Musim penghujan mencapai puncaknya. Seolah tiada hari tanpa hujan. Aldi pun semakin jarang pulang ke rumah untuk menyambangi anak istrinya. Laki-laki itu tak ambil pusing. Dia santai saja, yang penting tiap hari menyempatkan diri untuk menghubungi sang istri.
Di sisi lain, Aldi juga terlihat makin akrab dengan Neti. Mereka memang sering ketemu. Entah Aldi yang nyambang ke rumah Pak Karno hanya untuk sekedar berbincang cari teman ngobrol dengan juragan itu, atau Neti yang ke tempat Aldi untuk mengantar sesuatu. Biasanya makanan yang dibuat ibunya. Intinya, Neti dan Aldi setiap hari pasti bertemu dan bertegur sapa.
Cantik juga ini anak gadis Pak Karno. Mana tubuhnya mulus, anaknya ramah dan sedikit lugu pula. Aldi membatin sembari memperhatikan lekuk tubuh Neti.
Putri tunggal Pak Karno itu memang cantik, kulitnya tidak begitu putih tapi bersih dan mulus. Kaki jenjang dan rambut lurus Neti juga menunjang pesona kembang desa tersebut. Jelas, dia bagai nektar yang mengundang kumbang untuk mendekat. Begitu juga dengan Aldi yang matanya tanpa sadar tak bisa lepas dari sosok Neti.
"Mas ... Mas Aldi, lihatin apa, sih? Ada yang salah dengan baju saya?" tanya Neti sambil mengecek pakaiannya.
Aldi terperangah. Lelaki itu terkejut dan jadi salah tingkah karena ketahuan sedang memperhatikan Neti.
"Oh ... tidak, Dek ... tidak ada yang salah. Kamu selalu terlihat sempurna," timpal Aldi. Dia berusaha mengendalikan perasaannya.
Neti yang kini jadi salah tingkah setelah mendengar pujian dari Aldi. Wajahnya jadi kemerahan seperti senja yang kini hampir terbenam.
"Cari Bapak, ya, Mas?" tanya Neti setelah bisa menguasai diri.
"Ah, iya ... mau kasihkan uang sewa. Takut nanti lupa lagi."
"Ditunggu sebentar, Mas. Saya panggilkan Bapak dulu," sahut Neti.
Gadis muda itu lalu berlalu ke dalam rumah. Aldi sendiri duduk di teras rumah Pak Karno. Matanya celingukan, mengekor gerak tubuh Neti yang tak berapa hilang di balik tembok dalam rumah.
Untung saja di tempat terpencil seperti ini banyak gadis cantik, jadi bisa betah. Aldi kembali membatin sambil senyum-senyum.
Mata Aldi keadaan beralih melihat halaman rumah, juga pekarangan rumah Pak Karno. Halamannya cukup luas. Kalau dibangun rumah, masih bisa untuk sebuah rumah berukuran besar. Aldi pun manggut-manggut, berpikir andai dia punya lahan seluas itu juga. Di rumah mertuanya, memang ada lahan yang mau diberikan, tapi tidak seluas halaman rumah Pak Karno.
Hari semakin sore. Meski tidak hujan, tetapi ada gelayut mendung tipis. Tidak menutup kemungkinan malam nanti akan turun hujan deras.
"Nak Aldi, maaf ya, nunggu lama," ucap Pak Karno yang keluar dari dalam rumah. Neti mengikuti sang ayah sambil membawa teh dan kue.
"Baru selesai mandi," imbuh Pak Karno.
"Iya, Pak. Saya baru datang, kok," sahut Aldi basa-basi.
"Silakan, Mas, diminum." Neti tersenyum kecil sambil sesaat menatap Aldi.
"Oh, terima kasih. Maaf, jadi merepotkan."
"Nggak, kok, Mas. Hanya teh anget saja," timpal Neti.
"Ayo, diminum dulu. Jangan sungkan-sungkan kalau di sini." Pak Karno ikut ambil suara.
Aldi pun tersenyum lalu mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum menyruput teh buatan Neti.
"Nikmat sekali, rasanya pas," celetuk Aldi.
Neti yang duduk di samping Pak Karno jadi senyum-senyum sendiri mendengar kata-kata Aldi.
"Wong teh saja, rasanya 'kan sama," ucap Pak Karno.
"Beda, Pak. Beda tangan yang buat, beda juga rasanya," sahut Aldi sambil mengerling pada Neti. Neti pun semakin tersipu malu.
"Masa? Dilidah Bapak kok sama saja. Apa lagi ini si Neti yang bikin. Kadang terlalu manis, bikin minuman saja sering nggak pas. Apa lagi masak, makin tak bisa. Seperti ini, Bapak makin ketar ketir saja. Suruh kuliah tak mau, mau suruh nikah, siapa juga yang mau kalau masak saja tidak bisa," cerita Pak Karno. Si Tuan Tanah itu jadi curcol, alias curhat colongan.
"Bapak itu, apa sih ... ngomong begitu ke Mas Aldi, Neti 'kan malu," protes Neti.
"Ya itu 'kan kenyataan. Makanya, kalau diajarin ibumu masak, perhatikan yang benar. Terus itu, belajar sama Nak Aldi, biar kamu kelak juga bisa sukses seperti dia."
"Ah, sudah dong, Pak. Jangan ngomong begituan terus!"
"Nati anak yang cerdas, Pak. Saya yakin, kalau kuliah ambil jurusan apa pun juga bisa masuk. Tinggal minatnya dipastikan, mau ambil jurusan apa. Kalau masalah nikah ...." Aldi menghentikan ucapannya sejenak sambil melirik Neti. "Neti masih terlalu muda, Pak. Biar menuntut ilmu dulu. Saya yakin, gadis secantik putri Bapak, yang naksir pasti banyak. Mau suami seperti apa, juga bisa. Pak Karno tidak perlu khawatir soal itu. Siapa tahu, Neti pun sekarang sudah ada cowok yang jadi tanbatan hati," lanjut Aldi.
Pada dasarnya, Aldi hanya ingin menelisik, mencari tahu apa Neti si kembang desa sudah punya pacar atau belum. Pesona gadis desa berwajah ayu itu mampu membuat Aldi semakin penasaran dengan kehidupan pribadi sang primadona.
"Apa iya begitu? Kamu memang sudah punya pacar, Net?" tanya Pak Karno blak-blakan.
"Belum, Pak," sangkal Neti. "Mas Aldi jangan begitu, Bapak nanti jadi salah paham. Saya mana ada yang suka, gadis desa kayak saya, yang melirik saja nggak ada," ujar Neti sambil menunduk.
"Kamu itu 'kan cantik, baik hati juga. Nggak mungkin tidak ada yang tertarik," Aldi makin berani mengutarakan pemikirannya.
Neti semakin tersipu malu. Sementara Pak Karno memperhatikan putrinya dengan dahi berkerut.
"Anak udik begitu, cantik dari mana," lirih Pak Karno.
"Sudah ah, kenapa jadi bahas saya. Tadi Mas Aldi ada perlu dengan Bapak, kan?" ucap Neti.
Gadis itu langsung bangkit dari duduknya dan beranjak meninggalkan Aldi dan Pak Karno. Buru-buru Neti masuk ke rumah, menyembunyikan wajahnya yang susah merah karena menahan malu.
"Net, Neti ... mau kemana kamu?" tanya Pak Karno. Akan tetapi Neti tak menggubris panggilan bapaknya.
"Tuh, lihat anak itu ... nggak punya rasa percaya diri. Susah ngomong sama dia. Suruh kuliah tak berangkat, mau dinikahkan, juga masih terlalu muda," Pak Karno ngomel-ngomel sendiri.
"Eh, tadi Nak Aldi ke sini ada perlu apa?" tanya Pak Karno kemudian.
Aldi pun segera ingat akan tujuannya datang untuk membayar uang sewa rumah. Dia sempat lupa setelah ikut larut dalam pembicaraan tentang Neti.
"Oh, ini, Pak. Saya mau ngantar uang sewa rumah. Maaf, Pak, kemarin sore mau ke sini hujan deras."
Aldi mengutarakan maksud kedatangannya sambil menyerahkan amplop berisi uang sewa rumah.
"Tidak apa-apa, santai saja," jawab Pak Karno yang menerima amplop dari Aldi. Dia lalu meletakkannya di meja, tanpa melihat isinya.
"Nak Aldi, Bapak minta tolong sekali lagi. Kasih motivasi si Neti. Biar dia mau daftar kuliah tahun depan. Arahkan dia. Kalau tentang menikah, sebenernya saya juga tidak akan memaksanya nikah muda. Biar nanti kalau dia sudah sukses, baru berpikir tantang rumah tangga."
"Iya, Pak. Insyaallah saya bantu. Kalau soal jodoh, saya juga sedemikian dengan Bapak. Sekarang sudah bukan jamannya lagi maksa anak gadis nikah muda. Apa lagi untuk gadis yang cerdas dan secantik Neti, Bapak tidak perlu khawatir. Jika sudah saatnya, pasti Bapak tinggal seleksi saja untuk calon menantu."
Pak Karno mendengarkan ucapan Aldi dengan serius sambil manggut-manggut. Sementara itu, Neti yang menguping dari balik tembok ruang tamu jadi senyum-senyum, salah tingkah sendiri mendengar pendapat Aldi tentang dirinya yang dikatakan cerdas dan cantik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Ernhy Ahza II
si neti ini sprtinya ada rasa sama si aldi 😎😎lgian si aldi jga sih jdi lakik genit,, di ksih hati sma istri malah minta jantung 😎
2022-12-23
1
Ernhy Ahza II
heii aldi ingat anak istrimu drmh 🙄🙄Kmu sprtinya udah mulai lupa klu sdah punya istri dan anak drmh 🙄😎matamu udah mulai ganjen melirik wnita lain
2022-12-23
1
Dania🌹
aldi nya yg puji puji terus ini malahan 😟
2022-12-09
0