Tok tok tok!
Seseorang mengetuk pintu, Cefi yang sudah duduk mengamati pintu tersebut. Ntah mengapa meski posisinya sedang tidak enak badan namun Cefi tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan kedua orang tuanya. Dia merasakan sebuah kegelisahan yang cukup aneh.
Belum genap dia menjawab tiba-tiba pintu kamar yang ditempatinya dibuka dan seseorang muncul di sana. Orang itu adalah Baron. Baron mengenakan kaos putih dan celana pendek. Dia datang dengan membawa nampan berisi bubur ayam dan minum untuk Cefi.
"Nyokap gue nyuruh gue bawain Tuan Ratu makanan." Kata Baron.
"Makasih ya, Babunya Tuan Ratu." Jawab Cefi.
"Ck, sialan." Decak Baron.
Baron pun langsung memberikan nampan itu kepada Cefi. Mau tak mau Cefi menerimanya. Meski dia tidak tahu apakah bubur ayam itu bisa masuk ke dalam perutnya atau tidak. Sebab, rasanya dia tidak ingin makan. Namun, Cefi tahu kalau dia harus menghargai Ibu Anes yang sudah menyiapkan bubur ayam itu.
Setelah memberikan nampan itu kepada Cefi, Baron pun memutuskan untuk berbaring di samping Cefi yang duduk dengan nampan berisi bubur ayam dan minum. Cefi menoleh ke arah Baron. Dia menatap horor ke arah Baron. Lagi pula kalau Baron tiduran di sampingnya, dia merasa sempit.
"Lo ngapain?" Tanya Cefi.
"Istirahat lah." Jawab Baron.
"Inikan kamar gue." Kata Cefi.
"Sejak kapan?" Tanya Baron.
Kali ini Cefi tidak bisa menjawab karena kalah telak dengan Baron. Ini memang rumah Baron sehingga kamar ini pun bukan milik Cefi. Kali ini Cefi membiarkan.
"Lo nggak ke sekolah?" Tanya Cefi.
"Gue lagi sakit." Jawab Baron.
"Ah, bohong banget. Sehat begitu dari mana sakitnya? Bilang aja pengen bolos ngajar." Kata Cefi.
Baron hanya bisa terkekeh begitu saja, "Mending makan dah buburnya, biar nampannya bisa gue bawa lagi ke dapur. Gue gak mau kalau kamar ini lama-lama bau bubur."
"Ck, iyaaa. Untung tuan rumah." Kata Cefi.
Cefi pun menyendok buburnya dan memasukkannya ke dalam mulut. Rasanya hambar sekali, hal itu tentulah dikarenakan dia sedang sakit. Rasanya bukan hanya hambar, tapi juga pahit.
"Lo dari tadi gak tidur?" Tanya Baron.
Cefi menggelengkan kepalanya, "Enggak bisa."
"Kenapa?" Tanya Baron.
"Gak tau kenapa gue kefikiran bokap nyokap gue terus. Ditambah hape mereka gak aktif." Kata Cefi.
Baron terdiam dan duduk di samping Cefi. Dia memandang Cefi, kali ini mata Cefi sudah berkaca-kaca. Kali ini Baron tidak berniat untuk mengajak Cefi beradu mulut. Ntahlah, rasanya justru tidak tega.
"Mungkin lo kepikiran karena lo belum biasa jauh dari orang tua lo. Jangan mikir yang nggak-nggak. Doain aja orang tua lo selamat sampai tujuan sampe pulang lagi ke sini. Jam segini kayaknya bokap nyokap lo masih di pesawat. Ke Singapur 2 jam kan?" Kata Baron.
Cefi pun menganggukkan kepalanya. Meski sering berkelahi dengan Baron namun kali ini Cefi setuju dengan apa yang dikatakan oleh musuh bebuyutannya itu. Ternyata musuhnya itu memiliki sisi baik juga.
"Udah abisin itu buburnya!" Titah Baron.
Cefi melirik Baron, "Pahit, ..." Rengek Cefi.
"Lo ngehina masakan nyokap gue?" Tanya Baron.
"Ih, bukan itu. Mulut gue emang lagi pahit kok. Emang lo nggak?" Tanya Cefi.
"Enggaklah. Emang gue sakit?" Tanya Baron.
"Tadi katanya lagi sakit makanya gak ke sekolah." Kata Cefi.
"Tumben pinter." Kata Baron.
Baron memilih untuk bangkit. Dia memilih untuk keluar dari kamar Cefi. Dia ingin menonton televisi, menonton kartun. Mungkin terlihat sangat kekanakan namun dia memang bosan. Berada di samping Cefi yang sedang tidak bisa diajak beradu mulut juga membuat dia bosan, bukan bosan sih, ada rasa canggung ntah kenapa.
Cefi langsung memagangi kaos Baron, "Lo mau ke mana?" Tanya Cefi. Di saat-saat seperti ini dia tidak mau sendirian. Meski di hadapannya adalah musuh bebuyutannya namun sepertinya itu tetap lebih baik ketimbang berada di kamar sendirian.
Baron memperhatikan Cefi. Hidung Cefi merah. Wajahnya pucat. Cefi terlihat begitu memprihatinkan. Dan ketika tangan Cefi tak sengaja bersentuhan dengan tubuh Baron. Baron bisa merasakan kalau demam Cefi yang belum turun.
"Mau nonton TV." Jawab Baron.
"Ikuuut." Ucap Cefi yang seperti rengekan.
"Lo kan lagi makan. Udah abisin dulu aja makanannya trus tidur, istirahat." Kata Baron.
"Mau ikuttt, gue abisin deh tapi nanti di depan TV." kata Cefi sambil mengusap air matanya. Ntah mengapa tiba-tiba dia menangis. Mungkin karena sedang sakit sehingga dia jadi begini. Sensitif.
Baron yang melihat Cefi pun menghela napas. Ntah mengapa dia tidak tega juga pada Cefi.
"Yaudah tapi di depan makannya harus diabisin! Kasian nyokap gue udah bikinin bubur buat lo." Titah Baron.
"Iyaaa. Iniii ..." Kata Cefi menyodorkan nampan itu kepada Baron.
"Apaan nih?" Tanya Baron.
"Bawain ..." Rengek Cefi lagi.
"Astaghfirullah, kenapa ada anak nyusahin kayak lo sih." Kata Baron. Meski mengomel, Baron tetap mengambil nampan itu dan membawanya keluar kamar.
Cefi pun hanya bisa nyengir begitu aja.
"Tuh anak baik juga. Gue babuin seharian enak kali ya?" Gumam Cefi.
Cefi pun turun dari tempat tidurnya, namun ketika kakinya menyentuh lantai, dia langsung menaikkan kakinya lagi ke atas tempat tidurnya. "Aduh, dingin." ringisnya.
"Barongsaaai!" Seru Cefi.
"Kenapa lagi sih?" Tanya Baron yang masuk lagi ke Kamar Cefi.
Cefi merentangkan tangannya. Hal itu tentu membuat Baron mendelik horor ke arah Cefi, "Dih, ngapain lo?" Tanya Baron.
"Lantainya dingin. Gendong gue yaaa? Gue nggak berat kok, cuma 44kg." Kata Cefi.
"Bener-bener nyusahin ya, lo." Kata Baron.
Baron pun memberikan punggungnya kepada Cefi. Kemudian, Cefi pun langsung naik ke punggung Baron. Kemudian, Baron mengambil selimut. Suhu tubuh Cefi masih tinggi namun Baron juga tahu kalau anak itu sepertinya bosan di kamar.
Baron melirik ponsel milik Cefi. Cefi sepertinya tengah mencoba menghubungi kedua orang tuanya.
"Gak berat kan?" Tanya Cefi.
"Palalu nggak berat." Kata Baron.
Cefi terkekeh begitu saja, kemudian dia mendekatkan bibirnya ke telinga Baron, "Sebenernya gue 50kg. Udah naik 6kg." Sambil terkekeh.
"Sialan." Umpat Baron.
Meski Baron tau kalau dia hanya dibohongi oleh Cefi, namun dia tetap membawa Cefi ke ruang tamu keluarga untuk menonton TV. Ibu Anes yang melihat anaknya tengah menggendong Cefi pun terkekeh begitu saja. Apa yang beliau lihat kali ini fenomena yang sangatlah jarang terjadi.
"Nah, gitu dong. Kalau akur kan mama liatnya seneng." Kata Ibu Anes.
Ibu Agnes pun berjalan menuju ke dapur tak mau menunggu jawaban dari Cefi mau pun Baron. Melihat mereka akur saja beliau sudah seneng, tidak perlu pusing memisahkan kedua anak itu.
"Tuh kan, lo sih minta gendong segala." Kata Baron.
"Udah buruan jalan lagi!" Titah Cefi sambil terkekeh, dia senang menyuruh-menyuruh Baron. Kalau dia sedang kondisi baik-baik saja, mana mau Baron dia suruh.
Kemudian, mereka pun duduk di atas sofa berdua sambil menonton tv. Berkali-kali Cefi ingin menyudahi makannya namun berkali-kali juga Baron memintanya menghabiskan bubur itu hingga akhirnya Cefi menurut juga. Dia akhirnya menghabiskan minumannya.
"Barongsai mau tissuuu..." Kata Cefi sambil menunjuk tissue yang ada di atas meja.
Baron pun memutar bola matanya dan mengambilkan tisu untuk Cefi.
"Sama-sama." Sindir Baron yang melihat Cefi mengambil tisu itu tanpa mengucapkan terima kasih.
Cefi terkekeh lemah. Kini tubuhnya sedang meringkuk di atas sofa dengan kaki diangkat dan selimut tebal menyelimuti tubuhnya. Cefi mengambil ponselnya dan mencoba melihat whatsappnya. Masih ceklis satu, artinya pesan yang ia kirimkan kepada kedua orang tuanya belum dibalas. Dia pun mencoba menelepon kedua orang tuanya namun nomor mereka tidak aktif.
"Kenapa?" tanya Baron yang sedari tadi mengamati Cefi yang terlihat gelisah.
"Mama sama Papa belum aktif juga." kata Cefi. Kali ini dia menggigit bibirnya menahan tangis.
"Udah jangan nangis." kata Baron.
Cefi melihat tiket pesawat kedua orang tuanya yang sempat dia foto di galeri ponselnya. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang.
"Barongsai ..." panggil Cefi dengan suara bergetar.
"Kenapa?" tanya Baron.
"Udah jam setengah dua belas kenapa mama sama papa nggak aktif juga? Di-ditiket mereka harusnya sampai jam 11.50." Tanya Cefi. Matanya berkaca-kaca menatap Baron.
"Coba liat tiketnya." Pinta Baron.
Cefi memberikan ponselnya kepada Baron. Jantung Baron langsung berdegup dengan sangat kencang. Perasaannya jadi tidak enak. Ponsel Baron berbunyi, sebuah iklan muncul yang berisi berita kecelakaan pesawat. Baron buru-buru menduduki ponselnya.
Jantung Baron berdegup dengan sangat kencang, lalu dia menatap Cefi. Cefi menatap Baron sambil menangis, "Kenapa mama dan papa gak bisa dihubungi, Barongsai?" Tanyanya sambil menangis. Dia tidak sengaja melihat berita itu di ponsel milik Baron.
Baron pun langsung memeluk Cefi. "Vier ..."
"Kenapa peluk gue? Orang tua gue ke mana? Kenapa gak ngehubungin gue?" Tanya Cefi semakin menangis.
Baron tak bisa jawab, dia hanya bisa mengeratkan pelukannya pada Cefi.
Tiba-tiba siaran kartun yang sudah selesai itu berganti dengan siaran berita, "Pemirsa, sebuah kabar duka datang dari Pesawat Cinta Tanah Air dengan nomor penerbangan SING111 jurusan Jakarta-Singapura yang jatuh di Hutan di daerah Riau. Belum diketahui secara pasti penyebab dari kecelakaan ini ..."
Pelukan Baron semakin kencang pada Cefi. Baron buru-buru mematikan televisi karena Cefi mulai histeris. Dia juga menyembunyikan ponsel Cefi di belakangnya.
Baron tau, nomor penerbangan itu sama persis dengan yang ada di tiket yang ditunjukkan oleh Cefi kepada Baron. Plus jurusannya pun sama.
"Itu bukan pesawat papa sama mama, kan? Jawab Bar jawabbbb!" seru Cefi memukul-mukul dada Baron.
"Kita doain yang terbaik ya, Vier." kata Baron.
Tangis Cefi mulai meledak dan dia menangis histeris. "Mamaaa! Papaaa!"
Ibu Anes yang mendengar suara histerisnya Cefi langsung berlari ke arah ruang tamu
"Astaghfirullah, ada apa, Nak?" Tanya Ibu Anes.
"Pesawatnya Om Wijaja dan Tante Laras jatuh, Ma." Kata Baron bergetar.
"Astaghfirullah al-adzim!" Pekik Ibu Anes.
"Mamaaa, Papaaa! Awas Bar, gue harus samperin mama papa. Mereka pasti gak jadi berangkat kan. Mereka ada di rumah kan, Bar?" Tanya Cefi sambil memberontak dalam pelukan Baron. Dia mulai meracau tidak jelas.
Cefi langsung berlari, Baron buru-buru mengejar Cefi. Cefi tidak peduli bagaimana rasa sakit yang tengah dia rasakan. Lantai yang sangat dingin itu tak terasa lagi dinginnya.
Cefi hanya ingin memastikan kalau kedua orang tuanya masih berada di rumah. Dia berharap apa yang dia lihat subuh tadi ketika kedua orang tuanya masuk ke dalam mobilnya itu salah. Dia berharap kalau pesawat yang jatuh itu bukan pesawat yang ditumpangi oleh kedua orang tuanya.
"Xaviera, tenang Xaviera!" Kata Baron yang langsung memeluk Cefi.
"Lepasin gue! Lepasinnn!" seru Cefi
Semua orang kompleks yang mendengar suara raungan Cefi pun keluar dari rumah dan langsung menghampiri Baron dan menanyakan mengenai apa yang terjadi.
"Lo anak yang kuat, Vier." kata Baron.
Tiba-tiba pandangan Cefi terasa kabur. Tubuhnya terasa lemas. Dan dia tidak bisa merasakan apa-apa lagi selain gelap. Baron buru-buru mengangkat tubuh Cefi ke dalam rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
efvi ulyaniek
yah aq beneran nangis lho😭😭
2024-10-12
0
Santi Eprilianti
kan bener ,,, aduh kasihan banget si cefi,, yg sabar ya cefi,,😢😢😢
2022-11-21
1
Sri
Sayang kali cefi tinggal sendiri 🥺🥺
2022-11-21
1