Jarum jam menunjukan pukul sembilan malam, sepasang suami istri itu telah berada di kamar pribadi mereka. Lelah menghampiri, membuat keduanya sudah ada di atas kasur.
“Mas ... besok kita ke bidan, yuk?” ajak Nanda setelah memiringkan tubuh, menghadap suaminya.
Aldi tampak berpikir. “Emmm ... boleh. Besok kita ambil cuti saja, terus ke bidan. Demi kesehatan janin yang ada dalam kandunganmu, aku akan cuti,” ucapnya, mengelus pipi Nanda dengan lembut.
Wanita yang memakai piyama navy itu tersenyum. “Kalau begitu, aku izin dulu ya, Mas.”
Nanda langsung menghubungi seseorang setelah mendapatkan anggukan dari sang suami, lalu mengutarakan maksud dirinya menelpon, meminta izin untuk tidak masuk dahulu.
Tak lama, Aldi juga melakukan hal yang serupa. Menghubungi seseorang dan meminta izin untuk besok mengambil cuti. Setelah perizinan melalui telepon dilakukan, keduanya dapat tidur dengan lelap.
...****************...
Sang surya telah tiba, mengganti rembulan dengan sinar terangnya. Membuat para makhluk bumi kembali pada rutinitas.
Hari ini, Nanda dan Aldi sedang bersiap untuk pergi. Sesuai permbicaraan keduanya malam tadi, mereka akan pergi ke bidan desa untuk memerika kandungan Nanda. Bidan desa dipilih karena Nanda merasa tak ada masalah dengan kandungannya. Itu sebabnya dia tidak ingin ke dokter spesialis kandungan terlebih dulu. Cukup ke bidan untuk konsultasi kehamilan.
“Mas ... Mas! Sudah siap?” teriak Nanda dari teras. Dia melihat ke dalam rumah. Aldi masih berada di kamar pribadi mereka.
“Ini sudah, Dek. Sebentar,” ujar Aldi yang baru saja keluar dari kamar, berjalan menuju teras sembari merapikan kerah bajunya.
Nanda tersenyum, menghampiri suaminya dengan wajah bahagia.
“Sudah?” tanyanya, memastikan.
Aldi mengangguk. “Sudah. Rere di mana? Dia ikut, kan?”
“Ikut, tapi tadi masih sama Ibuk. Biar aku panggil dulu,” jawab Nanda, lalu dia menuju samping rumah. Tadi ibunya membawa Rere bermain di taman samping.
Selang tak berapa lama, Nanda muncul bersama Rere dan diikuti ibu mertua Aldi.
"Kalian hati-hati di jalan. Sebenarnya Ibu tak keberatan jika Rere main di rumah saja sama Ibu," ucap Ibu Nanda.
"Tak apa, Bu. biar ikut saja. Saya masih kangen juga sama Rere. Biar saya lebih banyak waktu sama dia," balas Aldi.
Sang ibu hanya manggut-manggut mendengar jawaban menantunya. Dia mengerti akan perasaan Aldi yang jarang bisa pulang untuk mendampingi tumbuh kembang Rere selama beberapa bulan terakhir ini.
"Kami berangkat, Bu ..." ucap Nanda kembali pamit pasa sang ibu.
"Iya, hati-hati!"
Deru mesin mulai terdengar, lalu kendaraan beroda dua itu mulai meninggalkan halaman rumah. Membawa tiga penumpang, Rere di depan, Nanda di belakang Aldi. Mereka bergerak untuk satu tujuan, ke Polindes.
Jarak dari rumah ke Polindes sekitar lima belas menit. Hal itu membuat Aldi harus menggunakan motor dengan lebih hati-hati untuk menjaga keselamatan Nanda, Rere, dan bayi yang masih dalam kandungan. Terlebih saat beberapa ruas jalan ada yang rusak dan berlubang.
Tentu saja, hal itu Aldi lakukan karena semata-mata ingin yang terbaik untuk istri dan calon buah hati mereka. Meski harus mengendarai kendaraan dengan pelan, Aldi cukup bisa bersabar dengan hal itu.
Tak lama, decitan rem terdengar. Pandangan mereka menangkap bangunan tak begitu luas yang ada di depan mata. Bangunan yang terletak disamping balai desa itu tak lain adalah Polindes tempat Nanda akan periksa ke bidan.
Aldi menghentikan motor dan membantu Rere turun. Dia lalu memegangi tangan Nanda agar sang istri lebih mudah turun dari boncengan.
“Terima kasih, Mas.” Nanda tersenyum, kemudian menggendong Rere dengan hati-hati.
“Sini, Rere sama aku saja. Kamu 'kan lagi hamil, jangan sampai kecapean,” kata Aldi, lalu meminta Rere dari gendongan Nanda.
Wanita itu mengangguk saja, memberikan putri pertama mereka pada Aldi. Beruntung, Rere sedang tidak rewel sehingga mau digendong oleh ayahnya.
Lantas, mereka langsung masuk ke dalam Polindes. Sembari menunggu panggilan dari bidan, sepasang suami istri itu memutuskan untuk duduk di kursi.
Selang lima menit kemudian, seorang wanita berusia kisaran empat puluh tahun, keluar dari ruang periksa. Memanggil nama Nanda dan mempersilakan pasiennya itu untuk masuk ke ruangan.
“Dek ... udah dipanggil, ayo!” ajak Aldi, bediri. Diikuti Nanda.
“Iya, Mas. Ayo!”
Segera mereka masuk, menemui sang bidan. Nanda langsung diminta untuk berbaring di atas brankar, sedangkan Aldi duduk di kursi di depan tempat duduk bidan sembari menggendong Rere.
“Tarik napas, Bu,” pinta bidan yang Nanda ketahui bernama Nana dari warga sekitar rumahnya. Bidan Nana adalah bidan baru di desa. Dia baru dipindahtugaskan sebulan yang lalu, menggantikan Bidan Susi yang pindah ke luar kota, mengikut suaminya.
Nanti patuh pada perintah bidan Nana, menarik napas panjang. Kemudian, mengembuskannya secara perlahan. Membiarkan perempuan itu memeriksa tubuhnya.
Dengan telaten, bidan Nana memeriksa Nanda. Menempelkan stetoskop pada area dada dan perut. Tujuannya pada dada untuk memeriksa jantung dan paru-paru, lalu beralih pada perut untuk memeriksa kondisi janin. Bidan muda itu juga bertanya perihal siklus menstruasi Nanda.
“Sudah. Ibu boleh turun,” ujar bidan Nana, lalu melangkah menuju tempat duduknya.
Nanda turun dengan hati-hati dibantu oleh Aldi, lelaki itu cukup peka dan perhatian memang. Tak ayal, hal itu membuat Nanda tergila-gila pada lelaki tersebut.
“Ini kehamilan kedua?” tanya bidan Nana, setelah Aldi dan Nanda duduk. Dia melihat ke arah Rere, menebak hal itu setelah melihat balita tersebut.
“Iya, Bu.” Aldi menjawab, tersenyum. Lelaki itu sekilas memperhatikan setiap pahatan wajah Bu Nana. Cantik juga, Bu Bidan ini! Tutur Aldi dalam hati.
“Baik. Kondisi janin Bu Nanda baik-baik saja. Dari keterangan Bu Nanda tadi tentang terakhir menstruasi, sekarang usia kandungan sudah memasuki minggu kelima. Untuk saat ini, saya berikan beberapa vitamin penguat kandungan, makan yang teratur, dan tetap menjaga kondisi tubuh,” tutur bidan Nana sembari menulis data Nanda dengan wajah serius.
“Baik, Bu.” Nanda mengangguk paham. Ini bukan kali pertamanya dia hamil, jadi tidak terlalu khawatir dengan penuturan bidan.
“Ini, vitamin dan obat yang harus diminum. Jangan lupa, istirahat juga harus cukup, ya?" ucap Bidan Nana.
“Terima kasih, Bu Bidan. Akan saya perhatikan untuk vitamin dan kesahatan saya. Oh ya, Bu ... bisa minta nomor whatsapp-nya, Bu?” tanya Nanda. Dia merasa perlu memiliki nomor bidan baru itu jika sewaktu-waktu dia butuh untuk konsultasi.
Tadi, Bu Nana juga sempat mengatakan akan memberikan nomor agar dia bisa konsultasi jika membutuhkan arahan. Kini, Nanda pun menagihnya.
Tampak bidan Nana langsung menuliskan beberapa angka di atas kertas, lalu memberikannya kembali pada Nanda.
“Terima kasih Bu Nana. Nanti kalau ada apa-apa, saya akan konsultasi pada Ibu.” Nanda tersenyum, lalu berpamitan. Kemudian, disusul oleh Aldi.
“Iya, silakan," sahut sang Bidan.
"Mas, tolong simpan dulu ini, nomor Bu Nana," kata Nanda yang memberikan kertas berisi nomor HP. Selain itu, Nanda juga memberikan kantong berisi obat dan vitamin yang tadi diberikan Bu Nana.
"Oh, iya, Dek," sahut Aldi. Dia mengerti saat ini Rere sedang merajuk dan Nanda sedang berusaha menenangkannya dengan menggendong anak tersebut. Aldi tak banyak bicara lagi. Dia lalu memasukkan kertas dan vitamin ke dalam tas kecil yang dia bawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
ᴹˢ᭄̊ᵐᶜ⃠ᵘᵏᵉᵗ 💚
ohh nanda kmu ceroboh sekali, makin girang suamimu dapet no tuh bida desa
2023-01-14
0
Jess ♛⃝꙰𓆊
mata keranjang
2022-12-26
0
Ernhy Ahza II
Kmu sdah sama anak istri lo al msih aja tuh mata ngga bsa diem
2022-12-26
1