LAMARAN DADAKAN [EXTREME PROPOSE]
Sinar matahari belum menyentuh bumi, terlalu dini untuk sekadar membangunkan diri, tapi seorang Dirgantara Mulia Radjasa justru sudah terjaga diposisinya. Suatu tempat yang juga dianggap sebagai persinggahan sementara, sebuah stasiun besar disalah satu kota.
Melirik jam tangannya sekilas, waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Kurang lebih sepuluh menit sejak ia menyelesaikan shift kerjanya hari ini. Laki-laki itu masih belum beranjak juga dari tempatnya, memandangi kesunyian dalam gelap.
“Belum balik, Dir?” Tanya seseorang mendekatinya dalam diam.
Dirga melirik kearah Firdaus yang berdiri dalam jarak dua meter darinya.
"Belum, lo duluan saja." Responnya singkat.
“Lo nggak mungkin menunggu seseorang di jam tiga pagi ini, ‘kan?” Tanya Firdaus retorik.
“Nggak, cuma belum pengin buru-buru balik.” Jawab Dirga cuek.
“Idih, dasar ayam! Ya sudah, gue duluan!”
Setelah merasa di acuhkan, lelaki bertopi hitam itu memberi salam lalu berlalu dari hadapan rekan kerjanya tersebut.
Keduanya memang dekat, maka ketika Dirga terkesan mengacuhkannya, Firdaus tak berusaha mengambil hati. Mungkin Dirga tengah memiliki masalah, pikirnya.
Begitulah kondisinya saat ini. Dari jutaan masyarakat dunia, Dirga adalah salah satu dari sekian banyak orang yang terkadang lelah dengan kehidupan. Hidup memang untuk dijalani dan diserap positifnya, bukan hanya untuk dikeluhkan. Walau kali ini keadaan dan situasi benar-benar tak bisa dikatakan baik.
Umur yang bertambah banyak, tak serta merta menambah kesabaran jiwa. Belum lagi perkara kocek yang mulai dalam.
Entah atau hanya Dirga yang terlalu berlebihan, tapi diantara seluruh hal yang memenuhi pikirannya, ada satu yang sangat mempengaruhi kondisi hatinya juga.
Disebut sebagai sindrom mama minta menantu.
Ciri-cirinya terlihat ketika usia sudah melewati angka dua-puluh-lima dan tabungan sebanyak dua digit lebih.
Menurut beberapa orang yang ia temui, hal ini memang mengganggu, walau masih bisa diimbangi dengan sikap independent dan stable financial. Terkecuali satu hal yang belum tentu sama dengan orang lain, Dirga hanya memiliki Mama dalam hidupnya.
Hampir beberapa bulan ini Mama kerap kali memojokkan dirinya dengan terror mengerikan tentang pernikahan. Siapa yang tidak geger jika akan selalu ada pesan pada jam tujuh pagi, diawali dengan bentuk teks kurang lebih seperti; ‘Assalamualaikum calon ayah?’ lalu akan ada pesan berikutnya di hari lain yang berkesinambungan, ‘apa kabar calon kepala keluarga?’.
Akhirnya ia hanya bisa bergidik ngeri, mengucap dalam hati sambil merapalkan doa terbaik agar semua pembuka berjenis sama pada setiap pesan itu berhenti. Paling tidak, satu hari-serius! Satu hari pun Dirga akan sangat bersyukur!
Mama benar-benar gencar memperingatinya untuk cepat membawa calon ke hadapan beliau. Bahkan ancaman lain datang, jika tak ingin dibawa ke kampung untuk dinikahkan dengan bunga desa, lalu meneruskan usaha kelapa sawit Mama disana. Tentu, siapapun tak akan menolak bunga desa apalagi parasnya benar-benar tak diragukan hampir satu desa.
Masalahnya, untuk apa susah-susah mengejar cita-cita sebagai seorang Masinis, jika dirinya hanya berakhir kipasan di depan hamparan sawah, sambil menunggu waktu petang tiba? Memantau kebun dan pekerja, terus begitu hingga berakhir kehadapan sang pencipta bila ajal sudah tiba. Dirga bergidik memikirkannya-bukan bermaksud merendahkan suatu profesi. Menjadi petani itu tidak salah, tapi bukan impiannya untuk berakhir seperti itu.
Sudah tiga tahun-berjalan empat tahun-belakangan ia menyandang status masinis di PT.KAI Commuter Indonesia.
Meneruskan ke sekolah dinas masinis, itulah cita-citanya yang tercapai. Walau tak mudah, Dirga cukup puas dengan hasilnya. Terlebih ia bisa punya banyak pengalaman berinteraksi dengan orang lain yang jauh lebih luas, baik dari internal kantornya atau para penumpang.
Dia bangga, tapi Mama masih tak cukup dengan goalsnya kali ini.
Mama memang selalu sendiri sejak memutuskan berpisah dengan Papa. Entah bagaimana kabar laki-laki paruh baya yang hampir Dirga lupa namanya itu. Banyak hal yang terjadi sebelum ini, sehingga siapapun yang melihat ia bertatap muka dengan sang Papa pasti tahu jika diantara mereka memang tak baik-baik saja. Lantaran tak kuat menanggung sakit, Dirga jadi harus melupakan satu figur penting dalam keluarganya. Bertahun-tahun dengan senyum kepalsuan ketika mendengar seseorang bertanya soal laki-laki itu. Ia tak butuh seseorang itu lagi, cukup dengan senyum Mama tiap menyambutnya pulang dia sudah sangat bahagia.
Mama orang satu-satunya yang bisa ia banggakan dan buat bahagia selama ini, tapi apakah salah kalau ia benar-benar belum bisa memberikan teman berbincang yang setipe untuk Mama?
Dia masih dua puluh enam tahun, berdompet tebal, dan tentunya masih tergolong muda!
Tapi Mama-nya agaknya belum merasa puas ketika disinggung soal dompet tebal, karena beliau mengaku lebih puas ketika menatap dua ciptaan tuhan yang berdiri bersanding di atas pelaminan-tentunya Dirga and his future wife!
Sebelum Dirga, Mama pernah hampir merasakan bahagia ketika menyaksikan anaknya bersanding dengan orang lain di pelaminan-ketika kenangan itu muncul dalam pikirannya, beliau hanya bisa menangis. Kisah yang nyatanya berakhir buruk itu.
Kakak perempuannya yang pergi untuk selamanya, satu hari sebelum hari pernikahan keduanya-ia dan calon suaminya. Dirga masih kecil saat itu, sekolah menengah pertama kalau tidak salah. Sejak itu pula Dirga dan Mama menjadi dua orang yang tersisa dirumah, setelah satu per satu rajutan kisah-kasih yang dibuat orang-orang rumah, perlahan menghilang.
Dirga perlu membahagiakan Mama. Tapi egonya juga tak pandang bulu. Dia terlalu kaku dengan keputusannya. Mencari, atau tentukan keinginan Mama dengan pilihan beliau sendiri.
"Mulia! Lo nggak pulang?" Seseorang berseru dari jarak dekat. Novia menarik kopernya dengan langkah besar-besar. Gadis tinggi itu mendekatinya dengan senyum sumringah. Kepalanya terbalut jilbab rapih yang terkadang membuat Dirga ngeri sendiri-sebab banyaknya peniti disana.
Novia namanya, cantik, pintar dan begitu semampai-tapi sayang, sudah taken.
"Belum, Vi." balas Dirga tak menatap Novia disampingnya.
Pandangan masing-masing jatuh pada rel kereta yang kian menghitam tergerus waktu.
"Lo sedang menunggu apa sih, Mul? Jangan bilang gue?" Ejek Novia sambil menepuk bahunya pelan. Sudah gila Novia kalau bahas-bahas yang lalu. Dirga memang standar sifatnya, walau sedikit lebih jika menyoal pada perasaan-dia laki-laki 'baper'.
"Idih, percaya diri betul! Kan sudah taken juga lo sama kapten Muh." Elak Dirga, menambahkan candaan yang dibalas tawa ejekan dari Novia.
Bukan tak pernah merasakan kisah cinta, Dirga hanya manusia biasa dan lelaki biasa yang tetap lurus pada kodratnya; menyukai, mencintai wanita, itulah kodrat lelaki dan tentunya mutlak.
Dia pernah menyukai Novia sebagaimana laki-laki kepada perempuan. Dia tahu Novia orang yang sedikit susah didekati dalam konteks yang lebih pribadi. Tapi mencoba tak pernah salah, hingga datang saatnya ia bertekad besar untuk menyatakan cintanya pada Novia.
Belum ada maksud apapun dari niatannya saat itu, entah pacaran atau melamar, yang jelas Dirga hanya bermaksud menyatakannya. Dia lontarkan kata suka pada Novia yang kemudian berakhir pada penolakan halus dengan alasan taken. Ya, Novia sudah keburu dilamar oleh salah satu kapten maskapai penerbangan komersil milik negara. Kemudian mereka menikah dua bulan setelahnya.
Kejadian yang hampir berlalu satu tahun
lamanya.
Jujur, Dirga bukan tipe yang benar-benar cepat menyukai seseorang. Sejak masa sekolah dulu, dirinya hanya suka atau lebih kepada kagum pada beberapa wanita, karena dia pikir wanita-wanita tersebut benar-benar cerminan wanita kartini.
Mandiri, hebat dan cerdas dalam satu tangkapan kata. Sehingga ekaguman itu menjadi landasan-tipe ideal-Dirga hingga kini.
Wanita Kartini.
Dia suka dengan tipe wanita seperti itu. Sejauh ini belum ada yang cocok dengannya, tidak sebelum kehadiran Novia. Dia gadis pertama yang merebut hatinya diam-diam. Tapi mau bagaimana, cepatnya manusia bertindak tak secepat kijang berlari. Berpikir tak secepat hanya menghitung dengan jari. Maka yang terpenting adalah kematangan dari macam sisi.
Hingga matang itu akhirnya overcook, karena penolakan akibat telat mencolong sang gadis, yang kemudian berakhir pada kasus baper tingkat tinggi hingga sakit satu hari. Reaksi berlebihan yang mula-mula dapat memunculkan ke-akutan tingkat tinggi.
Dirga jadi bergidik memikirkan dirinya saat itu. Untung Novia tidak tahu.
Suasana berubah sedikit ramai karena para shifter-tim pengganti jam kerja-berdatangan menggantikan jadwal sebelumnya. Ada junior yang masih trainee, ada atasan, ada petinggi sampai seangkatan yang datang menyapa melewati mereka dengan salam bak satuan pengamanan Negara.
Hormat tangan di alis.
Keduanya berangsur larut pada suasana resmi seperti sekarang. Melupakan ejekan yang menguak kembali luka lama dengan tema cinta bertepuk sebelah tangan. Terlalu melankolis hingga Firdaus kadang menganggap Dirga itu drama queen, alias manusia penuh kesedihan seperti di drama.
"Ya sudah gue duluan, Dir." Pamit Novia ketika dilihatnya kondisi sekitar berangsur ramai. Semua yang datang menggantikan shift satu per satu berkumpul di ruangan untuk briefing. Novia undur dari hadapan Dirga, menyisakan kesendirian dan kepahitan akan kehidupan jomblo yang bila di ratap, tingkat ke baperannya mulai tinggi.
Mama, please jangan terror aku dengan menantu, sementara cintaku ini masih tak menentu, jeritnya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Fanvie
sabar ya thoor..ITS..ok..entar juga banyak yg baca💪💪💪💪
2023-03-27
0
Astri Astuti
bagus ini ceritanya
tapi belum banyak yang baca
2023-02-02
0
Oh Dewi
Mampir ah...
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya (Siapa) Aku Tanpamu, searchnya pakek tanda kurung biar gak melenceng yaa
2023-01-16
0