Waktu melesat bagai anak panah yang terlepas dari busur. Malam berganti siang, siang menjadi malam. Begitu seterusnya, membuat Nanda tak percaya jika kini dia sudah dalam masa ambang melahirkan. Bulan yang silih berganti membawa bayi dalam kandungannya mencapai sembilan bulan.
Sekarang, Aldi pun lebih sering pulang. Kadang dua hari sekali. Musim hujan telah berganti kemarau. Jika tidak ada kegiatan di tempatnya bekerja, Aldi diminta untuk pulang meski tidak bisa setiap hari.
Pagi ini, Aldi dan Nanda sedang makan bersama. Menikmati sarapan berupa nasi goreng dengan lauk ala kadarnya, telur mata sapi dengan timun dan beberapa sayuran lainnya. Itu tak menjadi masalah. Bagi Nanda, keharmonisan sebuah keluarga adalah hal yang paling penting baginya.
Lima bulan terakhir ini, adalah fase terberat yang Nand alami. Bagaimana tidak? Hamil sekaligus menjalani pengobatan akibat sakit Hepatitis yang menyerang, membuatnya hampir menyerah akan keadaan.
Akan tetapi, melihat Rere dan Aldi, membuat Nanda kembali mengingat tujuannya agar bisa bertahan hingga detik ini. Dia tidak ingin membuat anak dan suaminya bersedih.
“Aduh! Mas ...,” keluh Nanda, mendadak merasakan mulas diperutnya, meletakan sendok begitu saja di atas meja.
Aldi yang sedang menikmati sarapan, terkejut saat melihat istrinya sudah kesakitan. Kemudian, dia langsung berdiri dan mendekat ke arah sang istri. Tampak Nanda sudah memegang perut dengan mata terpejam.
“Kamu kenapa, Dek?” tanya Aldi dengan kecemasan yang sudah hadir dalam relung hatinya.
“Sepertinya aku akan melahirkan, Mas. Sakit sekali perutku,” ungkap Nanda yang merasakan kontraksi.
Nanda teringat dulu saat dia merasakan mulas seperti ini, menjelang dia melahirkan Rere di rumah sakit. Mungkin di kehamilan yang kedua ini juga sama.
“Kalau begitu, kita ke rumah sakit sekarang!” ajak Aldi yang diangguki Nanda. Wanita itu pasrah saja saat ini. Tak kuasa untuk banyak bicara.
“Iya, Mas.” Nanda mengangguk, mengelus perutnya yang semakin terasa mulas.
“Kamu tunggu di sini, aku bilang Mas Alek dulu biar mengantar kita,” ujar Aldi, lalu bergegas ke luar rumah sekaligus meminta ibu mertuanya untuk menjaga Rere untuk sementara.
Karena tidak mungkin rasanya jika dia membawa Rere ke rumah sakit dalam keadaan genting seperti ini. Selain akan repot, rumah sakit juga bukan tempat yang baik untuk anak-anak. Banyak virus yang bisa menyebar.
Tak lama, sebuah mobil berhenti di dapan rumah. Itu adalah mobil Mas Alek, sepupu Nanda.
“Mas, Nanda sepertinya sudah kontraksi. Tolong, antar kami ke rumah sakit, ya?” pinta Aldi dengan napas tersengal-sengal.
“Ohh, iya, Dek. Sudah siap Dek Nandanya?.”
"Sudah, Mas. Saya panggil dulu," sahut Aldi yang buru-baru masuk ke rumah.
Meminta Mas Alek untuk mengantar ke rumah sakit adalah pilihan yang tepat. Sebab, rasanya tidak mungkin jika Aldi membawa Nanda ke rumah sakit menggunakan motor. Dia tidak ingin membahayakan diri sendiri, istri, dan calon anak mereka. Waktu lahiran yang pertama dulu juga diantar Mas Alek. Bedanya, dulu Nanda hanya melahirkan di tempat bidan.
Saat ini, Aldi harus mencoba berpikir tenang agar tidak ada kekacauan nantinya. Dia segera memapah Nanda dari dalam rumah menuju mobil. Kendaraan beroda empat itu langsung meluncur meninggalkan halaman rumah setelah Aldi dan Nanda naik.
“Mas, bisa lebih cepat!” ucap Aldi saat melihat istrinya semakin merintih kesakitan.
“Iya, Di. Kamu juga yang sabar, ya! Ini jalanan rame banget juga,” jawab Mas Alek sesaat setelah melirik pada kaca spion. Tampak sepasang suami istri itu sedang dalam kecemasan. Aldi juga terus menenangkan istrinya yang sedang kesakitan.
Alek yang memang sudah piawai menyopir pun berusaha mempercepat laju mobilnya di tengah keramaian. Tentu saja, dia juga harus ekstra hati-hati karena membawa ibu hamil yang mau melahirkan. Namun, Alek juga mengerti, saat ini Alda pasti sedang cemas dengan kondisi istri dan bayinya, mengingat Nanda pernah terkena hepatitis juga. Karena itu, Aldi menginginkan semua serba cepat dan tergesa-gesa sampai di rumah sakit.
“Perawat! Tolong bantu,” teriak Aldi saat sudah sampai di depan ruang tindakan Unit Gawat Darurat.
Dua perawat langsung datang seraya mendorong brankar kosong. Kemudian, menghampiri Aldi dan Nanda yang berdiri di ambang pintu sana.
Tanpa menunggu aba-aba, Aldi langsung membantu tubuh Nanda untuk berbaring di atas brankar. Kemudian, membiarkan dua perawat tadi untuk membawa istrinya ke ruang pemeriksaan sementara dirinya pergi ke lobi pendaftaran.
Sebenarnya, dia sangat ingin tetap ada di samping Nanda. Namun, dia juga harus mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan dari pihak rumah sakit. Bahwa setiap pasien yang baru datang, harus segera melapor dan mengurus pendaftaran.
Setelah semuanya selesai, dia langsung bertanya pada perawat yang membawa Nanda tadi. Bertanya di mana istrinya itu berada sekarang.
“Di ruang bersalin, Pak. Dari pintu masuk utama. belok kanan lalu naik ke lantai dua. Silakan ke sana, pasien sedang ditangani,” ujar salah satu perawat yang berada di sana dan tahu di mana Nanda sekarang.
“Oh, baik. Terima kasih, Sus!” ujar Aldi kemudian langsung berlari kecil menuju kamar yang telah ditunjukan arah sebelumnya.
Hati Aldi semakin merasa tak karuan. Lelaki itu semakin khawatir dengan kondisi sang istri. Berharap tidak terjadi sesuatu yang aneh lagi pada istrinya itu.
Akhirnya, setelah lama berjalan menyusuri koridor, dia menemukan ruangan bertuliskan Ruang Bersalin, dia pun segera mencari keberadaan istrinya. Namun, sebelum dia masuk, ternyata seseorang sudah menyapanya.
“Dengan keluarga dari pasien Bu Nanda?” ujar seseorang yang baru saja keluar dari ruangan.
Aldi langsung mendekat saat suara seseorang terdengar menyebut nama istrinya. “Saya, Dok!”
“Dengan keluarga Ibu Nanda?” tanya Dokter Fajria yang menangani Nanda tempo hari, dia ingin memastikan lagi.
“Iya, betul, Dok. Saya suaminya.”
“Saya sudah memberikan suntikan pada pasien. Untuk saat ini, Bu Nanda baru saja memasuki pembukaan empat. Kita lihat nanti. Jikalau sudah sampai pada puncak pembukaan, maka akan kami tindak lanjuti persalinannya. Namun, kami juga akan memantau kondisi pasien lebih lanjut."
“Baik, Dok.” Aldi memasrahkan segalanya pada pihak rumah sakit. Karena dia percaya, mereka lebih tahu untuk memberikan tindakan apa yang terbaik untuk pasiennya.
Sesaat kemudian, Aldi diperbolehkan menemui Nanda. Aldi menoleh, mendapati istrinya sudah terbaring di atas brankar. Tampak sekali kecemasan yang terlihat di wajah Nanda.
“Dek ... Sayang, Mas ada di sini,” ucap Aldi saat dia sudah di samping brankar Nanda.
"Mas, rasanya Nanda takut," lirih Nanda.
"Kamu harus kuat. Sayang. Ini bukan pertama kalinya, kan? Dulu, saat melahirkan Rere kamu bisa, sekarang pun kamu pasti juga bisa!" hibur Aldi.
Nanda mendengarkan kata-kata motivasi dari suaminya. Mata wanita itu merebak sambil menatap sang suami lekat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Ernhy Ahza II
hoekk
2023-01-10
1
🎯bunda yun[❄️]™♥️
hoax itu
2022-12-14
0
dheselsa
pret
2022-12-14
0