Dirga meneguk susu pemberian Rehan, setibanya ia di rumah sahabatnya sejak sekolah menengah atas itu. Selepas mengantar Nina beberapa jam lalu, disinilah ia berakhir. Menduduki kediaman seorang jomblo yang sama-sama menghadapi problematika diminta segera menikah oleh orang tua.
Rehan adalah yang tertua diantara teman dekatnya. Berikutnya ada Saiful, baru setelah itu Wahda. Mereka sangat dekat walau sudah memiliki jalan masing-masing dalam dunia kerja. Jam bertemu yang menipis tak membuat ketiganya memutus kotak begitu saja, apalagi Rehan sama-sama belum menikah seperti dirinya.
Sehingga Dirga memilih Rehan untuk sekadar mencurahkan permasalahan dirinya.
“... Bagus sih menurut gue, Dir. Lebih cepat, lebih baik. Supaya lo bisa ada yang urus juga, jadi lebih cepat bisa belajar bertanggung jawab, kan?” Respon Rehan setelah Dirga membicarakan soal perkataan Mama terkait tanggal pernikahannya dengan Nina. Entah kemana datangnya pikiran untuk mampir kerumah Rehan yang punya jarak cukup jauh dari rumahnya. Dirga hanya ingin membagi pikirannya dengan seseorang yang mengerti.
“Kalau soal diurus sih gue nggak perlu, toh sehari-hari pun gue nggak minta Mama cucikan baju, gue tetap loundry sendiri. Tapi ... ya itu, masalah waktu yang menurut gue agak terburu-buru. Gue nggak ada masalah sama Nina-nya sendiri,. Perkaranya, Mama itu seolah mengatur semuanya. Padahal gue yang akan menikah, tapi beliau bahkan nggak bahas kapan tanggalnya sama gue. Well, gue agak kecewa soal itu, tapi ada benarnya juga perkataan lo. Seharusnya sih lebih cepat, ya lebih baik. Tapi menurut gue ini agak terburu-buru. Berkaitan juga sama izin kerja, kan?” Terang Dirga, membuat Rehan mengangguk setuju.
Diteguknya lagi susu stroberi pemberian Rehan. Keluhannya itu berdasar pada info yang Mama berikan tadi siang. Dirga memang akan tetap menikahi Nina, tapi dia berharap memiliki waktu lebih banyak untuk saling tahu soal masing-masing.
Hanya itu niatnya.
“Betul, Dir. Gue paham, tapi ya sudah sih kata gue mah. Sudah ada yang atur, lo tinggal sisa urus cuti, clear. Berapapun jumlah hari libur yang dikasih, intinya bagaimana lo bisa dengan baik memanfaatkan keadaan untuk bersenang-senang sebagai pengantin baru.” Seloroh Rehan diselingi tawa, membuat Dirga memukul bahunya keras.
“Sialan! Gue nggak berpikir kearah sana, cuy! Perkara gue cuma karena pengin lebih tahu dia dulu.” Elak Dirga kesal.
“Trus kalau sudah tahu, lo nggak suka, mau lo gagalkan rencana pernikahan ini? Jangan cari jalan sendiri untuk bunuh diri, Dir. Syukur-syukur sudah ada calon. Lah, gue? Always empty box! Nggak pernah terisi ini kotak cinta dihati gue.”
“Lo pro Mama banget, ya?” Selidik Dirga membuat laki-laki di depannya menggeleng seraya meledek.
“Nggak lah, bukan perkara pro. Tapi menurut gue ada baiknya juga, Dir. Ambil hikmahnya saja, lah.”
“Iya sih … ya sudah lah, mau bagaimana lagi. Gue hanya mau Mama senang, bukanya gue nggak senang, hanya masalah waktu saja sih.” Pasrah Dirga mengiyakan pendapat Rehan.
“Ya sudah, Dir … bawa santai saja. Banyak hal yang justru bisa lebih tenang dilakukan kalau sudah menikah. Supaya nggak menambah dosa juga. Memangnya sedang ada yang lo khawatirkan?” Tanya Rehan.
Dirga menggeleng. Dia hanya sekilas terpikirkan masalah Novia hari itu. Walau tak terlalu ingin ambil peduli, dia diam-diam merefleksikan keadaan yang terjadi padanya jika nanti dia bisa saja melakukan seperti apa yang dilakukan suami Novia.
“Nggak ada, semuanya lancar saja.”
“Ya sudah, bawa enjoy saja, Dir.”
“Iya … Lo sendiri, bagaimana cara menyelesaikan perkara hati?”
“Gue? Belum tahu, belum ada yang cocok dan belum ada yang membuat gue merasa ingin menghabiskan masa tua bersamanya.” Ujar Rehan sok melankolis.
Dirga berdecak.
“Lo menunggu tua apa bagaimana? Bukannya lo punya banyak gebetan, Han? Nanti punya anak keburu tua kalau nggak dicari loh, Han.” Ledek Dirga membuat Rehan mendelik sengit.
“Eh, jangan asal ngomong, lo! Walau nggak sixpack kayak si Saiful, badan gue insyaAllah selalu fit. Dah lah, urus masalah sendiri saja, Dir! Gue menyusul saja dah, biar kalian duluan saja.” Sewot Rehan membuat Dirga tertawa.
“Iya deh, terserah antum.”
Rehan hanya terkekeh.
“Oh ya Han, si Wahda kapan lahiran?” Tanya Dirga tiba-tiba mengingat sahabat wanita satu-satunya yang telah menikah, Wahda.
Rehan mengeluarkan jarinya dari lubang hidungnya.
“Mungkin dua bulan lagi. Sudah tujuh bulan waktu gue tanya hari itu.”
Dirga mengangguk.
Dia tersenyum kecil dalam hati. Ingatannya tiba-tiba melayang pada saat mereka masing-masing masih berada dibangku sekolah.
“Lo ingat nggak dulu, saat si Wahda loncat pagar? Nggak kayak cewek sumpah. Tapi pahanya mulus, njir.”
Rehan tertawa ngakak.
“Iya, ingat saja lo! Gue bahkan sampai ngiler loh! Padahal seingat gue Wahda nggak pernah perawatan apa-apa, ya. Emaknya memang se-sayang itu sama dia.”
“Iya betul, beruntung juga dia dapat suami dokter. Walau nggak jadi sama gue, suaminya juga tetap ganteng, tajir melintir pula.” Puji Dirga mengingat suami sahabatnya itu.
Rehan tertawa terbahak ditempatnya.
“Lo mengakui ketampanan si Gibran? Damn, lo sebelas dua belas lah sama dia.” Canda Rehan.
“Duabelas dia, sebelas gue ya, Han?” Ledek Dirga.
“As you wish, my man!”
Keduanya tertawa terbahak mengingat masa lalu yang indah.
Masa muda memang tak akan pernah menjadi memori yang buruk. Dirga merindukan itu, ketika masa dimana dia menjadi orang yang bebas tanpa perlu memikirkan banyak hal.
Termasuk mempertanggungjawabkan hidup orang lain seperti yang akan ia hadapi setelah menjadi suami nantinya. Walau Dirga yakin, dia akan berusaha untuk melakukan yang terbaik.
-
Nina mengusap keringat yang membanjir di dahinya setelah semalaman ini ia mengurusi kelanjutan skripsinya yang mangkrak. Kemarin ia mengambil izin cuti bekerja pada Bu Lilis setelah dapat panggilan bimbingan seharian penuh karena skripsinya bermasalah, begitupun hari ini ketika Mama megatakan jika beliau ingin ia datang kerumahnya. Tapi mau bagaimana lagi, Nina tak bisa menunda penyelesaian skripsinya jika ia tak ingin harus membayar tambahan biaya semester yang hanya di cover beasiswanya hingga semester delapan. Sementara ia juga bingung jika menolak permintaan Mama pagi tadi, karena menurut beliau akan ada yang dibahas, terutama terkait perisapan pernikahan.
Sebetulnya ia berkeinginan untuk berhenti bekerja setelah semua yang berlalu belakangan. Jika mengingat awal pertemuannya dengan Bu Lilis, Nina selalu ingin tertawa. Bahkan ketika itu ia tak terpikir untuk bekerja, apalagi pada akhirnya harus berhenti bekerja karena akan segera menikah. Sungguh, Nina merasa dilema, dia takut jika menjadi orang yang tidak amanah, sementara maksudnya baik.
Nina harus membicarakan ini dengan Bu Lilis besok.
Ditariknya handuk yang menggantung di balik pintu kamar, lantas keluar dari sana menuju kamar mandi. Kepalanya sudah mengebul, Nina harus mandi walau ini sudah malam!
Tidak ada kamar mandi di kamarnya. Kost ini bukan sebuah flat mewah yang diisi berbagai prabot mahal. Hanya kostan yang cocok dikantong mahasiswa saja.
Lima belas menit Nina keluar kamar mandi. Mengecek ponselnya sejenak, sebelum memilih merehatkan diri dengan terlelap beberapa waktu. Mungkin lelahnya bisa terbayar untuk esok hari. Apalagi dia belum menemukan bahan materi lain untuk penyelesaian skripsinya.
Mengingat pembicaraannya dengan Dirga tadi, Nina merasa semakin yakin. Walau keyakinannya ini hanya dilandasi kepercayaan semata, sebab Dirga seolah mau menerima kehadirannya.
Dirga mau tak mau harus menerima dirinya, karena Nina bukan semata-mata orang yang tak berharga. Bukan sombong, Nina cukup mumpuni sebagai calon istri. Dia bisa melakukan banyak hal yang berkaitan dengan pengurusan rumah, pendidikannya juga baik, sehingga Nina harus pecaya diri.
Ya … dia harus percaya diri, selain percaya pada Dirga yang akan menemani sisa hidupnya sebagai pasangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Astri Astuti
hebat
2023-02-02
0