"Ah ... bu RW jangan suka ghibah orang. Nanti jadi dosa acara kita." Sergah Mama yang dibalas gelengan bu RW.
Tapi memang nggak biasanya bu Elmi nggak hadir arisan hari ini.
“Nggak bu, betul ini saya bicaranya. Kemarin bu Elmi sendiri yang bilang sama saya sambil menangis." tutur bu RW dengan raut serius.
"Kalau begitu ini aib bu Elmi loh, bu RW. Seharusnya bantu dijaga untuk nggak diceritakan ke banyak orang. Ya ... minimal dijadikan bahan pembelajaran, tapi jangan disebut namanya." Tanggap bu Mirna membuat bu RW diam.
Benar juga ini aib. Duh, kena lagi saya, pikir bu RW.
Barangsiapa menceritakan aib saudaranya, niscaya mereka telah memakan bangkai saudaranya sendiri.
Bu RW mendadak ingat ceramah salah satu ustadz saat pengajian beberapa waktu lalu.
"Eh ... iya, betul juga ya bu. Ya ampun, saya kelepasan. Tolong di rahasiakan, ya bu Elsa, ibu-ibu semua. Saya jadi nggak enak."
Bu RW menunduk malu melihat wajah Mama. Diam-diam muncul perasaan nggak enak juga di hati Mama. Entah apakah perkataan Mama yang bermaksud mengingatkan, juga terdengar kasar.
"Saya juga minta maaf jika terlalu lancang ya, bu. Supaya arisan kita ini berkah saja, jadi nggak terlalu menghibah sana-sini," ujar Mama nggak enak.
Bu RW menggeleng, "Nggak apa-apa, Bu. Sudah betul saling mengingatkan, saya juga jadi nggak enak sama Bu Elmi. Sebagai manusia sama-sama mengingatkan." ujarnya kemudian izin kebelakang.
Pasti bu RW malu sudah diingatkan.
Masa bodo lah Mama hanya mau kebenaran, pikir Mama
Tapi kalau diingat dari cerita bu RW tadi, alasannya pun nggak dapat dipastikan. Entah karena lingkungan, atau jumlah wanita cantik di dunia ini sudah berkurang sehingga laki-laki yang lama melajang, akhirnya merasa lelah karena nggak juga dapat pasangan dan memilih belok arah.
Mama jadi memikirkan jika hal ini menimpanya, adakah Dirga salah satunya?
Ah ... mana Dirga ada diantara ciri-ciri diatas, lagi!
Tiba-tiba Mama jadi takut sendiri.
"Nggak, nggak mungkin!” Gumam Mama tiba-tiba, tahu-tahu beliau izin pamit untuk pulang pada seluruh ibu-ibu yang masih asyik berbincang sana-sini.
Bukannya Mama menuduh, tapi hanya Dirga yang ia punya. Mama nggak ingin Dirga ternyata dalam kondisi yang sama.
Tentunya karena dia masih setia menjomblo.
...-...
"Aa’, A’ Dirga! Dirgantara Mulia Radjasa!"
Suara menyeru Mama tiba-tiba terdengar, disusul langkah cepat memasuki rumah tanpa memberi salam. Di carinya sang putra dari sudut ke sudut; mulai dari meja makan, destinasi yang terakhir kali ada dalam radarnya, kamar mandi, sampai ke taman belakang. Namun nihil, putranya nggak ada disemua tempat itu.
Tapi ada satu tempat yang masih belum beliau sambangi, yaitu kamar. Ya, Dirga pasti belum beranjak karena ini hari pertamanya di rumah setelah dua bulan tidak pulang.
Dengan tergesa Mama memasuki kamar tanpa mengetuk. Satu pemandangan yang ia cari sejak tadi terpampang nyata didepan matanya.
Putranya sedang memakai headphone di depan PC-nya, kemudian teralihkan karena perempuan baya itu tahu-tahu sudah masuk kesana.
"Ma? Nggak ketuk dulu, sih?" Tanya Dirga sambil menoleh memperhatikan paras ayu penuh peluh milik sang Mama. Bak kesetanan, Elsa-nama asli Mama-langsung memeluk Dirga dengan erat.
"Kamu normal kan, ya, A'? Normal ‘kan?" Entah racauan macam apa yang kini Dirga dengar, yang jelas, satu jawaban bahwa ia tak paham.
"Mama kenapa sih?" ulang Dirga sambil mengelus punggung kurus sang Mama. Bak disirami shower, itu yang ia rasakan di bahunya.
"Kamu normal kan, A'? Anak Mama satu satunya," Lagi, racauan tak jelas terlontar dari mulut sang Mama. Dirga memilih diam untuk kali ini. Mungkin Mama sedang kangen berat dengan anak paling ganteng-nya.
Pelukan itu berlangsung sekitar dua menit tanpa pergerakan berarti dari Dirga. Layar PC-nya juga menghitam mengiringi pergerakan yang tak muncul.
Mama mengangkat kepalanya.
"Kamu tahu, A', Mama takut banget kamu punya orientasi seksual yang menyimpang,” Terang Mama kemudian.
Entah punya pikiran dari mana kalau ia menyimpang, yang jelas, Mama bersikap layaknya orang kesetanan dengan langsung memeluknya. Mama nggak mungkin stress karena dia nggak punya pasangan, ‘kan?
"Mama jangan ngaco deh, Aa' nggak mungkin menyimpang, Aa’ bersumpah! Tanya saja Firdaus di kantor, dia tahu siapa aja yang dekat sama Aa'." Mamah menatap mata Dirga dengan lekat.
"Tapi kamu nggak pernah menunjukkan satu gadis pun?" Tegur Mama.
Dirga mengangguk.
"Itu artinya Aa’ belum menemukan yang pantas dibawa ke Mama. Karena Aa' hanya mau yang terbaik untuk Mama."
Mama memasang wajah marah.
"Tapi Mama tetap saja nggak mau tahu! Kamu harus bawa perempuan secepatnya ke hadapan Mama." Titah mama tegas membuatnya mengatupkan bibir.
Oke, jadi itu yang Dirga tangkap sebagai inti dari sikap nggak-jelas Mama.
"Jadi intinya, Mama takut aku menyimpang karena nggak pernah bawa cewek ke rumah? Yah ... Ma, bawa cewek mah mudah banget. Nanti deh, Dirga bawa Kalisa main kesini ya ... Dia baru puber tahu, lagi cantik-cantiknya." Kelakar Dirga mengingat tetangga kecilnya yang saat ini beranjak dewasa.
Kalisa itu tetangga baru yang sekarang tinggal bersama neneknya di rumah nomor satu. Orang tuanya berada di Papua untuk proyek perusahaan minyak.
Bukannya senang, Mama justru bergidik sambil menepuk kepalanya dengan keras.
"Ya ampun ... Dirgantara! Itu sih kamu memang nggak menyimpang, tapi pedofil tahu!" Seru Mama kesal.
Dirga tertawa dengan keras.
"Ya, habisnya si Mama. Di kira cari cewek kayak cari kucing dalam karung? Semuanya harus tertata dan dilihat dengan jelas. Mama tahu kan tipe ku bagaimana-"
"-terserah, terserah Mama nggak tahu. Jangan banyak alasan, pokoknya Mama nggak mau menunggu lebih lama lagi!”
"Iya Ibu ratu." Kelakar Dirga yang dibalas cubitan Mama.
Ma ... Ma, mau cari dimana gadis idaman Mama itu? pikir Dirga frustasi.
...-
...
Dirga membatalkan waktu bertemu dengan ketiga sahabatnya setelah tragedi geger tadi siang. Mama benar-benar manja dan nggak mau ditinggal sendirian dengan alasan kesepian. Padahal biasanya juga Mama lebih memilih Ucup, daripada dirinya.
Malam ini keduanya sibuk berdiskusi tentang kriteria wanita yang diinginkan Dirga. Bak mencari bahan di pasar tanah abang untuk beli pakaian hajatan, seperti itulah ribetnya Mama saat ini.
Mencatat sana-sini.
Mulai seperti apa model wajah gadis yang dicari Dirga, seberapa tinggi badannya, gemuk, kurus, atau semok, dan sebagainya. Lagi-lagi ditekankan, Dirga hanya laki-laki biasa yang suka dengan wanita tanpa ba-bi-bu. Asal matanya mendeteksi kecocokan, dan memiliki wife material, bisa jadi istri yang baik, sudah cukup lah rasanya. Tapi Mama masih bingung dengan maksud wanita kartini yang pernah di ceritakan putranya itu.
“Kalau soal wanita kartini, Mama nggak paham maunya Aa’ bagaimana? Memangnya seperti apa wanita kartini itu, A’?” Tanya mama ditengah kegiatannya mencatat tulisan berjudul ‘bakal calon istri Aa’
"Ya itu Ma, yang kayak ibu Kartini. Percaya diri, berani, semangat juang tinggi untuk kebebasan berpendapat dan ber-aksi didepan umum bagi kaum wanita." Jawab Dirga asal. Sebetulnya ini hanya bagian dari alasan panjangnya jika menemukan perempuan, karena ia belum memiliki kecocokan dengan beberapa orang yang pernah ia kenal.
Semuanya akan berantakan ketika Dirga hanya merasa suka, dan yakin dengannya.
Jadi ... ini hanya bagian dari alasan memperpanjang masa mencari dia.
Mama menangguk-angguk dengan cepat.
"Sejenis anak-anak organisasi kampus gitu lah, ya? Yang sangar-sangar berwibawa, suka orasi di depan gedung pemerintahan." Terang Mama.
Dirga sempat berpikir sebentar, sedikit bingung juga. Lalu akhirnya mengangguk dengan cepat, terserah bagaimana pemikiran mama saja, lah.
"Ya ... mungkin, kurang lebih lah."
"Oke kalau begitu, nanti Mama cari yang cocok," Putus Mama akhirnya.
Dirga mendelik mendengar perkataan Mama.
"Kok? Kenapa harus Mama yang cari? Kan tadi cuma tanya kriteria saja?"
Mama menggeleng.
"Ya ... kalo ketemu kenapa nggak?" Dirga menggeleng.
"Jangan Ma. Aa' bisa cari sendiri!" Tolaknya.
Mama menatapnya tajam.
"Tapi kapan, Dirgantara? Kamu tuh sudah tua, nak!” Tegas mama mencuil berjuta perasaanya, ketika kata tua seolah mengidentifikasikan berapa lama sudah ia hidup di dunia ini.
Sedikit meringis, Dirga kembali meratapi dirinya. Dua puluh enam, dengan angka dua dan angka enam. Jika itu mangkuk bakso, maka bukan jumlah yang sedikit untuk dua puluh enam porsi bakso.
Dirga seketika merasa pusing!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Astri Astuti
first
2023-02-02
0