***
"Nak, bangun ..." Panggil Ibu Larasati kepada anak semata wayangnya yang sangat beliau sayangi. Anak kecil berusia sekitar 10 tahun yang bernama Cefixime Xaviera Salim.
Mata teduh itu menatap anaknya yang tengah tidur di pangkuan beliau. Beliau juga mengusap pipi anaknya yang tengah tertidur pulas sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, suaminya datang. Beliau langsung tersenyum pada suaminya. Beliau mengisyaratkan kepada suaminya kalau anaknya belum bangun padahal mereka sudah segera berangkat ke tempat yang jauh.
"Sayang ... Bangun yuk? Kita harus psrgi." Kali ini Pak Wijaja yang membangunkan anaknya. Meski tidak tega namun beliau tetap membangunkan anaknya.
Cefi akhirnya bangun dan pemandangan pertama yang dia lihat adalah wajah kedua orang tuanya. Cefi tersenyum senang mendapati kedua orang tuanya ada di sana. Dia pun langsung bangun, "Kita mau ke mana, Ma? Pa?" Tanya Cefi kepada kedua orang tuanya.
"Kita akan jalan-jalan, Sayang." Kata ibu dan ayahnya Cefi.
"Asyikkk! Mama sama Papa benar-benar the best." Kata Cefi terkekeh.
Cefi memeluk kedua orang tuanya dan juga mencium pipi kedua orang tuanya, "Aku sangat sayang Mama dan Papa." Kata Cefi yang seketika menitikkan air matanya.
"Iya, Sayang. Kami juga sangat sayang sama kamu. Yuk?" Kata Ibu Larasati.
Cefi dan kedua orang tuanya sudah bangkit berdiri. Mereka hendak menuju ke sebuah jalan yang sangat terang dan menyilaukan. Cefi bahkan harus memicingkan mata saking silaunya.
"Xaviera!" Seru seseorang yang tiba-tiba menarik baju Cefi dari belakang.
Cefi menoleh ke belakang, rambut Baron terlihat sangat berantakan, "Kenapa?" Tanya Cefi.
"Kamu udah janji main sama aku. Kamu gak boleh ingkar janji. Ayo, main." Kata Baron.
"Kamu kenapa sih Baron? Aku mau main sama orang tua aku." Kata Cefi.
"Nggak boleh. Kamu main di sini aja sama aku." Kata Baron menarik tangan Cefi.
"Ih, nggak mau!" Ucap Cefi.
"Om, Tante, biarin Xaviera di sini sama aku ya? Please ..." Kata Baron.
"Mas, lebih baik Mas di sini dulu saja. Biar aku yang pergi duluan." Kata Ibunya Cefi kepada suaminya.
"Baiklah tunggu aku. Aku akan menyusul dengan segera." Kata Pak Wijaja sambil mencium kening istrinya.
Ibu Larasati menghampiri anaknya dan mencium pipi kanan dan kiri Cefi, putri kesayangannya, "Sayang. Mama pergi dulu ya?" Kata Ibu Larasati.
"Jangan pergi Mama. Aku mau ikut mama." Kata Cefi.
Namun, bayangan ibunya yang berbalut baju gamis putih dengan kerudung putih itu mulai menjauh. Cefi semakin histeris, "Mamaaa!"
***
"Mamaaa!" Seru Cefi.
"Kamu sudah bangun, Nak?" Tanya Ibu Anes.
Cefi mengedarkan pandangannya ke segala arah. Di sana sudah ada Ibu Anes dan juga beberapa tetangganya yang menunggunya sadar. Sudah lebih dari 5jam lamanya Cefi pingsan. Padahal, normalnya pingsan itu hanya beberapa menit saja semenit dua menit atau sampai setengah jam.
Sepertinya kondisi kesehatan Cefi mempengaruhi lamanya Cefi pingsan.
"Tante, aku mimpi mama pergi ninggalin aku, Tante. Di mana Mama?" Tanya Cefi sambil menangis. Tubuhnya terasa sangat lemas. Seketika bayangan berita tentang pesawat jatuh itu memenuhi otaknya. Cefi kembali menangis.
Ibu Anes ikut menangis, namun meski begitu beliau masih ingin menunjukkan kalau beliau tegar, lalu beliau mengambilkan minum untuk Cefi, "Minum dulu, Nak. Minum dulu." Kata Ibu Anes.
Cefi pun menurut kemudian menatap Ibu Anes lagi, air mata Cefi jatuh begitu saja. Semua ibu-ibu yang ada di ruangan itu menangis. Hal itu membuat Cefi semakin ketakutan. "Kenapa? Kenapa kalian semuanya menangis? Kenapa?" Tanya Cefi.
"Ikhlaskan mamamu ya, Nak. Ikhlaskan. Mamamu adalah orang yang sangat baik." Kata Ibu Anes yang langsung memeluk Cefi.
"Apa maksud, Tante?" Tanya Cefi.
"Baron, Om Pradana, dan Pak Ustaz Bangga sudah di lokasi. Mereka sudah menemukan ibumu dan ..." Ibu Anes tidak kuasa lagi menahan tangis, "Ibumu sudah tidak ada. Allah lebih menyayangi Ibumu, Nak." Kata Ibu Anes.
Air mata Cefi pun terus menderas, "Innalilahi wa innailaihi raajin. Mamaaa!" Cefi kembali histeris.
Semua orang mencoba menguatkan Cefi namun bagaimana pun Cefi merasa dadanya sesak. Air matanya terus menderas, dia terus histeris memanggil ibunya.
Ibu Anes memeluk Cefi. Rasanya tidak tega melihat keadaan Cefi yang terlihat sangat berantakan. Bibir pucat itu terlihat bergetar. Matanya merah karena terlalu banyak menangis. Dan isakan-isakan itu terus keluar. "Yang sabar ya, Nak. Tante tau kamu anak yang kuat. Ikhlaskan mamamu ya, Nak. Ikhlaskan." Kata Ibu Anes.
"Papa? Gimana Papa, Tante?" Tanya Cefi. Cefi sangat berharap kalau ayahnya Masih hidup.
Belum genap menjawab, ponsel milik Ibu Anes berdering. Tetangga yang paling dekat tempatnya dari ponsel itu langsung mengambil ponsel itu dan memberikan kepada Ibu Anes.
"Halo, Assalamualaikum, Nak. Iya, Xaviera sudah siuman. Apa? ..." Ibu Anes terdiam sebentar.
"Nak, sebentar ya?" Kata Ibu Anes. Cefi menganggukkan kepalanya begitu saja.
Cefi mulai menerka-nerka mengenai siapa yang menelepon Ibu Anes dan menerka-nerka apa yang terjadi. Dia masih menangis. Hidupnya seakan berputar secara drastis.
Tak lama kemudian, Ibu Anes masuk ke dalam ruangan itu. Kini hanya ada dua orang ibu-ibu yang ada di sana selain Ibu Anes. Ibu-ibu itu adalah ibu-ibu kompleks.
"Nak, Baron mau bicara." Kata Ibu Anes sambil menyodorkan ponsel milik beliau kepada Cefi.
Cefi pun terkejut dan langsung menerima ponsel itu. Dia sangat berharap dengan telepon itu. Ibunya sudah tidak ada. Namun, dia masih memiliki harapan ayahnya.
"Halo, Ron. Papa ... Papa ... Udah ketemu kan?" Tanya Cefi sambil menggigit bibirnya.
"Alhamdulillah, Om Wijaja udah ketemu, Vier." Kata Baron. Namun, kalimatnya begitu menggantung.
"Lo di mana? Gue langsung ke sana sekarang. Gue mau ketemu sama mama sama papa. ..." Kata Cefi yang terus berbicara."
"Vier, dengerin gue." ucap Baron memangkas ucapan Cefi.
Cefi terdiam dan mendengar Baron menghela napas di seberang sana.
"Apa lo mau nikah sama gue?" Tanya Baron.
Deg!
Jantung Cefi berdebar mendengar pertanyaan itu. Dia juga merasa bingung ini bukanlah waktu yang tepat untuk bercanda, "Lo jangan bercanda, Ron. Ini gak lucu. Lo di mana?"
"Sayangnya gue lagi nggak bercanda, Cef. Situasinya rumit. Ini permintaan bokap lo. Mungkin permintaan terakhir. Gue nggak akan maksa. Gue cuma gak mau kalau lo nyesel." Kata Baron.
Air mata Cefi mengalir lagi. Dia benar-benar tidak tahu kenapa ini semua harus terjadi kepadanya. Menikah. Bagaimana caranya dia menikah di situasi sulit seperti ini? Namun, Baron mengatakan kalau dia tidak bercanda. Tidak ada nada bercanda di suara Baron.
Cefi pun sadar kalau Baron membencinya, kalau tidak mendesak dia tentu tidak akan menyetujui permintaan ayahnya.
Bayangan bagaimana ayah dan ibunya yang terlihat begitu menyukai Baron terlintas di benaknya. Air matanya terus menderas, Apakah ini adalah pilihan yang tepat?
Baron menghela napas. Dia sudah menyangka kalau Cefi tidak akan menyetujui permintaan itu. Setidaknya dia sudah mencoba. Keputusan semuanya ada di tangan Cefi. Lagi pula mereka berdua tidak memiliki hubungan apapun.
"Oke kalau gak mau nggakpapa. Gue bakalan bilang sama ..." Hcap Baron.
"Mau." pungkas Cefi.
Diam sesaat di sana. Baik Baron maupun Cefi sama-sama diam. Kini kepala mereka dipenuhi banyak hal.
Cefi memejamkan mata, sudah banyak dirinya mengecewakan orang tuanya. Permintaan menikah dengan Baron harusnya tidak akan terasa sulit. Tapi tetap saja ...
"Kalau itu permintaan orang tua gue. Tolong turutin, Bar. Gue mohon." Kata Cefi sambil menangis.
Cefi menatap Ibu Anes. Ibu Anes menganggukkan kepalanya. Cefi mengusap air matanya.
"Lo, mau mahar apa?" Tanya Baron.
"Apa aja asal lo ikhlas." Kata Cefi.
"Oke." Jawab Baron.
Cefi mengusap air matanya, dia harus berbicara dengan ayahnya. Dia mau mengetahui keadaan ayahnya yang hingga di penghujung ajalnya masih memikirkan kebahagiaan anaknya. Cefi tahu persis akan hal itu.
Sebagai anak, Cefi ingin memberikan sebuah hadiah kecil untuk orang tuanya. Kalau pernikahan itu bisa membuat kedua orang tuanya tenang dan bahagia dia sangat rela melakukannya, meski ntah badai apa yang akan datang padanya di kemudian hari.
"Tapi, gue mau ngomong sama papa dulu. Tolong Videocall." Tanya Cefi.
"Keadaan fisik bokap lo ... Lo, kuat?" Tanya Baron.
"InsyaAllah." Kata Cefi.
Panggilan telepon itu kini berganti dengan videocall. Cefi menutup mulutnya melihat bagaimana keadaan ayahnya.
"Papa ..." Panggil Cefi.
Baron mengarahkan kamera ponselnya ke wajah ayahnya Cefi yang penuh lebam, berdarah-darah, dan sangat menyedihkan.
"Papa, maafkan aku Papa ... papa harus sembuh. Aku sayang papa. Papa harus pulang." Kata Cefi.
Ayahnya Cefi menganggukkan kepala beloau. Kali ini keputusan Cefi sudah sangat bulat, dia akan menunaikan permintaan ayahnya, "Papa mau aku menikah dengan Baron?" Tanya Cefi.
Ayahnya Cefi menganggukkan kepalanya beliau. Cefi mengusap air matanya, "Oke, Papa."
Cefi menggigit bibirnya.
Ponsel milik Baron sudah berada di tangan Pak Pradana. Beliau membiarkan Cefi melihat akad nikahnya. Begitu juga dengan istrinya.
Ustaz Bangga mengulurkan tangan, "Sudah siap?"
Jantung Baron bergemuruh hebat namun dia tetap menganggukkan kepalanya.
Baron menjabat tangan Ustaz Bangga dengan gemetar.
"Saudara Baron Xavier Halim Bin Pradana Halim saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Saudari Cefixime Xaviera Salim Binti Wijaja Halim dengan mahar seperangkat alat salat dibayar tunai." Ustaz Bangga mewakili ayah Cefi menikahkan Cefi dengan Baron.
"Saya terima nikah dan kawinnya Saudari Cefixime Xaviera Salim Binti Wijaja Halim dengan mahar seperangkat alat salat tersebut dibayar tunai." Ucap Baron dengan suara gemetar.
"Bagaimana saksi, Sah?"
"Sah!"
Seusai berdoa. Baron menghampiri ayahnya dan memeluk ayahnya. Pak Pradana meminta anaknya untuk menghampiri ayah mertuanya, Pak Wijaja yang sudah meneteskan air mata kebahagiaan.
Baron pun menghampiri ayah mertuanya dan mencium tangan ayah mertuanya.
"Ja-ga anakku." Ucap beliau, suaranya sangat kecil hanya menggunakan isyarat bibir.
Baron menganggukkan kepalanya, "Baik, Om. Saya akan menjaganya."
Genggaman tangan ayahnya Cefi atau Pak Wijaja semakin kencang pada Baron.
"Nak Baron." Ustaz Bangga memberikan isyarat kepada Baron untuk membantu Pak Wijaja.
Baron yang posisinya sangat dekat dengan Pak Wijaja pun mencoba menalqinkan ayah mertuanya.
Mentalqin adalah menuntun seseorang yang akan meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat syahadat (La Ilaaha Illallah).
"La Ilaaha Illallah ..."
"L-la Ilaaha- Illallah ..."
Genggaman Ayahnya Cefi terlepas. Dokter yang ada di sana mencoba memeriksa keadaan ayahnya Cefi.
"Innalilahi wa innailaihi raajiun."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
efvi ulyaniek
sedihhhhhhhh
2024-10-12
0
˚₊· ͟͟͞͞➳❥𝖚𝖓𝖚𝖓𝖌1723༆•❤꧂
kak Upi, baru segini udah bikin banjir air mata aja 😭
2022-11-21
2
Santi Eprilianti
kasihan cefi d tinggal orang tuanya untuk selama"nya,,, sabar ya cefi😭😭😭😭
semoga baron bisa jagain kamu, dan bisa sayang sama kamu😊😊
2022-11-21
2