Sinar matahari belum menyentuh bumi, terlalu dini untuk sekadar membangunkan diri, tapi seorang Dirgantara Mulia Radjasa justru sudah terjaga diposisinya. Suatu tempat yang juga dianggap sebagai persinggahan sementara, sebuah stasiun besar disalah satu kota.
Melirik jam tangannya sekilas, waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Kurang lebih sepuluh menit sejak ia menyelesaikan shift kerjanya hari ini. Laki-laki itu masih belum beranjak juga dari tempatnya, memandangi kesunyian dalam gelap.
“Belum balik, Dir?” Tanya seseorang mendekatinya dalam diam.
Dirga melirik kearah Firdaus yang berdiri dalam jarak dua meter darinya.
"Belum, lo duluan saja." Responnya singkat.
“Lo nggak mungkin menunggu seseorang di jam tiga pagi ini, ‘kan?” Tanya Firdaus retorik.
“Nggak, cuma belum pengin buru-buru balik.” Jawab Dirga cuek.
“Idih, dasar ayam! Ya sudah, gue duluan!”
Setelah merasa di acuhkan, lelaki bertopi hitam itu memberi salam lalu berlalu dari hadapan rekan kerjanya tersebut.
Keduanya memang dekat, maka ketika Dirga terkesan mengacuhkannya, Firdaus tak berusaha mengambil hati. Mungkin Dirga tengah memiliki masalah, pikirnya.
Begitulah kondisinya saat ini. Dari jutaan masyarakat dunia, Dirga adalah salah satu dari sekian banyak orang yang terkadang lelah dengan kehidupan. Hidup memang untuk dijalani dan diserap positifnya, bukan hanya untuk dikeluhkan. Walau kali ini keadaan dan situasi benar-benar tak bisa dikatakan baik.
Umur yang bertambah banyak, tak serta merta menambah kesabaran jiwa. Belum lagi perkara kocek yang mulai dalam.
Entah atau hanya Dirga yang terlalu berlebihan, tapi diantara seluruh hal yang memenuhi pikirannya, ada satu yang sangat mempengaruhi kondisi hatinya juga.
Disebut sebagai sindrom mama minta menantu.
Ciri-cirinya terlihat ketika usia sudah melewati angka dua-puluh-lima dan tabungan sebanyak dua digit lebih.
Menurut beberapa orang yang ia temui, hal ini memang mengganggu, walau masih bisa diimbangi dengan sikap independent dan stable financial. Terkecuali satu hal yang belum tentu sama dengan orang lain, Dirga hanya memiliki Mama dalam hidupnya.
Hampir beberapa bulan ini Mama kerap kali memojokkan dirinya dengan terror mengerikan tentang pernikahan. Siapa yang tidak geger jika akan selalu ada pesan pada jam tujuh pagi, diawali dengan bentuk teks kurang lebih seperti; ‘Assalamualaikum calon ayah?’ lalu akan ada pesan berikutnya di hari lain yang berkesinambungan, ‘apa kabar calon kepala keluarga?’.
Akhirnya ia hanya bisa bergidik ngeri, mengucap dalam hati sambil merapalkan doa terbaik agar semua pembuka berjenis sama pada setiap pesan itu berhenti. Paling tidak, satu hari-serius! Satu hari pun Dirga akan sangat bersyukur!
Mama benar-benar gencar memperingatinya untuk cepat membawa calon ke hadapan beliau. Bahkan ancaman lain datang, jika tak ingin dibawa ke kampung untuk dinikahkan dengan bunga desa, lalu meneruskan usaha kelapa sawit Mama disana. Tentu, siapapun tak akan menolak bunga desa apalagi parasnya benar-benar tak diragukan hampir satu desa.
Masalahnya, untuk apa susah-susah mengejar cita-cita sebagai seorang Masinis, jika dirinya hanya berakhir kipasan di depan hamparan sawah, sambil menunggu waktu petang tiba? Memantau kebun dan pekerja, terus begitu hingga berakhir kehadapan sang pencipta bila ajal sudah tiba. Dirga bergidik memikirkannya-bukan bermaksud merendahkan suatu profesi. Menjadi petani itu tidak salah, tapi bukan impiannya untuk berakhir seperti itu.
Sudah tiga tahun-berjalan empat tahun-belakangan ia menyandang status masinis di PT.KAI Commuter Indonesia.
Meneruskan ke sekolah dinas masinis, itulah cita-citanya yang tercapai. Walau tak mudah, Dirga cukup puas dengan hasilnya. Terlebih ia bisa punya banyak pengalaman berinteraksi dengan orang lain yang jauh lebih luas, baik dari internal kantornya atau para penumpang.
Dia bangga, tapi Mama masih tak cukup dengan goalsnya kali ini.
Mama memang selalu sendiri sejak memutuskan berpisah dengan Papa. Entah bagaimana kabar laki-laki paruh baya yang hampir Dirga lupa namanya itu. Banyak hal yang terjadi sebelum ini, sehingga siapapun yang melihat ia bertatap muka dengan sang Papa pasti tahu jika diantara mereka memang tak baik-baik saja. Lantaran tak kuat menanggung sakit, Dirga jadi harus melupakan satu figur penting dalam keluarganya. Bertahun-tahun dengan senyum kepalsuan ketika mendengar seseorang bertanya soal laki-laki itu. Ia tak butuh seseorang itu lagi, cukup dengan senyum Mama tiap menyambutnya pulang dia sudah sangat bahagia.
Mama orang satu-satunya yang bisa ia banggakan dan buat bahagia selama ini, tapi apakah salah kalau ia benar-benar belum bisa memberikan teman berbincang yang setipe untuk Mama?
Dia masih dua puluh enam tahun, berdompet tebal, dan tentunya masih tergolong muda!
Tapi Mama-nya agaknya belum merasa puas ketika disinggung soal dompet tebal, karena beliau mengaku lebih puas ketika menatap dua ciptaan tuhan yang berdiri bersanding di atas pelaminan-tentunya Dirga and his future wife!
Sebelum Dirga, Mama pernah hampir merasakan bahagia ketika menyaksikan anaknya bersanding dengan orang lain di pelaminan-ketika kenangan itu muncul dalam pikirannya, beliau hanya bisa menangis. Kisah yang nyatanya berakhir buruk itu.
Kakak perempuannya yang pergi untuk selamanya, satu hari sebelum hari pernikahan keduanya-ia dan calon suaminya. Dirga masih kecil saat itu, sekolah menengah pertama kalau tidak salah. Sejak itu pula Dirga dan Mama menjadi dua orang yang tersisa dirumah, setelah satu per satu rajutan kisah-kasih yang dibuat orang-orang rumah, perlahan menghilang.
Dirga perlu membahagiakan Mama. Tapi egonya juga tak pandang bulu. Dia terlalu kaku dengan keputusannya. Mencari, atau tentukan keinginan Mama dengan pilihan beliau sendiri.
"Mulia! Lo nggak pulang?" Seseorang berseru dari jarak dekat. Novia menarik kopernya dengan langkah besar-besar. Gadis tinggi itu mendekatinya dengan senyum sumringah. Kepalanya terbalut jilbab rapih yang terkadang membuat Dirga ngeri sendiri-sebab banyaknya peniti disana.
Novia namanya, cantik, pintar dan begitu semampai-tapi sayang, sudah taken.
"Belum, Vi." balas Dirga tak menatap Novia disampingnya.
Pandangan masing-masing jatuh pada rel kereta yang kian menghitam tergerus waktu.
"Lo sedang menunggu apa sih, Mul? Jangan bilang gue?" Ejek Novia sambil menepuk bahunya pelan. Sudah gila Novia kalau bahas-bahas yang lalu. Dirga memang standar sifatnya, walau sedikit lebih jika menyoal pada perasaan-dia laki-laki 'baper'.
"Idih, percaya diri betul! Kan sudah taken juga lo sama kapten Muh." Elak Dirga, menambahkan candaan yang dibalas tawa ejekan dari Novia.
Bukan tak pernah merasakan kisah cinta, Dirga hanya manusia biasa dan lelaki biasa yang tetap lurus pada kodratnya; menyukai, mencintai wanita, itulah kodrat lelaki dan tentunya mutlak.
Dia pernah menyukai Novia sebagaimana laki-laki kepada perempuan. Dia tahu Novia orang yang sedikit susah didekati dalam konteks yang lebih pribadi. Tapi mencoba tak pernah salah, hingga datang saatnya ia bertekad besar untuk menyatakan cintanya pada Novia.
Belum ada maksud apapun dari niatannya saat itu, entah pacaran atau melamar, yang jelas Dirga hanya bermaksud menyatakannya. Dia lontarkan kata suka pada Novia yang kemudian berakhir pada penolakan halus dengan alasan taken. Ya, Novia sudah keburu dilamar oleh salah satu kapten maskapai penerbangan komersil milik negara. Kemudian mereka menikah dua bulan setelahnya.
Kejadian yang hampir berlalu satu tahun
lamanya.
Jujur, Dirga bukan tipe yang benar-benar cepat menyukai seseorang. Sejak masa sekolah dulu, dirinya hanya suka atau lebih kepada kagum pada beberapa wanita, karena dia pikir wanita-wanita tersebut benar-benar cerminan wanita kartini.
Mandiri, hebat dan cerdas dalam satu tangkapan kata. Sehingga ekaguman itu menjadi landasan-tipe ideal-Dirga hingga kini.
Wanita Kartini.
Dia suka dengan tipe wanita seperti itu. Sejauh ini belum ada yang cocok dengannya, tidak sebelum kehadiran Novia. Dia gadis pertama yang merebut hatinya diam-diam. Tapi mau bagaimana, cepatnya manusia bertindak tak secepat kijang berlari. Berpikir tak secepat hanya menghitung dengan jari. Maka yang terpenting adalah kematangan dari macam sisi.
Hingga matang itu akhirnya overcook, karena penolakan akibat telat mencolong sang gadis, yang kemudian berakhir pada kasus baper tingkat tinggi hingga sakit satu hari. Reaksi berlebihan yang mula-mula dapat memunculkan ke-akutan tingkat tinggi.
Dirga jadi bergidik memikirkan dirinya saat itu. Untung Novia tidak tahu.
Suasana berubah sedikit ramai karena para shifter-tim pengganti jam kerja-berdatangan menggantikan jadwal sebelumnya. Ada junior yang masih trainee, ada atasan, ada petinggi sampai seangkatan yang datang menyapa melewati mereka dengan salam bak satuan pengamanan Negara.
Hormat tangan di alis.
Keduanya berangsur larut pada suasana resmi seperti sekarang. Melupakan ejekan yang menguak kembali luka lama dengan tema cinta bertepuk sebelah tangan. Terlalu melankolis hingga Firdaus kadang menganggap Dirga itu drama queen, alias manusia penuh kesedihan seperti di drama.
"Ya sudah gue duluan, Dir." Pamit Novia ketika dilihatnya kondisi sekitar berangsur ramai. Semua yang datang menggantikan shift satu per satu berkumpul di ruangan untuk briefing. Novia undur dari hadapan Dirga, menyisakan kesendirian dan kepahitan akan kehidupan jomblo yang bila di ratap, tingkat ke baperannya mulai tinggi.
Mama, please jangan terror aku dengan menantu, sementara cintaku ini masih tak menentu, jeritnya dalam hati.
Pagi hari setelah tiba di rumah, Dirga keluar kamar dan menemukan pemandangan Mama yang tengah memasak banyak makanan.
Ia merasa tak habis pikir ketika memperhatikan beliau menyiapkan semua makanan yang menghabiskannya saja tak sampai lima menit, tapi membuatnya bisa lebih dari lima jam.
Melirik cermin di dekat buffet, pantulan dirinya sudah tampak bak zombie. Mata penuh kantung dengan kulit yang sudah tidak semulus dulu.
Kalau kata Wahda-sahabatnya semasa sekolah, wajahnya dulu sangat berbeda dengan sekarang. Dirga yang lalu, benar-benar berkulit seperti pantat bayi. Bukan tanpa alasan, banyaknya bahan pelembut untuk anak dan wajah, benar-benar jatuh secara instan kepadanya.
Mama benar-benar memprioritaskan Dirga setelah sang kakak tiada. Semua bahan kecantikan milik perempuan, lotion, dan bau-bauan juga pembersih lain, jadi jatuh padanya hingga Wahda menyebutnya tumbal keberuntungan.
Menghasilkan paras tampan dengan wajah ala artis korea yang manis.
Walau tak lagi berlaku untuk sekarang. Dirga kembali menjadi dirinya dengan kulit sedikit gelap, dan cambang yang tercukur rapi.
"Kamu jangan lihat Mama kayak setan gitu deh, A'. Cuci muka sana!" Suruh Mama meradar atensinya.
"Sudah cuci muka, ini. Masa Mama nggak lihat anaknya ganteng begini, sih?" Elaknya bergerak dengan rasa bosan, maju mendekati meja makan.
Duduk sambil minum kopi agaknya lebih baik.
Dirga pulang sore, kemarin, karena moodnya hancur setelah pertemuan paling dihindari dengan Novia benar-benar terjadi. Masa bodo lah sama waktu libur yang singkat.
Keluar dari area stasiun, tak langsung menuju rumah, ia memilih memutari kota Jakarta menggunakan motor besarnya sampai panggilan sholat subuh menghentikan kegiatannya.
Dilaksanakanlah kewajibannya pada sang pencipta sebelum memulai hari-harinya kembali.
Selesai sholat, ia tak langsung pulang. Dirga lebih memilih mampir ketempat-tempat yang menurutnya menyenangkan. Membawa dirinya beserta beberapa hadiah untuk ia berikan pada anak-anak kurang beruntung diluar sana. Terlalu banyak yang kurang beruntung, sementara yang beruntung pun tak kalah banyaknya. Dunia hampir menjadi dua kubu dengan si miskin dan si kaya yang punya tingkatan sama.
Kadang, Dirga berpikir kesenangannya sejak masih sekolah ini dianggap aneh oleh segelintir orang. Walau ia sebetulnya tak perlu repot-repot mengurusi orang lain, yang nyatanya sama sekali tak peduli dengan orang-orang itu.
Biarlah, Dirga enggan mengomentari lebih. Mereka biarlah mereka, dirinya tak boleh diganggu gugat.
Baru sekitar jam empat sore dia pulang kerumah dan menerima imbas kemarahan ibu ratu yang sudah sangat dirindukannya, walau terkadang sebal juga ketika mengingat permintaan beliau.
Mama selalu membuatnya baper dengan minta menantu.
Satu hal yang Mama tahu tentangnnya, kalau Dirga sudah marah lalu minggat dari rumah, ia akan mencuri kue-kue pesanan untuk dibagikan pada teman-temannya dijalanan. Dan yang Dirga benar-benar senang adalah, mereka telah menjadi orang sekarang. Dulu ada satu anak yang putus sekolah di kelas dua menengah pertama. Tapi kini, Dirga lihat dia sudah berkuliah dengan bekerja karena tak putus semangat untuk belajar. Dari situ Dirga jadi bangga dengan mereka-dan tentu dirinya-dimana bisa memiliki hobi yang positif untuk mengisi waktu.
Dirga remaja sebetulnya cenderung nakal, tapi dalam batas yang normal sebagai remaja.
Kadang para sahabatnya kerap kali bingung, mengapa Dirga selalu bisa menang taruhan dengan mereka, dan akhirnya uang-uang yang terkumpul tak pernah terlihat jatuh pada dirinya sendiri. Bahkan Rehan sering merasa sedih melihat Dirga yang tak jarang hanya meminta makan dari bekal Wahda, karena uang bulananya habis untuk isi pahala.
Begitu katanya.
Semua masa lalu itu tak hilang, Dirga yang dermawan sejak dulu, masih ada pada dirinya saat ini.
Berdiri di depan meja, tangannya mengaduk kopi hitam bergula itu hingga menimbulkan asap tinggi yang menabrak langit-langit rumah. Aroma robusta menyucuk cuping hidungnya secara acak. Ada sensasi segar dari kafein yang memabukkan, serta cantik dari perpaduan manis gula dan pahitnya kopi.
Sepahit takdir kesendiriannya.
Ugh, lagi-lagi Dirga baper.
"Nggak level sama yang buat kopi sendiri." Sindiran sakartik itu jatuh tercelup kedalam hatinya.
Betapa tega Mama membiarkannya merasakan pedih dari sindiran andalan beliau.
Dirga berdecak ketika selesai menyesap kopinya.
"Masih mendinglah buat sendiri, daripada menunggu yang buat, malah nggak ngopi-ngopi. Iya, nggak, Cup?" Dirga mematut radarnya pada Ucup yang tengah memandanginya datar di bawah kursi. Entah apa yang ada dalam pikiran kucing kesayangan Mama itu. Mungkin juga ia sedang meledek Dirga dengan wajah datar semulus jalan tol miliknya.
"Kamu jangan hanya bisa balas Mama, wae, A'. Cari istri sungguh-sungguh supaya nggak buat kopi sendiri, plus nyicip kopi sendiri." Ujar Mamah lagi, masih fokus menumpuk makanan-makanan itu tinggi-tinggi didalam wadah bertutup yang masing-masing warnanya beragam. Tak membalas, Dirga memilih diam menikmati kopinya.
Entah mau Mamah kemanakan makanan itu. Dia bahkan tak tahu jika Mama akan menyisakan setidaknya satu mangkuk untuk ia nikmati.
"Mama tahu, anak Mama suka makan, nggak mungkin nggak disisakan," Tambah Mama, seperti bisa membaca pikirannya.
Dirga berdecak.
Si Mama hebat juga, pikirnya.
"Mama mau ke rumah Bu RT dulu ya, mau arisan." Terang Mama bersiap dengan setelan andalannya.
Tentengan berisi makanan itu di letakan meninggi diatas meja makan tepat didepan matanya. Walau mual melihat cara masak yang benar-benar memakan waktu, soal makan sendiri Dirga tak akan menolak selama itu enak dan tak perlu susah-susah membuatnya.
"Rumpi aja repot betul si Mama, teh." gerutu Dirga yang ditangkap Mama dengan cepat.
"Ngomong apa, kamu?" Tegur Mama sebal.
Biar umur Mama sudah kepala lima, tapi pendengarannya benar-benar secepat kelelawar.
"Enggak, Mama sudah cantik habis masak. Langsung kerumah Bu RT saja. Nanti juga Aa' mau kerumah si Wahda, sudah janjian. Sama si Saiful juga. Eh, Rehan juga deh." Terlalu sibuk memikirkan soal kepahitan hidup membuat Dirga jadi berpikir kemana-mana sampai teman-teman se-gengnya saja dia lupa.
"Jangan main mulu kamu, A', cari istri. Main nggak bermanfaat buat orang setua kamu. Apalagi mainnya sama anak Pak RW, Si Wahda, kan dia sudah nikah sama Gibran. Nggak baik bawa-bawa istri orang keluar-keluar." Tegur Mama lagi.
Dirga berdecak, "Ih si Mama ya, si Wahda mah nggak kayak wanita biasanya mah. Dia memang wanita di depan Gibran, tapi dia nggak lebih dari preman pasar kalau sama kita." Terangnya asal.
Dirga jadi tertawa tiba-tiba mengingat wajah bodoh Wahda saat kepergok meloncati pagar, karena terburu hingga roknya robek sebatas paha. Dia abai saja sehingga yang geger justru ketiga temannya. Paha Wahda mulus sekali sampai Rehan tak berhenti meneguk saliva. Namun kemudian Saiful mengingatkan kalau paha mulus Wahda hanya ilusi mata atau de javu sesaat. Setelahnya, mereka larut pada keseruan anak remaja yang lari-larian bermandi air hujan di lapangan komplek.
"Ya tapi tahu lah konteksnya. Wahda sudah nggak se-bebas dulu. Jangan langkahi Gibran. Minta izin dia dulu," Dirga mengangguk, "Sudah pasti Mama. Pak dokter pasti kasih izin. Kita pun hanya ngobrol saja dirumah Wahda palingan."
"Ya sudah, Mama berangkat dulu. Kalau mau makan, nanti hangatkan saja, ya? Langsung mandi, A', nggak bagus mandi sampai sore. Dah ya, Assalamualaikum." Ujar Mama kemudian berjalan keluar rumah.
-
"Bu, Naira berapa usianya?"
"Baru masuk enam bulan. Bundanya repot sama kerjaan terus, Nairanya nempel sama saya jadinya."
Mama mengangguk sambil memandangi wajah lucu bocah perempuan dalam pangkuan bu Rosmi itu.
Ah, jadi pengin nimang cucu, pikir Mamah.
Arisan komplek memang tak seheboh arisan para sosialita. Karena uang yang limitnya pasti habis, sementara para sosialita uangnya bak internet promo yang unlimited sebulan. Mama benar-benar tampak sumringah ditemani banyak ibu-ibu dengan para bayi yang mengoceh lucu di beberapa sudut rumah. Mama yang paling tua disini, sedang yang lainnya banyak ibu muda dan nenek muda.
"Kata Wahda, Mulia pulang ya, bu?" Bu RW menepuk bahu Mama ketika beliau asyik mencomot keripik pisang yang dibuat Teh lilis.
Orang-orang memang kerap menyapa Dirga dengan panggilan Mulia, karena panggilan Dirga sebelumnya dimiliki juga oleh anak komplek yang lebih tua darinya. Hingga saat itu, orang-orang yang mengenalnya secara dekat atau sudah sangat mengenalnya, pasti memanggilnya Mulia.
Mamah menoleh.
"Iya bu. Pasti Wahda cerita? Maaf ya, si Dirga sukanya ganggu istri orang." Sergah Mama, merasa tak enak dengan bu RW.
Mamah jadi malu ditanya bu RW.
"Enggak atuh bu, si Wahda justru jadi punya pengawal dari kecil, sudah besar 'kan jadi nggak lecet. Untung Kang Gibran lah kalau begitu, teh." Elak Bu RW-Ibu Wahda- membuat Mama merasa lega.
Mereka tertawa bersama.
"Omong-omong, sudah ada calon, bu?" tanya bu RW lagi. Kali ini dengan pertanyaan yang terkesa kepo. Namanya ibu-ibu, pasti tak jauh dari rumpi-rumpi manis yang ujung-ujungnya kecut. Mama malas sebenarnya membahas hal ini.
Kenapa juga Dirga harus main sama anak yang ibunya satu arisan sama Mama, pikir Mamah jadi sebal.
"Belum, masih menunggu giliran, yang paling baik insyaAllah," elak Mamah dengan halus, diselingi tawa kecut.
Batu memang orang seperti Dirga itu. Dia terlalu terorganisir orangnya. Harus kenal, yang baik, harus dekat dan yang pasti harus cinta-oh satu lagi, harus wanita Kartini. Untuk yang terakhir itu, tahu maksudnya saja Mama tidak.
"Dicarikan saja bu. Takut kayak si Jefri, anaknya bu Elmi, malah menyimpang katanya." terang bu RW spontan.
Mamah menutup mulutnya kaget.
Menyimpang? Belok maksudnya?
Belok orientasi seksnya? Aduh!
"Ah ... bu RW jangan suka ghibah orang. Nanti jadi dosa acara kita." Sergah Mama yang dibalas gelengan bu RW.
Tapi memang nggak biasanya bu Elmi nggak hadir arisan hari ini.
“Nggak bu, betul ini saya bicaranya. Kemarin bu Elmi sendiri yang bilang sama saya sambil menangis." tutur bu RW dengan raut serius.
"Kalau begitu ini aib bu Elmi loh, bu RW. Seharusnya bantu dijaga untuk nggak diceritakan ke banyak orang. Ya ... minimal dijadikan bahan pembelajaran, tapi jangan disebut namanya." Tanggap bu Mirna membuat bu RW diam.
Benar juga ini aib. Duh, kena lagi saya, pikir bu RW.
Barangsiapa menceritakan aib saudaranya, niscaya mereka telah memakan bangkai saudaranya sendiri.
Bu RW mendadak ingat ceramah salah satu ustadz saat pengajian beberapa waktu lalu.
"Eh ... iya, betul juga ya bu. Ya ampun, saya kelepasan. Tolong di rahasiakan, ya bu Elsa, ibu-ibu semua. Saya jadi nggak enak."
Bu RW menunduk malu melihat wajah Mama. Diam-diam muncul perasaan nggak enak juga di hati Mama. Entah apakah perkataan Mama yang bermaksud mengingatkan, juga terdengar kasar.
"Saya juga minta maaf jika terlalu lancang ya, bu. Supaya arisan kita ini berkah saja, jadi nggak terlalu menghibah sana-sini," ujar Mama nggak enak.
Bu RW menggeleng, "Nggak apa-apa, Bu. Sudah betul saling mengingatkan, saya juga jadi nggak enak sama Bu Elmi. Sebagai manusia sama-sama mengingatkan." ujarnya kemudian izin kebelakang.
Pasti bu RW malu sudah diingatkan.
Masa bodo lah Mama hanya mau kebenaran, pikir Mama
Tapi kalau diingat dari cerita bu RW tadi, alasannya pun nggak dapat dipastikan. Entah karena lingkungan, atau jumlah wanita cantik di dunia ini sudah berkurang sehingga laki-laki yang lama melajang, akhirnya merasa lelah karena nggak juga dapat pasangan dan memilih belok arah.
Mama jadi memikirkan jika hal ini menimpanya, adakah Dirga salah satunya?
Ah ... mana Dirga ada diantara ciri-ciri diatas, lagi!
Tiba-tiba Mama jadi takut sendiri.
"Nggak, nggak mungkin!” Gumam Mama tiba-tiba, tahu-tahu beliau izin pamit untuk pulang pada seluruh ibu-ibu yang masih asyik berbincang sana-sini.
Bukannya Mama menuduh, tapi hanya Dirga yang ia punya. Mama nggak ingin Dirga ternyata dalam kondisi yang sama.
Tentunya karena dia masih setia menjomblo.
...-...
"Aa’, A’ Dirga! Dirgantara Mulia Radjasa!"
Suara menyeru Mama tiba-tiba terdengar, disusul langkah cepat memasuki rumah tanpa memberi salam. Di carinya sang putra dari sudut ke sudut; mulai dari meja makan, destinasi yang terakhir kali ada dalam radarnya, kamar mandi, sampai ke taman belakang. Namun nihil, putranya nggak ada disemua tempat itu.
Tapi ada satu tempat yang masih belum beliau sambangi, yaitu kamar. Ya, Dirga pasti belum beranjak karena ini hari pertamanya di rumah setelah dua bulan tidak pulang.
Dengan tergesa Mama memasuki kamar tanpa mengetuk. Satu pemandangan yang ia cari sejak tadi terpampang nyata didepan matanya.
Putranya sedang memakai headphone di depan PC-nya, kemudian teralihkan karena perempuan baya itu tahu-tahu sudah masuk kesana.
"Ma? Nggak ketuk dulu, sih?" Tanya Dirga sambil menoleh memperhatikan paras ayu penuh peluh milik sang Mama. Bak kesetanan, Elsa-nama asli Mama-langsung memeluk Dirga dengan erat.
"Kamu normal kan, ya, A'? Normal ‘kan?" Entah racauan macam apa yang kini Dirga dengar, yang jelas, satu jawaban bahwa ia tak paham.
"Mama kenapa sih?" ulang Dirga sambil mengelus punggung kurus sang Mama. Bak disirami shower, itu yang ia rasakan di bahunya.
"Kamu normal kan, A'? Anak Mama satu satunya," Lagi, racauan tak jelas terlontar dari mulut sang Mama. Dirga memilih diam untuk kali ini. Mungkin Mama sedang kangen berat dengan anak paling ganteng-nya.
Pelukan itu berlangsung sekitar dua menit tanpa pergerakan berarti dari Dirga. Layar PC-nya juga menghitam mengiringi pergerakan yang tak muncul.
Mama mengangkat kepalanya.
"Kamu tahu, A', Mama takut banget kamu punya orientasi seksual yang menyimpang,” Terang Mama kemudian.
Entah punya pikiran dari mana kalau ia menyimpang, yang jelas, Mama bersikap layaknya orang kesetanan dengan langsung memeluknya. Mama nggak mungkin stress karena dia nggak punya pasangan, ‘kan?
"Mama jangan ngaco deh, Aa' nggak mungkin menyimpang, Aa’ bersumpah! Tanya saja Firdaus di kantor, dia tahu siapa aja yang dekat sama Aa'." Mamah menatap mata Dirga dengan lekat.
"Tapi kamu nggak pernah menunjukkan satu gadis pun?" Tegur Mama.
Dirga mengangguk.
"Itu artinya Aa’ belum menemukan yang pantas dibawa ke Mama. Karena Aa' hanya mau yang terbaik untuk Mama."
Mama memasang wajah marah.
"Tapi Mama tetap saja nggak mau tahu! Kamu harus bawa perempuan secepatnya ke hadapan Mama." Titah mama tegas membuatnya mengatupkan bibir.
Oke, jadi itu yang Dirga tangkap sebagai inti dari sikap nggak-jelas Mama.
"Jadi intinya, Mama takut aku menyimpang karena nggak pernah bawa cewek ke rumah? Yah ... Ma, bawa cewek mah mudah banget. Nanti deh, Dirga bawa Kalisa main kesini ya ... Dia baru puber tahu, lagi cantik-cantiknya." Kelakar Dirga mengingat tetangga kecilnya yang saat ini beranjak dewasa.
Kalisa itu tetangga baru yang sekarang tinggal bersama neneknya di rumah nomor satu. Orang tuanya berada di Papua untuk proyek perusahaan minyak.
Bukannya senang, Mama justru bergidik sambil menepuk kepalanya dengan keras.
"Ya ampun ... Dirgantara! Itu sih kamu memang nggak menyimpang, tapi pedofil tahu!" Seru Mama kesal.
Dirga tertawa dengan keras.
"Ya, habisnya si Mama. Di kira cari cewek kayak cari kucing dalam karung? Semuanya harus tertata dan dilihat dengan jelas. Mama tahu kan tipe ku bagaimana-"
"-terserah, terserah Mama nggak tahu. Jangan banyak alasan, pokoknya Mama nggak mau menunggu lebih lama lagi!”
"Iya Ibu ratu." Kelakar Dirga yang dibalas cubitan Mama.
Ma ... Ma, mau cari dimana gadis idaman Mama itu? pikir Dirga frustasi.
...-
...
Dirga membatalkan waktu bertemu dengan ketiga sahabatnya setelah tragedi geger tadi siang. Mama benar-benar manja dan nggak mau ditinggal sendirian dengan alasan kesepian. Padahal biasanya juga Mama lebih memilih Ucup, daripada dirinya.
Malam ini keduanya sibuk berdiskusi tentang kriteria wanita yang diinginkan Dirga. Bak mencari bahan di pasar tanah abang untuk beli pakaian hajatan, seperti itulah ribetnya Mama saat ini.
Mencatat sana-sini.
Mulai seperti apa model wajah gadis yang dicari Dirga, seberapa tinggi badannya, gemuk, kurus, atau semok, dan sebagainya. Lagi-lagi ditekankan, Dirga hanya laki-laki biasa yang suka dengan wanita tanpa ba-bi-bu. Asal matanya mendeteksi kecocokan, dan memiliki wife material, bisa jadi istri yang baik, sudah cukup lah rasanya. Tapi Mama masih bingung dengan maksud wanita kartini yang pernah di ceritakan putranya itu.
“Kalau soal wanita kartini, Mama nggak paham maunya Aa’ bagaimana? Memangnya seperti apa wanita kartini itu, A’?” Tanya mama ditengah kegiatannya mencatat tulisan berjudul ‘bakal calon istri Aa’
"Ya itu Ma, yang kayak ibu Kartini. Percaya diri, berani, semangat juang tinggi untuk kebebasan berpendapat dan ber-aksi didepan umum bagi kaum wanita." Jawab Dirga asal. Sebetulnya ini hanya bagian dari alasan panjangnya jika menemukan perempuan, karena ia belum memiliki kecocokan dengan beberapa orang yang pernah ia kenal.
Semuanya akan berantakan ketika Dirga hanya merasa suka, dan yakin dengannya.
Jadi ... ini hanya bagian dari alasan memperpanjang masa mencari dia.
Mama menangguk-angguk dengan cepat.
"Sejenis anak-anak organisasi kampus gitu lah, ya? Yang sangar-sangar berwibawa, suka orasi di depan gedung pemerintahan." Terang Mama.
Dirga sempat berpikir sebentar, sedikit bingung juga. Lalu akhirnya mengangguk dengan cepat, terserah bagaimana pemikiran mama saja, lah.
"Ya ... mungkin, kurang lebih lah."
"Oke kalau begitu, nanti Mama cari yang cocok," Putus Mama akhirnya.
Dirga mendelik mendengar perkataan Mama.
"Kok? Kenapa harus Mama yang cari? Kan tadi cuma tanya kriteria saja?"
Mama menggeleng.
"Ya ... kalo ketemu kenapa nggak?" Dirga menggeleng.
"Jangan Ma. Aa' bisa cari sendiri!" Tolaknya.
Mama menatapnya tajam.
"Tapi kapan, Dirgantara? Kamu tuh sudah tua, nak!” Tegas mama mencuil berjuta perasaanya, ketika kata tua seolah mengidentifikasikan berapa lama sudah ia hidup di dunia ini.
Sedikit meringis, Dirga kembali meratapi dirinya. Dua puluh enam, dengan angka dua dan angka enam. Jika itu mangkuk bakso, maka bukan jumlah yang sedikit untuk dua puluh enam porsi bakso.
Dirga seketika merasa pusing!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!