Waktu sudah menunjukkan pukul empat dini hari. Semalam, Cefi dan Baron pulang hujan-hujanan. Baron kebetulan tidak membawa jas hujan dan dia juga tidak memakai jaket untuk dia berikan kepada Cefi karena semalam memang dia langsung pergi begitu saja ketika kedua orang tua Cefi datang ke rumahnya dan mengatakan kalau Cefi belum pulang.
Subuh itu terasa begitu dingin sampai menusuk ke tulang. Cefi terus berada di bawah selimut menutupi tubuhnya dari kaki sampai kepala. Meski sudah memakai selimut namun Cefi tetap merasak kedinginan.
"Sayang, bangun yuk. Mandi dulu abis itu salat, sarapan, trus kita berangkat." Ucap Ibu Larasasti yang sudah berpakaian rapi sehabis salat subuh.
Cefi tak mau bangun, tak juga mau bersuara. Cefi menangis di bawah selimut karena rasanya sakit tidak enak sekali.
"Nak?" Ibu Larasati sontak langsung mencoba membuka selimut anaknya saat mendengar isakan dari dalam selimut.
Air mata Cefi sudah menetes. Ibunya Cefi memeriksa suhu tubuh anaknya dengan memegang dahi Cefi, "Astaghfirullah, Nak. Kamu demam? Papaaa! Paaa!" Seru Ibu Larasati.
Ibu Larasati terpaksa berteriak karena panik.
"Ada apa, Ma?" Tanya Pak Wijaja yang langsung masuk ke kamar Cefi.
"Xaviera sakit, Pa... Kita harus membawanya ke rumah sakit." Ucap Ibu Larasati.
"Astaghfirullah al-adzim!" Tanpa berpikir lama lagi Pak Wijaja pun langsung mengangkat tubuh anaknya. Ibu Larasati yang panik pun langsung mengekori suaminya.
"Mama akan buka pagar."
Ibu Larasati pun membuka pintu pagar. Sedangkan ayah Cefi mendudukkan Cefi di bangku tengah. Beruntung Ibu Larasati dan Pak Wijaja memang sudah berpakaian rapi jadi tidak perlu bersiap terlebih dahulu.
Setelah gerbang terbuka, ayah Cefi pun mengeluarkan mobilnya dan menghentikan mobil di depan pagar rumah Cefi, beliau hanya tinggal menunggu Ibu Larasati yang sedang mengunci pagar rumahnya saja.
Ibu Anes yang kebetulan memang ingin menemui Ibu Larasati pun melihat Ibu Larasati yang panik dan langsung berjalan cepat menghampiri beliau. "Ada apa, Mbak?" Tanya Ibu Anes.
"Xaviera panas banget badannya, Mbak. Kita harus pergi ke rumah sakit." Ucap Bu Larasati dengan mata berkaca-kaca karena khawatir dengan anaknya.
"Rumah sakit jauh, Mbak, kasihan kalau dibiarkan menggigil di jalan. Lebih baik dibawa ke rumah aku aja. Aku lihat dulu kondisinya. Kalau masih bisa aku tangani, aku tangani dulu." Ucap Ibu Anes. "Baron juga demam, sepertinya mereka demam karena kehujanan semalam." Sahut Ibu Anes.
Ibu Anes memang mantan seorang dokter. Ibu Larasati hampir saja melupakan hal itu saking paniknya.
Ibu Larasati pun menganggukkan setuju, lalu mengatakan kepada suaminya. Tak lama kemudian, Pak Wijaja membawa Cefi ke rumah Ibu Anes. Kali ini beliau membaringkan Cefi di kamar tamu yang ada di lantai bawah sesuai arahan dari Ibu Anes. Meski hanya kamar tamu namun kamar tersebut sangat bersih.
Setelah Cefi dibaringkan, Ibu Anes pun memeriksa keadaan Cefi dan benar saja kalau Cefi memang sepertinya hanya demam biasa saja sama seperti Baron. Kemudian, Ibu Anes langsung memberikan obat yang sama seperti obat uang beliau berikan kepada anaknya kepada Cefi. Lalu meminta Cefi meminumnya dan beristirahat. Cefi pun menurut.
"Udah nggak usah panik, Mbak. InsyaAllah, kalau udah istirahat dan minum obat Xaviera akan membaik." Ucap Ibu Anes.
"Amin. Makasih ya, Mbak Anes. Maaf merepotkan." Kata Ibu Larasati.
"Iya, Mbak. Sama-sama." Sahut Ibu Anes.
Ibu Anes membuatkan minuman untuk Bu Larasati dan Pak Wijaja kemudian kembali ke ruang tamu membawa teh hangat dan kue kering.
Ibu Anes dan Ibu Larasati pun mendengarkan Pak Pradana dan Pak Wijaja yang sedang berbincang.
"Saya benar-benar bingung, Mas. Di satu sisi anak saya sakit. Di sisi lain saya harus berangkat ke Singapur." Ucap Pak Wijaja.
"Saya mengerti posisi Mas Wijaja. Dan semua keputusan ada di tangan Mas Wijaja. Kalau saran saya, kalau bisa ditunda dulu keberangkatannya. Tapi kalau memang sangat mendesak biar Xaviera di rumah saya dulu aja. Nanti menyusul kalau sudah sembuh." Kata Pak Pradana.
"Iya, Mas, sepertinya lebih baik saya dan istri saya membatalkan keberangkatan saja. Nggak ada yang lebih penting dari anak kami." Ucap Pak Wijaja.
Pak Pradana menganggukkan kepala menyetujui apa yang Pak Wijaja katakan. Kalau Pak Pradana menjadi Pak Wijaja, beliau juga pasti akan melakukan hal serupa.
Tak lama kemudian Baron turun ke bawah karena mendengar suara berisik dan juga ingin minum. Air mineral di dalam kamarnya sudah habis dan dia tidak mungkin teriak-teriak meminta minum dari kamarnya di lantai dua.
Kepala Baron masih terasa pusing dan badannya masih hangat namun tidak separah beberapa jam yang lalu sebelum ibunya memberikan obat. Baron dan Cefi tentulah berbeda. Fisik Baron jauh lebih kuat dari Cefi.
"Nak, kok turun?" Tanya Ibu Anes yang buru-buru mengejar anaknya.
"Mau minum, Ma." Jawab Baron.
"Yaudah mama ambilin ya. Kamu duduk dulu aja." Kata Ibu Anes. Baron pun menganggukkan kepalanya begitu saja.
Bibir Baron terlihat pucat, melihat ada kedua orang tua Cefi membuat Baron penasaran dengan apa yang terjadi, "Om, Tante? Belum berangkat?" Tanya Baron kepada kedua orang tua Cefi.
"Belum, Nak. Ini Xaviera demam. Kamu juga demam kan? Maaf ya, gara-gara semalam mencari Xaviera kamu jadi sakit juga." Ucap Pak Wijaja.
"Nggakpapa, Om. Istirahat sebentar juga nanti sehat lagi." Ucap Baron.
Pak Wijaja pun menganggukkan kepala beliau. Beliau sangat berterima kasih dengan Baron yang sudah membantu mencari putrinya semalam.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam. Beruntung kedua orang tua Cefi sudah salat subuh sebelum membangunkan Cefi.
Ibunya Cefi pun pamit untuk ke kamar tamu menemui anaknya. Ternyata di kamar, Cefi sudah bangun.
"Mama?" Panggil Cefi lemah.
"Iya, Sayang? Kamu tidur lagi aja ya? Mama dan Papa udah berniat mau membatalkan kepergian kami. Kami tidak bisa membiarkan kamu sakit sendirian." Kata Ibu Larasati.
Cefi langsung menggelengkan kepalanya, "Jangan, Ma. Mama dan papa aja dulu yang berangkat. Biar aku di sini dulu. Nanti aku nyusul kalau udah sembuh." Kata Cefi.
Bagaimanapun Cefi merasa bersalah kepada kedua orang tuanya. Semalam dia sudah membuat gara-gara dan membuat kedua orang tuanya kecewa, jadi sekarang dia tidak akan mengecewakan kedua orang tuanya lagi.
"Nak, kami tidak apa-apa kalau tidak jadi berangkat. Papa akan minta sekretaris papa untuk membatalkan." Kata Pak Wijaja.
Cefi menggelengkan kepalanya begitu saja. "Nggakpapa. Papa sama mama berangkat aja ya? Aku akan di sini untuk sementara waktu. Tante Anes, Tante keberatan gak ya kalau aku repotin Tante di sini?" Tanya Cefi kepada Ibu Anes.
"Jelas enggak dong, Sayang. Kamu kan udah Tante anggap sebagai anak Tante, jadi Tante gak keberatan sama sekali kalau kamu tinggal di rumah Tante. Tante malah seneng." Jawab Ibu Anes.
Ibu Larasati dan Pak Wijaja awalnya menolak, namun Cefi yang tengah diselimuti rasa bersalah pun terus menerus meyakinkan kedua orang tuanya untuk pergi duluan ke Singapur. Cefi akan menyusul kalau sembuh. Karena Cefi terus mengotot akhirnya kedua orang tua Cefi pun menyetujui permintaan Cefi.
"Yaudah kalau begitu. Tapi kamu harus minum obat dan nurut sama Om Pradana dan Tante Anes selama nggak ada Papa dan Mama ya, Nak?" Ucap Pak Wijaja.
"Iya, Pa. Aku janji akan nurut sama Tante Anes dan Om Pradana. Udah sana, udah mau jam 6 nanti kalian bisa ketinggalan pesawat." Kata Cefi.
Cefi sangat ingin mengantarkan kedua orang tuanya sampai di depan namun tidak boleh oleh kedua orang tuanya karena kondisi Cefi yang kurang memungkinkan.
"Mama, Papa. Maafkan aku ya karena semalam aku buat mama dan papa khawatir." Ucap Cefi menyesali apa yang terjadi.
Ibu Larasati pun memeluk anaknya, "Iya, Sayang. Mama dan papa sudah memaafkan kamu. Maafkan kami juga ya Nak kalau kami ada salah sama kamu."
"Jangan minta maaf, Ma. Mama sama papa gak ada salah apa-apa sama aku." Cefi menggelengkan kepalanya.
"Nak, sebagai manusia kami tentu pernah berbuat salah." Ucap Ibu Larasati.
Setelah berpamitan dengan Ibunya, Ayah Cefi pun memeluk putrinya, "Jaga diri baik-baik ya, Nak. Yang nurut sama Om Pradana dan Tante Anes." beliau berpesan hal yang sama seperti sebelumnya.
"Iya, Pa. Papa dan Mama hati-hati di jalan." Kata Cefi.
Pak Wijaja mengusap punggung anaknya dan mencium ubun-ubun Cefi yang masih panas.
"Mas Pradana, Mbak Anes, kami titip anak kami ya. Maaf kami sudah merepotkan." Ucap Pak Wijaja.
"Jangan bilang begitu, Mas Wijaja. Kami sama sekali tidak merasa direpotkan." Ucap Pak Pradana. "Biar saya yang antar ke bandara ya, Mas. Kalau naik kendaraan online jam segini takutnya dapatnya lama."
"MasyaAllah, anda baik sekali, terima kasih banyak, Mas Pradana." Kata Ayahnya Cefi.
"Iya sama-sama. Saya siapkan mobil." Kata Pak Pradana.
"Mobil kami kebetulan udah ada di depan karena tadi nggak jadi antar Cefi ke rumah sakit, kalau bersedia, pakai mobil kami saja, Mas." kata Pak Wijaja.
"Oh, oke, Mas." jawab Pak Pradana.
Pak Wijaja menatap Baron. Mata beliau mengisyaratkan banyak hal kepada Baron. Namun, Baron tidak mengetahui mengenai apa yang ada di dalam pikiran ayahnya Cefi tersebut.
"Nak Baron, kami titip Xaviera ya." Ucap Pak Wijaja.
"Iya, Om. Hati-hati di jalan ya, Om dan Tante." Ucap Baron.
Kemudian, setelah berpamitan, kedua orang tua Cefi pun keluar dari Rumah Baron dan masuk ke dalam mobil Kijang Innova milik keluarga Cefi sedangkan koper sudah berada di bagasi belakang sejak malam tadi.
Cefi memandangi mobil yang dinaiki kedua orang tuanya dari kaca jendela. Ntah mengapa hatinya seakan sedih sekali melihat kepergian kedua orang tuanya. Cefi berpikir kalau kesedihannya berasal dari dirinya yang harus rela ditinggal oleh kedua keluarganya.
Sebetulnya ada perasaan tidak rela kedua orang tuanya pergi. Namun, karena dia tidak mau membuat kedua orang tuanya sedih lagi sehingga Cefi pun merasa harus merelakan kepergian kedua orang tuanya ke Singapura.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
efvi ulyaniek
kok tanda2mau meminggal aja
2024-10-12
0
Sri
Semoga gak terjadi apa2 dengan orang tua cefi 🥺
2022-11-19
1
Santi Eprilianti
kayanya ada sesuatu yg akan terjadi sama ortunya si cefi,,🤔🤔
tapi semoga mereka baik" aja🤲🤲
2022-11-19
2