Mereka akan segera menikah, dan segala hal terakit orang yang sudah menikah harus mulai Dirga bayangkan. Contohnya soal hal-hal yang berkaitan dengan hubungan emosional, dan kebutuhan biologis. Dirga tak akan munafik jika nantinya dia membutuhkan itu. Tentunya dengan cara yang baik.
Walau sekarang, rasanya konyol jika Dirga lebih memikirkan soal itu dibandingkan lancarnya jalan menuju pernikahannya yang setengah terpaksa ini.
Atau hanya tiga puluh persen terpaksa? Karena diam-diam Dirga mengagumi paras ayu Nina ketika ia tersenyum tadi.
Suara Mama yang mengetuk pintu membuyarkan lamunannya. Panggilan dari luar membuatnya membuka pintu, lantas keluar dari kamar menuju arah suara itu dari dapur.
Setibanya disana, Dirga memperhatikan beberapa bentuk kukis yang sudah Mama dan perempuan itu buat.
Bagaimana bisa mereka membuat semua ini hanya dalam hitungan jam saja?
“Sini deh, A’, cobain kukis buatan kita.” Ajak Mama membuatnya bergerak mendekat dengan stoples-stoples yang disusun diatas meja marmer.
"Beda nggak rasanya sama buatan Mama biasanya? Ini nggak hanya dibuat dengan cinta loh, A', tapi juga kasih sayang." Kelakar Mama ketika Dirga memasukkan sepotong kukis berbentuk segi empat kedalam mulutnya.
“Enak kok, sama saja seperti yang Mama selalu buat.” Responnya singkat.
“Rencananya Mama mau mengirimkan juga ke orang tuanya Nina di kampung.” Terang Mama.
Nina buru-buru menolak dengan halus.
“Eh ... nggak usah, Ma. Nggak apa-apa buat disini saja, takutnya Kak Dirga nanti kurang.” Tolak Nina seraya melirik Dirga yang telah mengambil potongan kedua kukis di depannya.
“Nggak apa-apa, Neng. Ini sih banyak, nanti juga Mama bisa buat lagi. Nanti Nina tolong antar ke pengiriman ya, tapi mama pack rapih dulu sebelum dibawa.” Balas Mama membuat Nina menyerah. Setelahnya Nina hanya bisa menghela napas dan mengiyakannya saja.
“Nggak apa-apa, saya nggak banyak makan manis kok, tapi yang ini enak.” Timpal Dirga membuat Mama tersenyum senang.
“Bagus kalau kamu senang, A’.” Ujar Mama. Kini perempuan kesayangan Dirga itu menatap calon menantunya.
“Nanti kalau kalian tinggal sendiri, sering-sering coba resep Mama, ya, Nin." Ujar Mama spontan.
Dirga tahu-tahu tersedak mendengar perkataan Mama. Nina refleks menatapnya dengan tanya.
“K-kalau mau kukis begini, ya tinggal datang ke Mama, lah. Ngapain buat sendiri?” Elaknya.
Mama menggeleng.
“Nggak, Nina juga jago kok buatnya. Mama juga sudah kasih tahu resepnya, nanti buat sendiri. Ya ... kalau-kalau kalian tinggalnya pisah sama Mama. Tapi Mama sih maunya nanti disini saja ya, Nin.”
“Nina terserah Kak Dirga saja.” Jawab Nina sekenanya.
Dirga melirik Nina sekilas, kemudian bergantian dengan Mama.
“Lihat nanti saja lah, Ma. Kan mintanya Mama setelah ini kita disini dulu, kan? Aa’ belum ada backup plan untuk tempat tinggal.” Terang Dirga.
Dia memang belum memikirkan untuk tinggal dimana setelah menikah nanti—er ... tiba-tiba ia juga memikirkan akan menempati ranjang bersama orang lain—tak munafik, Dirga sebagai laki-laki dewasa dan normalnya membayangkan seorang perempuan bisa menemani harinya, tentu berkeinginan seperti ini. Tapi setelah mengingat bahwa ia masih akan menepati rumah Mama nanti, agaknya ia masih harus lebih menjaga ‘keadaan’ jika tak ingin malu.
Itu pun jika Nina bersedia ‘segera’.
Mikir lo kejauhan, Dir. Pikirnya ricuh.
“Bagus deh kalau begitu. Nggak apa-apa ya, Nin? Oh ya, panggil Aa’ saja ya nanti, jangan Kakak. Lagipula Dirga bukan kakak kamu, takutnya orang salah kira. Tapi terserah sih mau panggil sayang-“
“Mama!” Potong Dirga menahan Mama berbicara terlalu dalam.
Nina diam-diam melirik Dirga yang terlihat panik. Wajahnya sangat lucu ketika mendengar Mama mengucapkan kata ‘sayang’ untuk memberitahu Nina soal panggilan yang bisa ia gunakan pada Dirga.
Mama hanya tertawa dan meresponnya dengan santai.
“Oke terserah kalian nanti. Oh ya, Mama lupa kasih tahu juga. Semalam, Mbak Ila dari pihak butik tempat Mama pesan baju pernikahan kalian, minta konfirmasi konsep baju pengantin yang diinginkan. Berhubung waktu Mama menghubungi Nina, kamu nggak meminta yang repot ya, mangkanya mereka kasih beberapa contoh. Kalian lihat nanti, ya?” Terang Mama menatap Nina dan Dirga bergantian.
“Boleh, Ma. Kapan?”
“Lusa kali ya? Setelah jadwal kamu. Besok kan kamu sudah kembali kerja lagi, A’. Takutnya mepet waktu, belum lagi ini kita masih repot masak begini. Ya? Bagaimana, Nin?”
Nina mengangguk pelan.
“Boleh, Ma. Nina bisa saja insyaAllah.”
“Ya sudau kalau kalian menyanggupi. Nanti Mama hubungi Mbak Ila-nya. Kalian berangkat berdua saja ya? Sekalian mendekatkan diri. Oh sama satu lagi, persiapan gedung dan makanan sudah hampir tujuh puluh persen. Mama juga sudah mau cetak undangan untuk pihak orang tua Nina dan Mama sendiri. Kalau teman-teman kalian kayaknya nanti pakai undangan online saja, ya?”
“Sudah cetak undangan saja, Ma. Buru-buru betul, sih? Berkasnya kan baru dikumpulkan ke Mama rencananya besok.”
“Nina sudah siapkan berkasnya duluan, kamu yang telat, A’! Mama sudah kasih tahu Om Irfin untuk berkas kalian agar lebih cepat diurus. Rencananya tanggal dua puluh enam bulan depan. Sudah mengurus cuti kan, A’?” Tanya Mama santai.
Dirga mengernyitkan alisnya.
“Dua puluh enam bulan depan ... apa nggak terlalu cepat, Ma?” Tanya Nina hati-hati.
Dirga meliriknya sekilas. Memberi tatapan bertanya, yang dibalas Nina dengan gelengan kecil.
“Mau kapan memangnya? Lebih cepat lebih baik. Mama juga sudah bilang ke Emak dan Abah Nina kok. Mungkin mereka belum kasih tahu kamu ya, Nak? Nggak apa-apa ya, sekarang sudah tahu.”
“Tapi, Ma ... Aa’ harus izin cuti menikah. Nggak bisa mepet begini.” Protes Dirga.
“Sudah tahu kan sekarang? Ya sok, segera urus izin cuti kamu, A’, supaya cepat di respon.”
Mama menatap Nina yang terdiam, sedang perempuan itu sesekali melirik Dirga dan Mama bergantian.
“Ya sudah kalau begitu. Urusan pernikahan clear, ya? Yuk Nin, kita lanjut packing. Habis ini tolong bantu Mama bawa sampah keluar ya, A’.” Pinta Mama kemudian menggandeng Nina berlalu dari hadapan laki-laki itu. Nina yang digandeng Mama sempat melirik kebelakang, dimana Dirga masih berdiri ditempatnya. Melihat raut kagetnya yang membuat Nina sedikit tak nyaman.
Entah apa yang Dirga pikirkan saat ini. Nina memang kaget, tapi bukan masalah baginya karena ia tak perlu cuti, mungkin hanya izin kepada pembimbing untuk tidak mengikuti bimbingan di hari pernikahannya. Lain hal dengan Dirga yang bekerja rutin, tentu ini sesuatu yang agak sulit untuknya.
Setelah Mama dan Nina tak lagi terdeteksi radarnya, Dirga menyugar rambutnya dengan jari. Ia tiba-tiba merasa lelah dengan semua yang Mama ungkapkan sejak tadi. Kenapa serba cepat dan mendadak, sih? Seharusnya Mama mendiskusikannya bersama, ‘kan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Astri Astuti
æmazing
2023-02-02
0