Bolak-balik kurang lebih enam jam bukan waktu yang sedikit untuk di habiskan dengan diam. Dirga tak tahu apa yang harus dilakukan sementara ia sendiri harus fokus mengurus jalannya kereta. Dia tetap profesional, begitupun Novia.
Wanita itu sesekali mengucek matanya tapi tetap fokus dengan tugasnya. Kini, ketika keduanya telah bertukar shift dengan yang lain, entah pikiran Dirga tak bisa diam hanya melihat, melihat dan, melihat lagi keadaan Novia yang benar-benar duduk disampingnya dan sesekali berdiri sedari tadi.
Dia tak berbuat apa-apa untuk Novia, seperti yang Dahlan minta. Hal itu yang Dirga katakan pada dirinya sendiri. Haruskah ia mengambil satu bulan gaji Dahlan hanya karena sudah membuat kakak ipar tersayang orang tuanya merasa lebih baik dengan keadaannya? Dirga merasa Novia sudah lebih baik karena dia banyak diam, tapi bagaimana hatinya? Dirga tidak bisa bertanya untuk hal itu.
Oh … dan jangan lupakan sarkasmenya pagi tadi! Dia semakin tidak mampu untuk melakukan apapun, atau langkahnya akan salah untuk kedua kalinya!
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, tapi Novia tak memakan bekal siang—telat—yang telah disiapkan, memilih menyesap kopinya yang sudah tidak lagi mengebul itu. Istirahat makan siang yang terlambat ini hampir berakhir dua puluh menit lagi, dan perempuan itu tak berbicara apapun padanya bahkan dalam kondisi santai seperti ini.
Dirga merasa gamang … apakah harus menegur Novia lebih dulu, padahal ini bukan salahnya sama sekali dengan apa yang terjadi pada perempuan di sampingnya ini. Haruskah ia bersikap perhatian padahal takut membuat kesalahpahaman?
Dia galau tapi, ah…
Persetan dengan salah paham, dia hanya mau bantu Dahlan dalam hal ini.
Mengigit bibirnya dalam bimbang, Dirga memutuskan untuk memulai basa-basinya.
“Nov, bekalnya nggak lo makan?” Novia menghadap padanya tiba-tiba. Padahal posisi duduk mereka sejak tadi bersebelahan walau dibatas tas besar milik Dirga.
Dirga tersentak kaget, ketika Novia tiba-tiba menatapnya yang saat itu juga sedang menatap perempuan itu.
“Dir … kayaknya bakal beda ya kalau lo yang menikah sama gue? Nggak masalah sih sebetulnya kalau harus resign salah satunya, gue mau kok resign demi jadi istri yang baik. Ya … asal suami gue setia, dan bisa menjaga kepercayaan gue sama dia. Sorry ya dulu gue menolak lo, ya lo tahu sendiri kan, gue sudah keburu dilamar doi.” Ujarnya tiba-tiba.
Dirga menelan salivanya berat, memalingkan padangannya kearah berlawanan. Tak ingin menatap mata yang membuatnya iba, belum lagi pendengarannya masih berdenging dengan perkataan barusan.
‘Kenapa harus membahas masa lalu, sih Nov?’ teriak Dirga dalam dirinya.
“Kayaknya kalau gue jadinya menikah sama lo, nggak akan begini deh kondisinya. Gue tahu lo orangnya setia, loyal, gue juga tahu pekerjaan kita seperti apa. Sayang banget ya kalau dipikir? Menyesal itu memang datang belakangan ya, kalau duluan, pasti gue nggak akan pernah coba mengenal dia sama-sekali. Dahlan ******! Bisa-bisanya dia mengajak gue ke pernikahan sepupunya dan bertemu kakaknya itu!” Pekik Novia pelan. Terdengar frustasi sekaligus konyol.
Dia menyesali keputusannya menikahi suaminya itu. Padahal pernikahan mereka telah berjalan lebih dari satu tahun. Dirga tahu jika Novia mencintainya, ketika perempuan itu menolak pernyataan sukanya waktu itu.
Semenjak Dirga pernah menyatakan perasaannya dan mau tidak mau di tolak karena Kapten Muhadi—kakak laki-laki Dahlan itu sudah menyatakan perasaannya lebih dulu, membuat pertemanan mereka sedikit renggang. Dirga yang dikenal cukup supel—walau terkadang baperan—lebih banyak menghindari hal-hal yang berkaitan dengan Novia. Hingga mereka menikah, dan hingga saat itu Dirga masih belum bersikap santai. Hari-harinya selama bekerja banyak dilakukan dengan menghindari Novia dari segi apapun.
Novia juniornya dikantor, dan perempuan itu mengenal suaminya, Muhadi, karena Dahlan.
Laki-laki itu pernah mengajak Novia untuk datang ke pernikahan salah seorang sepupunya, lalu Novia tak sengaja bertemu dengan Muhadi dan perasaan itu muncul. Dirga kalah start sehingga Novia sudah lebih dulu di lamar Muhadi.
Dirga sedikit kecewa saat itu, karena dia sudah terang-terangan menunjukkan ketertarikan walau belum menyatakannya. Sehingga setelah perempuan itu menikah, sifat bapernya seketika menguak dan membuat dirinya menjauhi Novia karena takut mengganggu atau mungkin membuat orang-orang sekitar yang sudah tahu hal ini, berpikir macam-macam tentangnya.
Tak semudah hanya sekadar menghindari tatapan atau pertemuan, kenyataannya benar-benar rumit karena menyangkut perasaannya yang juga tersakiti, belum lagi Dirga juga harus pulih dari kondisi itu.
Padahal ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak mau berurusan lagi dengan Novia dan masalahnya setelah kejadian di kafe hari itu.
Tapi kenyataan berkata lain.
“Sudah takdirnya kita hanya menjadi teman, Nov.” Respon Dirga gamang. Dia tak tahu harus mengambil jawaban seperti apa. Novia terlalu menyulitkan perasaannya yang sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya.
“Iya, sih … Tapi … Ah! Persetan, gue capek sendiri, Dir!” Pekiknya—lagi—makin terdengar frustasi.
Novia sepertinya sudah tidak baik-baik saja. Kondisi diamnya bukan berarti dia mencoba tenang, tapi dia tengah berperang dengan pikirannya sendiri soal masalah yang tengah dihadapi.
“Iya … gue paham. Kalau begitu, lo ambil izin pulang saja. Kesehatan yang utama buat perjalanan, Nov. Ingat, pekerjaan kita menuntut fokus tinggi untuk keselamatan bersama.”
“Tapi gue nggak bisa menghilangkan pikiran ini, Dir? Gue … gue merasa bodoh, merasa nggak berguna—"
“Shh … Lo jangan begitu, jalan lo nggak habis disini saja. Kalau lo sakit, jadi nggak karuan karena ini, yang rugi lo juga. Dah lah, izin sakit saja ya. Gue izinkan, mau? Daripada jadi kacau. Biar nanti lo diganti yang lain, atau gue sendiri juga nggak apa-apa.” Terang Dirga mencoba mengambil solusi yang baik. Setidaknya memposisikan diri sebagai teman masih bisa dibilang positif daripada harus terus-menerus merasa perlu menghindar demi tidak-terlibat-masalah-orang.
Perempuan itu terdengar menarik napasnya panjang. Dirga yang hanya sesekali meliriknya, kemudian menatapnya dengan serius. Novia juga ikut memandang kearahnya sehingga mereka berdua saling bertatapan.
“Lo … lo nggak masih suka sama gue kan, Dir? Kalau gue jadi janda, memangnya lo masih mau?” Ujar Novia tib-tiba. Seketika itu juga Dirga melotot kaget, memalingkan wajahnya seraya berdiri dari sana. Tak berujar lagi, dia bergerak meninggalkan tempatnya duduk.
Meninggalkan Novia yang termangu menatap kepergiannya.
What? Apa Novia sudah gila memikirkan hal itu?
Mana mungkin Dirga masih menyukainya—mana mungkin …
Apakah mungkin—
Nggak! Nggak mungkin.
Menyentuh dadanya, Dirga merasakan detak jantungnya memompa cepat.
Novia sangat tidak baik untuk kondisi jantungnya yang sehat!
...-
...
Nina pamit pulang lebih cepat dari biasanya karena Fadhilah ternyata balik lebih awal hari ini. Bekerja sebagai dosen PNS membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan buku, laporan dan mahasiswanya dibandingkan putrinya sendiri. Terkadang hal itu membuatnya tak tega, apalagi tak bisa banyak melihat gerak-gerik putrinya selama dirumah, sebab ibunya tidak mengerti cara mengoperasikan kamera atau gadget untuk mengabadikan momen.
Beruntung baginya dengan hadirnya Nina diantara keluarga kecilnya sebagai babysitter. Karena masih muda, tentunya Nina memahami soal gadget, sehingga kini Fadhilah dengan mudah dapat melihat moment-moment tertentu putrinya yang tak pernah diulang. Salah satunya ketika Naira mulai bisa berbalik dan hendak merangkak.
Nina merasa sangat senang akan hal itu, sehingga ketika ia mendengar kabar bahwa Nina akan menikah dengan Dirga—yang sejak kecil sudah ia kenal sebagai tetangga—membuat Fadhilah merasa sedih, walau ia juga ikut bahagia dan mendoakan yang terbaik untuk Nina.
Semua orang memang mendoakan yang terbaik untuk Nina, pun Dirga yang lebih dikenal banyak orang dikomplek perumahan ini. Tapi … apakah kisah Nina sebagai si istri, akan indah nantinya? Apakah ia akan menjadi ibu yang bekerja seperti Fadhilah, atau ibu yang mengurus rumah seperti Bu Lilis dan Mama Elsa? Nina belum bisa membayangkan.
Pandangan Nina jatuh pada pedagang kaki lima yang menjual susu kacang kedelai hangat. Sudah menjelang musim hujan, angin sering bertiup kencang. Agaknya, menikmati segelas susu kacang kedelai hangat adalah ide yang baik.
Nina mendekati pedagang itu, seraya bertanya.
“Segelas berapa, pak?” Tanyanya sopan. Penjualnya seorang laki-laki paruh baya yang terlihat sangat giat bekerja.
Diam-diam tersenyum kagum sekaligus mengingat Abah.
“Lima ribu, Neng. Mau?”
“Iya pak, satu ya, yang hangat.”
“Siap, Neng.”
Sambil menunggu susunya, Nina duduk di kursi yang sudah di siapkan.
Pemandangan jalan raya dimalam hari ini benar-benar membuat dirinya sedikit tenang. Berisik kendaraan yang berlalu lalang, membuang jauh pikiran tidak jelasnya sedikit demi sedikit. Dalam hati ia juga bersyukur, karena semalam setelah mendapat gajinya di minggu kedua ini, Nina bisa menambahkan biaya kostnya kepada Tante Mira. Mengatakan jika mulai saat ini, ia bisa menyamakan nominal biaya kost dengan penghuni lain, sehingga tidak perlu pindah. Tante Mira menyetujuinya, dan Nina bersyukur karena ia tak perlu sulit mencari kost lain.
Persetan dengan alasan diusir karena akan ada orang lain yang menempati, nyatanya Tante Mira mungkin hanya beralasan sebab ia membutuhkan uang lebih dari Nina—apalagi ia tahu, jika Nina sudah bekerja waktu itu—walau nyatanya saat ini pun Nina tetap harus menghemat pengeluarannya karena gaji mingguan yang ia terima dari Bu Lilis, hanya cukup untuk membayar satu bulan biaya kostnya.
Hal itulah yang sebetulnya membuat Nina memikirkan tawaran Mama Elsa, dan berakhir sebagai calon menantu beliau.
Setidaknya Nina memiliki harapan untuk tidak lagi tinggal dikost itu, karena setelah tak ada kabar satu minggu setelah lamarannya waktu itu, Mama Elsa mengabarinya juga, dan mengatakan bahwa ia meminta Nina bersiap untuk mengurus pemberkasan dan meminta maaf jika hilangnya kabar beliau karena sedang meminta seseorang membantu mengurus keperluan pernikahan.
Ia mengucap syukur dan berharap semua berjalan dengan lancar, sesuai niatnya yang kembali ia luruskan dan pasrahkan jika semuanya adalah bagian dari ibadah dan menggenapkan separuh agama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Astri Astuti
àamazing
2023-02-02
0