Keesokan harinya Dirga telah siap dengan perlengkapan kerjanya. Semalaman Dirga mengemasi pakaiannya kedalam koper. Ia akan kembali berkerja sebelum waktu cutinya selesai.
Masa bodo lah sama waktu yang sudah di potong secara resmi. Mau dipakai atau tidak, izin cuti yang sudah di ajukan ke atasan tak bisa ditarik kembali sekalipun sebelum waktunya yang bersangkutan sudah kembali bekerja.
Semuanya akan berjalan sesuai waktu cuti yang diambil. Ia terlalu pusing dengan permintaan Mama. Egonya mengatakan untuk menyerah, jika ia lebih lama lagi bersama Mama, entah apa yang akan ia lakukan dan katakana pada beliau. Dirga tak kuasa jika melihat Mama harus kecewa lagi.
Mungkin setahun waktu yang cukup untuk tak pulang, begitu pikirnya semalam.
Walau ia sempat terpikir dengan perkataan Mama soal si babysitter itu, tapi masa bodo! Dirga tidak mau tahu dia siapa, selama belum mengenal dan benar-benar jadi, dia hanya enggan peduli lebih lanjut.
Rapih dengan seragam kerjanya juga topi khas masinis, Dirga tampil dengan sangat gagah. Tinggi badan seratus delapan puluh dengan berat yang seimbang, Dirga tampak proposional dari tampilan luarnya saja.
Wajah tampan tak di ragukan, ditambah kocek dalam yang dicintai setiap orang.
Berjalan gagah lantas mengunci kamarnya, Dirga turun kebawah dengan tergesa. Sekarang baru pukul tiga. Rencananya ia akan sholat subuh di jalan nanti sehingga Mama tak tahu jika ia pergi. Walau rasanya kejam, tapi kewarasannya masih perlu dipikirkan.
Siapapun yang mengiranya tak akan menyangka di umur yang sedewasa ini, sikap Dirga tak mengimplementasikan umurnya.
Sekali lagi, dengan embel-embel masa bodoh, dia menjatuhkan imejnya sendiri. Kabur setelah perdebatan singkat dengan sang Mama yang membuatnya semakin lelah, semalam.
Jujur, Dirga tipe orang yang terkadang terlalu berlebihan membawa perasaan.
Dirga sampai di dua anak tangga terbawah. Rumah masih sepi dan dipastikan secara jelas, Mama masih di kamarnya. Berjalan dengan sedikit berjingkat untuk mengurangi kemungkinan suara tapak kakinya akan terdengar nyaring, ia perlahan bergerak menuju pintu keluar garasi.
Belum sempat tiba di depan pintu garasi, dirinya justru dikagetkan dengan lampu dapur yang menyala dan bau masakan yang menyeruak tiba-tiba kedalam cuping hidungnya.
Plus … Mama disana dengan apron yang menempel apik ditubuhnya.
"Nggak lucu orang setua kamu mau lari dari kenyataan kayak gini, A'." Mama berjalan kearah meja yang membuat Dirga tetiba saja berbalik badan melihat gerak gerik wanita paruh baya itu.
Imejnya tak akan pernah baik di depan mata Mama. Putra satu-satunya orang yang ia tahu kepribadiannya dibanding dirinya sendiri.
"Jangan coba kabur sebelum dengar penjelasan Mama. Mama tahu cuti kamu masih lima hari, Dirgantara." Ujar Mama sambil meletakan beberapa camilan di piring yang terletak di meja.
Bagaimana Mama bisa sudah bangun di jam tiga pagi ini?
“Oh ya, Mama terbangun, dan nggak bisa tidur lagi.” Tambah Mama seolah memberinya info eksistensinya saat ini.
Dirga menyerah. Dilepasnya topi dikepala, yang kemudian ia genggam di tangan kirinya. Berjalan menuju tempat makan, dimana Mama kini duduk memandanginya.
Cukup bertingkah layaknya malin kundang. Dirga tak bisa lagi bertingkah seperti ini setelah dua puluh enam tahun menjadi embel-embelnya.
Duduk bersedekap di depan Mama seperti anak kecil sehabis dimarahi. Kalau tidak dalam suasana tegang, Mama pasti akan tertawa terbahak melihat wajah polos putranya pagi-pagi begini.
"Dirgantara …” Mama mendesah berat sambil memijit pelipisnya pelan. Dirga tak menebak, tapi yakin dengan apa yang ia opinikan kini. Mama tengah stres berat menghadapinya.
"Kamu tahu, Mama meminta kamu menikah bukan tanpa alasan, apalagi sindrom menantu yang kini banyak di ceritakan anak-anak muda. Kamu pikir Mama nggak tahu? Bahkan Mama tahu kapan seharusnya kamu berlari mengejar anak-anak kecil milikmu sendiri, A'." Mama mengambil jeda dengan menyesap susu segarnya. Dirga memaku ditempatnya memperhatikan wajah Mama.
"Mama hanya mau bahagia. Kamu dan Mama. Kamu tahu A', Mama ini nggak sesehat dulu lagi. Umur siapa yang tahu? Bagaimana bisa Mama masih membiarkan kamu sendiri? Ini bukan paksaan, mungkin sedikit permintaan yang sebenarnya anjuran dari agama kita. Kamu mengerti kan maksud Mama?"
Dirga mengangguk pelan seperti anak kecil yang mengerti setelah di berikan wejangan oleh orang tuanya.
"Jadi dengan tenang Mama katakan sekarang, A', Mama sudah temukan perempuan itu. Walau memang dia belum mengatakan apapun setelah Mama memberikannya tawaran hari itu. Dia bukan babysitter sembarangan, namanya Nina, kita sekampung, dia mahasiswi semester akhir yang sedang mencari kerjaan sampingan-Mama rasa sih gitu."
Dirga mengerti. Mama punya selera yang baik dan dia sendiri telah mendeskrip tipe idealnya.
Dirga mengehmaps napasnya sejenak. Mungkin ini akhirnya. Menyerah dengan tawaran Mama jika dia orangnya?
"Mama dapat dia darimana?" Tanyanya tiba-tiba.
Mama menjawab denga sewot.
"Jangan bicara seolah-olah dia barang yang mudah di temukan, A'! Mama bertemu dia di rumah Bu Lilis. Dia baru bekerja disana, kemarin sih terhitung sudah dua hari." Terang Mama.
Orang baru.
"Mama jangan cepat menyimpulkan, Ma. Oke, Dirga sekarang setuju dengan apapun pilihan Mama. Tapi baru bekerja dan Mama saja baru kenal, bagaimana Mama bisa begitu percaya?" Tegurnya memaksa Mama memikirkan kembali keputusannya.
Mama menggeleng sambil menyesap susunya-lagi.
"Mama melihat matanya, perkataan yang keluar dari bibirnya. Terlepas apakah ia hanya butuh tambahan atau ladang utama untuk biaya sekolah, Mama bisa melihat kalau dia pekerja keras, A'." Jelas Mama.
Dirga bisa menangkap kesungguhan dari perkataan Mama. Ada yang pernah mengatakan kalau pilihan orang tua tak jauh dari kata baik. Atau mungkin yang terbaik dari sisi manfaat.
Mama bukan orang yang gampang suka atau cocok dengan orang. Bahkan Mama pernah sekali tak suka dengan seseorang yang ada di komplek ini, sampai tak sering-sering lewat depan rumahnya dan memilih jalan lain yang lebih jauh.
Walau Mama juga tak benci.
Membenci sama sekali tak dibenarkan dalam agama. Apalagi Mama seorang yang taat beribadah. Alasan tak jelas, Mama hanya bilang tidak suka orang itu.
Banyak yang tak percaya dengan perkataan Mama. Hingga suatu saat orang itu benar-benar menunjukkan sifat aslinya. Setelah sebuah masalah terjadi, dengan terpaksa Pak RT memberikan peringatan pada orang itu. Tak lama berselang, orang itu keluar dari komplek beberapa hari setelahnya.
Beruntung dia hanya penyewa rumah, bukan pemilik rumah sesungguhnya.
Sejak saat itu pula Dirga menetapkan tipe ibunya seperti apa. Mama orang yang peka dan sigap.
Jadi tak ada yang perlu diragukan. Sekalipun Dirga tetap ragu mengingat suatu kata yang sungguh dapat membolak-balik perasaan.
Prasangka boleh kali sering tepat, tapi kenyataan kadang tak tertebak.
Begitulah yang ia takutkan.
"Mama nggak coba kenal lebih jauh saja dulu, sebelum menjodohkan kita?"
Mama menggeleng, "Kamu nggak percaya Mama? Kamu pikir Mama main-main sama perkataan Mama? Bukannya menggurui karena Mama orang tua kamu atau lahir lebih dulu dari kamu, inilah yang dinamakan insting," Jeda Mama menunjuk dada kanannya.
Dirga sangat tahu. Jantung yang berdegup berada di sebelah sana.
"Insting seorang ibu, A'. Mama mau kamu bahagia dan kita semua bahagia. Setelah kepergian Teteh kamu, hampir belasan tahun lalu, Mama jadi punya ketakutan yang sama dengan kamu." Lirih Mama membuat Dirga tak tega.
Dirga mengendus suasana tak enak dari pembicaraan ini. Mama merujuk pada kisah kelam bertahun-tahun lalu.
"Kehilangan. Walau semua manusia akan kembali pada yang maha kuasa, ketakutan benar-benar nggak akan terelakan. Mama takut A'. Mama nggak mau ditinggal sendiri lagi. Jadi, apa kamu mau menuruti permintaan Mama?" Pinta Mama lirih.
Dirga tenang ditempatnya. Dia masih tak bisa terhanyut dengan segala penjelasan Mama sebetulnya. Tapi tak ada salahnya mengamini segala hal baik yang mungkin terjadi.
Dirga mengangguk dengan cepat. Meninggalkan senyuman dari bibir ranum milik Mama.
"Ya sudah kalau menurut Mama dia orang yang tepat. Walau Aa’ ragu karena dia orang yang baru Mama temui, tapi nggak ada salahnya mencoba, kan? Pesan Aa’, baik-baiklah ketika meminta padanya ya, Ma? Dia bukan Dirga yang bisa mengerti Mama begitu saja.” Saran Dirga dengan pasrah menuruti keinginan Mama.
“Iya, A’. Mama nggak akan paksa dia jika dia nggak mau.” Ujar Mama membuat Dirga tak tega membiarkan tubuh renta itu terus merasa kesepian.
Dirga kemudian menghambur kepelukan Mama, menjadi seorang Dirgantara Mulia yang dewasa. Seorang Dirgantara Mulia yang usianya dua puluh enam tahun, bukan Dirgantara Mulia yang usianya tujuh belas tahun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Astri Astuti
semangat author
2023-02-02
0