“Bukannya tidur, malah melamun begini, Teh? Masuk kamar sana. Besok kan kamu mesti balik lagi ke Jakarta.” Suruh Emak ketika beliau tiba-tiba muncul disampingnya.
Entah kenapa Emak belum tidur juga.
“Emak nggak tidur?” Tanyanya.
Emak menggeleng.
“Aneh, malam ini emak agak susah tidur. Campur aduk perasaan hati.” Terang Emak seraya duduk disampingnya.
Nina melirik Emak dengan raut iba. Pasti beliau masih tidak menyangka jika putrinya akan segera menikah, bahkan tanpa mengatakannya lebih awal.
“Emak marah ya sama Teteh? Teteh minta maaf ya, Mak, karena nggak bicara lebih awal sama Emak dan Abah soal lamaran ini.” Sesal Nina.
Emak menggeleng pelan.
“Nggak Teh, bukan itu yang buat perasaan emak campur aduk—iya sih, sedikit emak merasa kaget dan sedih, karena teteh nggak pernah bicarakan ini sebelumnya. Tapi nggak apa-apa, karena jodoh datang darimana saja, dalam waktu yang bahkan kita nggak menyangka, termasuk berita Teteh mau dilamar. Emak bahagia jika Teteh bahagia, mungkin perasaan campur aduk ini datang karena emak nggak menyangka jika putri sulung emak akan segera menjadi istri. Emak minta maaf ya, selama kamu tinggal dan hidup sebagai anak emak, masih banyak hal yang membuat emak pada akhirnya menyesal belum pernah melakukan itu ke kamu. Contohnya saja, sampai saat ini Teteh masih harus berkuliah dengan keadaan sulit. Emak minta maaf ya, Teh.” Lirih Emak memandangnya dengan air mata yang tahu-tahu sudah mengaliri pipinya.
Nina ikut menangis seraya memeluk Emak. Suasana hatinya semakin tidak karuan setelah perkataan Emak. Dia tidak menyesal dengan pilihan ini, hanya waktu yang rasanya kurang tepat dan terlalu terburu-buru.
“Emak memang nggak berpendidikan tinggi seperti orang-orang tadi. Tapi Emak cukup mengerti kerasnya dunia ini kalau kamu mau bertanya. Jadi, selanjutnya jika ada hal apapun, tetap beritahu emak ya, Teh?” Pinta Emak dengan lirih menatap matanya. Membuat Nina makin tak kuasa menahan tangis.
“Teteh minta maaf ya, Mak. Sejujurnya ini juga mendadak untuk teteh, mungkin pertimbangan teteh yang kurang tepat, Emak jadi sedih begini. Maafkan teteh ya, Mak.”
“Emak juga minta maaf ya, Teh. Kasihan anak sulung emak, sejak kecil harus dituntut mandiri. Jangan takut menangis dan mengeluh ke emak atau Abah jika kamu ada masalah ya! Kami nggak akan marah, walau emak minta maaf karena selama ini belum bisa memberikan kebahagiaan kepada Teteh.” Emak memandangi wajah putrinya seraya mengusap wajahnya pelan.
Emak seorang pekerja keras yang sejak dulu memang anak dari keluarga sederhana. Tanpa sengaja bertemu Abah di tengah jalan, walau perbedaan usia dengan rentang yang lumayan jauh. Mereka menikah karena merasa cocok. Suka saja sudah cukup.
Kalau di tanya cinta, jawabannya milik yang maha kuasa.
Seseorang bersatu bukan karena cinta saja, begitu kata Emak. Karena jika cinta yang terbangun setelah kasih sayang dan rasa ingin saling melindungi, cenderung menimbulkan keabadian. Satu, karena itu alurnya, dua, mereka percaya eratan hubungan seseorang atas kendali kuat yang maha kuasa. Bahkan Nina juga sempat mempercayai itu kala ia berperang dengan pikirannya untuk mempertimbangkan tawaran Mama Elsa.
Maka Emak tak pernah mempermasalahkan menikah hanya karena cocok. Cinta akan datang seiring roda kehidupan yang terus berputar.
Emak hanya merasa sedih karena beliau tidak diikutsertakan dalam keputusan yang Nina buat. Beliau mengerti karena putri sulungnya itu orang yang mandiri dan teramat biasa dengan memutuskan kebanyakan hal sendirian, walau begitu, Emak berusaha memahaminya dan mengerti.
Nina memang pribadi yang mandiri, dia juga orang yang fokus sehingga selama ini ia tak pernah menjalin hubungan romantis dengan laki-laki manapun. Nina punya beberapa teman laki-laki di kampus, tapi hanya berteman karena mereka sekelas. Walau kadang diantara mereka kerap ada yang menyatakan perasaannya, Nina tak ingin meladeninya terlalu jauh, dia beralasan jika tak ingin memiliki hubungan spesial dulu, terlalu malas mengurusnya.
“Nggak, Mak. Kasih sayang Emak dan Abah sudah lebih dari cukup untuk teteh. Emak dan Abah masih mau mengusahakan untuk pendidikan anak-anaknya walau sadar kita keluarga sederhana. Teteh terima kasih sekali sama Emak, maaf karena teteh belum bisa membalas semuanya.” Lirih Nina seraya memeluk Emak dengan erat. Perempuan yang sudah melahirkan dan mengurusnya itu hampir tak pernah marah dengannya. Emak orang yang sabar.
Walau mereka hanya keluarga sederhana, tapi sebagai anak, Nina selalu merasa jika ia tak pernah kekurangan kasih sayang keduanya. Hal itu pula yang ia harapkan dari Mama Elsa ketika permintaan beliau hari itu pada akhirnya coba ia pertimbangkan.
Karena beliau menunjukkan kasih saya seorang ibu.
...-...
Sejak pagi laki-laki itu sudah sibuk dengan keperluan yang akan ia bawa pergi bekerja hari ini. Dia, Dirga, sudah rapi dengan setelan kerjanya beserta koper besar yang ia tarik keluar kamar. Harum makanan langsung menyeruak masuk ke hidung ketika langkahnya mendekati dapur. Ada punggung ber-apron di balik kompor. Mama terlihat bahagia menyambut hari ini.
“Bu haji, kopinya satu ya.” Seru Dirga berkelakar pada Mama disana, sambil duduk di meja makan.
Orang tua perempuannya itu hanya berdecak. Mama tak berusaha membuat susana menjadi jelek dengan meledek Dirga seperti biasanya.
“Siap calon manten,” Balas Mama berkelakar.
Dirga hanya terkekeh tanpa balasan lagi, matanya beralih fokus pada
Melihat-lihat banyak pesan yang rata-rata berasal dari banyak grup yang nama-namanya saja Dirga tak paham apa maksudnya.
Kebanyakan grup angkatan, organisasi dan—entahlah, terlalu banyak grup hingga menumpuk, membuat Dirga sulit mencari pesan pribadi yang masuk.
“Kamu berangkat sekarang, A’? Nggak lebih lama lagi saja disininya?” Tanya Mama kembali membuka pembicaraan. Mama meletakan kopi hitam tanpa gulanya diatas meja seperti biasa.
“Nggak apa-apa ya, Ma? Supaya Aa’ bisa ambil cuti menikah, nanti. Ini sebetulnya rekap cuti-cuti sebelumnya, tapi tetap beda sama cuti menikah.” Ujarnya tenang sambil menyesap kopinya.
“Ya sudah, Mama mengerti. Sehat-sehat ya, A’. Jangan lupa sholat dan makan yang teratur,” Pinta Mama mengingatkannya untuk selau dalam kondisi yang baik.
“Amin … doakan Aa’ selalu ya, Ma.” Balas Dirga.
Mama mengangguk, kemudian mengambil posisi didepan kursi yang Dirga duduki.
“Kayaknya kamu sudah yakin ya, A’ dengan lamaran kita minggu lalu. Semoga ini keputusan yang tepat untuk masa depan kamu ya, A’ … Mama sangat berharap jika ini yang terakhir, sehingga kamu nggak perlu lebih lama lagi mencari pasangan yang nggak tahu kapannya itu.” Tambah Mama. Lebih terdengar seperti sebuah keluhan, dibandingkan dengan harapan.
Dirga tertawa menanggapi perkataan Mamanya.
“Aa’ pasrahkan semuanya sama yang maha kuasa, Ma. Terlebih Mama juga cocok sama dia, dan … ya, sisanya lihat nanti.” Ujar Dirga.
Mama tersenyum senang mendapat sambutan baik dari putranya.
“Menurut kamu, Nina cantik nggak? Cantik kan, A’? Lembut orangnya, rajin juga kan saat disana?” Tanya Mama bertubi.
Entahlah, memang semua yang Mama katakan ada benarnya. Perempuan itu orang yang tampaknya rajin, terlihat berbeda dengan orang yang tidak terbiasa dengan hal-hal seperti menyajikan minum, merapihkan barang-barang, memasak camilan. Lainnya … ya, dia memang cukup menarik—maksudnya, dirinya merasa memiliki ketertarikan secara visual dengan perempuan itu, tapi tak tahu dengan yang lainnya.
Apalagi menyangkut perasaan.
Dirinya juga manusia, jika ada yang melupakan hal itu. Memang, bagi sebagian pria, hal-hal yang menyangkut diri mereka kerap dikaitkan dengan ‘sekadar kebutuhan, tanpa pandang bulu’, tapi pada perkara ini adalah pernikahan. Sebuah ikatan yang berujung pada sehidup semati—jika tidak ada masalah yang menimpa—sehingga kedua orang yang bersatu itu akan saling beradaptasi pada satu sama lain, kemudian berikatan.
Dirga tidak menampik jika dia menyukai seseorang, memang akan dimulai lewat visualnya, tapi jika kepribadiannya kurang mengenakkan, ia harus bisa berbesar hati atau justru merelakannya untuk kepentingan perasaannya. Apalagi jika itu berkaitan dengan cinta.
Kisah cintanya pahit, karena kalah start. Dia juga nggak memiliki banyak pengalaman cinta, karena semasa remaja dulu tak terlalu memikirkan soal pasangan.
Karena itu, Dirga jadi sangsi kalau-kalau perempuan itu membutuhkan cintanya, dia tidak bisa memberikannya—well, kita lihat nanti.
“Alhamdulillah … Kamu akhirnya nikah juga, A' …” Ujar Mama,memandangnya dengan berbinar.
“Tinggal disini saja, kan setelah menikah? Mama nggak mau sendiri.” Tawar Mama.
“Lihat nanti Ma.” Katanya tak ingin ambil pusing.
Mama memilih tak membahasnya lagi, beliau mengerti situasi dimana Dirga tidak bisa ditekan lagi dengan urusan sepele seperti tempat tingga. Cukup sudah permintaan untuk menikah, akhirnya dikabulkan Dirga.
“Sepuluh menit lagi Aa’ berangkat ya, Ma. Sampai bertemu tiga hari kedepan, insyaAllah Aa’ sekarang nggak balik ke kost lagi. Pulang ke rumah saja sama Mama, walau ya … agak jauh sih dari mess.” Terangnya, mengingat pesan yang ia kirimkan pada Firdaus semalam tentang keinginannya untuk keluar dari kost yang selama ini ia tempati ketika menghindari Mama.
“Ya sudah, terima kasih ya, A’ sudah mau mendengarkan keinginan Mama. Semoga Aa’ ikhlas, pernikahan kamu nantinya juga barokah. Amin.”
“Amin, Ma. Terima kasih juga ya …”
Mengingat jika selama ini ternyata ia menghindari Mama dengan memilih tinggal di kost, membuat Dirga merasa konyol.
Selama ini dia benar-benar kekanakan.
Dasar dirinya …
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Astri Astuti
MasyaAllah
2023-02-02
0