Setelah melalui malam dengan interogasi Abah dan Emak—plus Saiful, adik laki-lakinya, Nina berakhir di kamarnya dengan mata setengah mengantuk. Betapa kagetnya kedua orang tuanya ketika mendengar semua penjelasannya. Nina tidak berusaha berbohong, tapi dari beberapa penjelasannya, perempuan itu tak memberitahukan semua kenyataannya—termasuk salah satu alasan sebenarnya, bahwa ia terpaksa keluar dari tempat kostnya saat ini, dikediaman milik Paman jauhnya. Intinya, Nina menjelaskan jika ia bertemu orang tua baik yang menginginkan seorang menantu untuk putranya. Mama Elsa dideskripsikan Nina dengan jelas kepada kedua orang tuanya. Nina juga mengatakan jika ia belum bertemu laki-laki itu, namun dia merasa yakin jika dia anak yang baik. Dia percaya dengan Mama Elsa, karena menurutnya, sudah cukup jika ibunya sendiri bisa mendeskripsikan anaknya yang dia rasa penurut dan punya pekerjaan baik—walau Mama Elsa tak pernah menjelaskan pekerjaan apa yang dilakukan putranya. Setelah menceritakan semuanya semalam, pagi ini Nina tiba-tiba memikirkan soal bagaimana laki-laki itu? Seperti apa parasnya? Jika dia menyetujui pilihan orang tuanya, berarti dia anak yang penurut, kan? Bagaimana jika dia sebetulnya tak benar-benar mau menerima Nina?
Tidak, tidak … Nina harus yakin, setidaknya laki-laki itu punya ibu yang baik!
“Teh … sudah bangun? Sol boleh masuk, nggak?”
Nina melirik kearah pintu kamarnya, Solehah disana. Adik kecilnya itu hanya tahu sebatas dia ingin dilamar.
“Masuk saja, Dek.”
Solehah membuka pintu lantas melangkah mendekatinya. Perempuan berusia dua belas tahun itu memandangi Nina dengan senyuman. Tangannya membawa nampan berisi teh hangat dan pisang goreng.
“Emak sama A’ Ipul sedang sibuk menyiapkan makanan untuk menyambut keluarga calon suami Teteh—Teteh betul mau menikah sama orang itu?” Tanya Solehah tampak ingin tahu sekaligus bingung.
Nina terdiam sejenak.
“Betul kok, Dek,” Ujar Nina tenang.
“Teteh sebetulnya belum tahu bagaimana orangnya, tapi ibunya baik banget sama Teteh, Dek.” Lanjut Nina.
“Jadi Teteh justru sukanya sama ibunya, ya?”
“Ya … begitulah kira-kira. Makasih ya pisang sama teh-nya. Teteh mau keluar deh, bantu Emak sama Ipul—”
“Eh! Jangan teh, tadi Emak melarang Teteh keluar. Katanya Teteh istirahat saja dulu disini, biar Emak dan A’ Ipul saja yang bantu urus. Memangnya berapa banyak yang datang sih, Teh?” Tanya Solehah lagi dengan raut ingin tahu.
Benar … berapa banyak keluarga Bu Elsa yang akan datang?
“Oh iya … kayaknya nggak banyak, hanya lamaran, seharusnya nggak banyak sih, Dek.”
“Teteh senang ya sudah mau menikah? Kalau nanti Teteh menikah, jangan lupa pulang ya. Kuliah saja Teteh jarang pulang, apalagi menikah. Nanti Teteh sudah punya anak, semakin jarang pulang, deh.” Lirih Solehah. Rautnya berubah sedih setelah mengatakan kata-katanya.
Nina tersenyum kecil. Menyentuh bahu adik kecilnya.
“Nggak, Dek. Teteh pasti akan tetap pulang kalau memang ada waktu.” Terangnya.
“Ya sudah, Teteh makan makan pisangnya dulu, ya. Sol mau keluar dulu, kata Emak tadi sol disuruh gelar karpet—”
“Ayo, teteh bantu.”
“Eh … nggak perlu, Teh. Biar sol sendiri, saja.”
“Nggak, nggak, ayo teteh bantu. Sudah nggak capek kok.”
Sambil berjalan keluar kamar, Nina berharap dalam doanya, semoga saja laki-laki itu orang yang baik dan bisa menyayanginya, lebih-lebih keluarganya juga.
Walaupun mereka dijodohkan.
*
Jam menunjukkan pukul satu siang, kejadian beberapa saat lalu membuat Nina tak menyangka jika kini dia sudah diikat dalam lamaran dengan seorang laki-laki bernama Dirgantara, putra dari Bu Elsa. Untuk pertama kalinya Nina melihat wajah laki-laki itu. Dia datang bersama ibunya dan dua orang keluarga yang sepertinya dituakan, serta sekitar tiga pasang tetangga dekat. Cukup banyak untuk ukuran lamaran mendadak. Bersyukur Emak membeli cukup makanan untuk disuguhkan.
Nina paham jika kedua orang tuanya sebetulnya tidak dalam kondisi ekonomi yang baik. Semalam, dia memberikan beberapa lembar uang untuk dibelikan suguhan. Emak awalnya menolak, tapi dirinya memaksa. Jika tidak harus Nina bayarkan semua, setidaknya ia menambahkan untuk membeli suguhan—sejujurnya itu pun dana yang diberikan Bu Lilis untuk tambahan ongkosnya pulang ke kampung. Mereka adalah dua orang baik yang baru saja hadir dalam hidupnya, namun sudah seperti keluarga sendiri, Bu Elsa dan Bu Lilis.
Beberapa tamu laki-laki sudah kembali dari masjid, termasuk pria itu, calon suaminya. Nina tidak menyangka jika orang yang menurut Bu Elsa tidak ‘laku-laku’ itu berparas seperti apa yang ia lihat.
Wajah bersih khas orang ‘bermodal’, postur tubuh yang baik dengan proporsi yang pantas, menambah kesan ‘wah’ dari penampilannya. Dia tidak mengenakan pakaian yang terlalu mencolok, hanya setelan batik dan celana hitam saja.
Secara singkat, ia rupawan—bahkan Nina sempat berkali-kali menepuk pipinya untuk menyadarkan diri jika apa yang ia lihat adalah kenyataan.
Laki-laki itu tak sebanding dengannya! Hatinya berteriak ricuh.
Kini, laki-laki itu tengah tersenyum dengan sangat manis bersama Abah di teras. Termasuk beberapa keluarga besar Nina yang sejujurnya masih tetangganya, ikut bercengkrama dengan para tamu. Nina sendiri belum sempat menegur laki-laki itu, hanya tadi ketika ia sebentar berbincang dengan Bu Elsa.
“Teh, sini deh. Kok melamun saja, sih?” Lamunanya di dapur tersadarkan oleh Solehah yang sedari tadi sibuk bersamanya disana.
Nina menggerakkan dagunya, memberikan tatapan bertanya pada adiknya.
“Mas Dirga itu benar yang jadi calonnya Teteh? Kok ganteng sih orangnya? Bisa-bisanya Teteh ketemu orang ganteng begitu. Dia pasti orang kaya ya, Teh?” Tanya Solehah seraya terkikik lucu.
Nina tersenyum bingung.
“Teteh juga baru tahu, Dek. Soal dia orang kaya apa nggak, kamu lihat sendiri deh. Kayaknya sih orang kaya, ya … setidaknya nggak seperti kita, lah.”
“Masa sih Teteh baru tahu dia? Sebelum ini Teteh bisa sampai mau dilamar bukan karena dia yang minta?” Tanya Solehah polos.
Adik kecilnya ini memang terkenal selalu ingin tahu.
“Betul, nggak tahu … Teteh kan kenalnya sama Bu Elsa, Dek, dan beliau yang minta teteh duluan untuk jadi menantunya.” Terang Nina singkat.
“Oh … sama ibu yang cantik itu, ya? Tapi dia baik banget loh sama Sol. Tadi saja Sol dibilang cantik. Mereka walaupun kayaknya kaya, tapi baik ya, Teh. Perasaan rentenir kaya disini pada jahat semua.” Seloroh Solehah dengan polosnya.
“Hush!” Nina menepuk bahu Solehah.
“Jangan bicara sembarangan kamu, Dek. Kalau ada yang dengar nanti bahaya, loh! Sudah ah, kita keluar sekarang yuk. Ini pisang gorengnya sudah cukup kok untuk disuguhkan.”
“Ya sudah, Teh. Biar Sol yang bawa keluar, sini.”
*
Acara berjalan lancar walau dengan persiapan seadanya. Entah mengapa seharian ini Nina seperti terbiasa menghadapi calon keluarga barunya, padahal baru kali ini ia sendiri bertemu sang calon suami.
Dunia memang clueless.
Kini jam menunjukkan pukul sepuluh malam, keluarga Bu Elsa sudah kembali sebelum ashar tadi. Sementara Nina masih belum bisa menegaskan pada matanya untuk menutup.
Dia masih bingung dengan dirinya. Pikirannya mengingat perbincangan ringan ia dan Dirga sebelum mereka kembali pulang.
Dari sifat yang bisa ia baca, laki-laki itu tidak terlalu dingin untuk ukuran orang yang menurutnya serius ketika menutarakan kedatangannya tadi.
“Kamu kenapa mau saja disuruh Mama untuk menikah sama aku. Apa kamu nggak berpikir kalau aku mungkin orang yang jelek dan bisa saja nggak bertanggung jawab?”
Pertanyaan spontan yang terkesan persuasif.
Nina bahkan tak berpikir sejauh itu ketika matanya bertemu pandang dengan mata Bu Elsa, ketika perempuan baya itu mengutarakan jika ia ingin Nina menjadi menantunya, di rumah Bu Lilis waktu itu.
Ketika pertanyaan itu terlontar dari Dirga, Nina sempat terdiam sejenak. Dia sejujurnya tak punya alasan berarti untuk pertanyaan itu, maksudnya, satu yang menjadi alasan ia menyetujui lamaran mendadak ini hanya karena ia merasa jika Bu Elsa orang yang baik—walau di lain sisi, Nina juga mempertimbangkannya secara objektif, bahwa jika ia bisa melepas masa lajangnya saat ini, hal itu akan lebih baik kendati dirinya tak mengenal siapa laki-laki itu—dan Nina hanya berharap pada kemungkinan besar memiliki mertua baik, terlepas bagaimana suaminya nanti—lagi-lagi dia terlalu naif meyakini seseorang untuk bersanding dengannya, walau dia masih abu-abu.
Nina berpikir dirinya gila. Tapi apakah ia boleh berkata satu hal, bahwa bagaimana jika ini takdir?
Ya, Nina berpegang pada pendirian takdir. Ini mungkin takdir.
Munafik sekali lagi untuk Nina bila ia tak tertarik dengan lelaki sejenis Dirga—pun setelah menemuinya langsung. Termasuk kenyataan bahwa Bu Elsa menampakkan ciri ibu-ibu berkecukupan, yang otomatis akan berlaku juga pada putranya.
Kecuali satu hal yang akhirnya membuat pikirannya tak tenang setelah melalui semua ini, cinta.
Ah, dia sampai melupakan yang satu ini.
Apakah nantinya rasa sayang dan menerima demi tujuan ibadah, bisa menjadi alasan untuk menjalani hidup berdampingan dengan orang lain?
Ah … Dirinya pusing!
Kenapa Nina melupakan hal itu?
Rasa suka memang sedikit muncul, tapi … apakah untuk saat ini cukup hanya dengan hal itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Astri Astuti
amAzing
2023-02-02
0