kata pedes kayak lo?" Kata Cefi sambil memegangi baju koko yang dikenakan Baron. Suaranya bergetar. Dia menunduk. Dia ingin mendongak dan menatap kedua bola mata Baron namun dia tidak sanggup. Dan kini ntah mengapa rasanya dia ingin sekali memeluk Baron dan menangis di pelukan Baron, namun dia malu.
"Ada dong. Ini orangnya ada di depan lo." Kata Baron.
Lalu, Baron tersenyum dan memeluk Cefi, "Jangan nangis lagi. Muka lo udah jelek nanti tambah jelek kalo kebanyakan nangis."
Cefi memukul dada Baron pelan. Baron mengusap punggung Cefi, mencoba menenangkan Cefi yang rapuh. Musuhnya, yang telah dia nikahi kemarin sore.
Alih-alih tidak menangis, Cefi justru menangis di dalam pelukan laki-laki itu. Memang, dalam keadaan seperti ini, yang dibutuhkan oleh seorang Cefi hanyalah sebuah pelukan. Pelukan sebenar-benarnya pelukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Sri
Sediih bangeeet 😭😭😭 yang kuat ya cef 💪🏻💪🏻
2022-11-23
1
Santi Eprilianti
kamu pasti kuat cef,,,
baron jaga cefi, jangan beratem mulu ya😭😭😭😭
2022-11-22
3