Seorang perempuan terlihat berjalan keluar dari sebuah bilik ATM dengan raut lemas, pun mengeluh sebab uang bulannnya belum juga masuk, sedang dirinya harus membayar berbagai hal di kampus dan kebutuhan sehari-hari.
Ponsel disakunya bergetar, ada satu panggilan masuk.
"Waalaikumsalam … Abah sehat? Kambuh lagi? Iya, semoga cepat sembuh. Nggak apa-apa, nggak perlu dipikirkan soal Teteh disini, mah. Terpenting Abah dan lainnya sehat, nggak apa-apa, seadanya saja Bah. Nuhun ya, Bah, Teteh minta maaf masih merepotkan Abah. Iya, Waalaikumsalam …"
Nafasnya tiba-tiba terdengar dihempas dengan kasar. Dimasukan kembali ponselnya kedalam saku lantas melanjutkan jalan.
Nina Fakhira, perempuan berusia dua puluh satu tahun itu tengah menempuh pendidikan strata satu disalah satu kampus negeri diwilayah Jakarta. Jauh dari tempat tinggalnya sendiri di Bandung. Barusan ia mendapat telepon dari Abahnya yang mengabarkan soal kondisi kesehatan beliau yang sedang menurun akibat kecelakaan motor minggu lalu, sehingga beliau tidka mendapatkan gaji hariannya sebagai kasir dan penjaga toko pakaian grosir dipasar. Abah-orang tua laki-lakinya-meminta maaf karena belum bisa mengirimkan sejumlah nominal uang yang beberapa hari lalu Nina minta. Selain bekerja dipasar, Abah memang memiliki sepetak sawah dan sekitar seratus meter tanah yang ditumbuhi tumbuhan stroberi, tapi keduanya belum bisa panen dalam waktu dekat.
Sebetulnya ada, Nina memiliki uang, tapi tidak cukup untuk kebutuhannya dalam waktu dekat. Nina memang berkuliah dengan mengandalkan beasiswa pendidikan, tapi untuk kebutuhan pribadi diluar biaya uang kuliah, keluarganya masih harus menanggung. Karena uang saku yang diberikan dari beasiswanya, sangat kurang untuk kebutuhan total dalam satu bulan.
Nina harus memutar otak untuk kebutuhannya kedepan.
Melewati jalan menuju kostnya, kondisi sore hari ini benar-benar ramai. Mungkin karena tanggal merah, jadi orang-orang banyak yang sibuk berbelanja atau mungkin sekadar jalan-jalan.
Merantau di kota orang yang dia sendiri tak punya siapa-siapa selain Pamam jauhnya—pemiliki rumah kost yang ia tempati saat ini—membuat Nina menjadi pribadi yang kuat dan mandiri.
Hampir dua bulan ini pula sang Abah tak mentransferkan uang kebutuhan kuliahnya. Ketar-ketir hari-hari Nina karena hal itu, ditambah sang Om tengah dalam krisis kehidupan karena bertengkar dengan sang Tante. Hal itu menyebabkan suasana rumah tinggalnya terasa tidak enak akibat kecanggungan diantara mereka. Nina membayar kost setengah harga karena alasan masih saudara, tapi belakangan, tantenya kerap menyindir soal biaya kost yang naik diantara teman-teman kostnya. Sehingga Nina merasa tak enak untuk lebih lama lagi tinggal. Rencananya ia ingin pindah ke kostan yang lebih kecil dengan biaya lebih rendah. Tapi diluar dugaan, semuanya tidak semulus perkiraan.
Masih berjalan lesu, Nina melewati pasar swalayan yang ramai pada hari sabtu ini. Andai uangnya sudah sampai, detik ini juga ia akan belikan semua kebutuhan yang telah habis.
"Duh … duh sayang, jangan menangis atuh. Nini teh repot ini."
Melewati jalan trotoar di depan pasar swalayang, matanya menangkap pemandangan seorang wanita baya dan bayi kecil perempuan yang menangis. Melihatnya membuat Nina merasa iba. Dia jadi ingat Solehah, saat dulu adik kecilnya kerap ditinggal Emak mengantar bekal Abah dan menangis keras serta mengamuk dalam gendongannya, benar-benar merepotkan sekaligus tak tega.
Melangkah pelan, Nina mendekati wanita baya itu.
"Sedang rewel adiknya, Bu? Saya bantu, ya …" Perempuan baya itu reflex menatapnya, tanpa pikir panjang langsung menyodorkan beberapa kantung belanjanya kearah Nina. Memperbaiki kain jarik sebagai gendongan, seraya membujuk bocah perempuan itu untuk berhenti menangis.
"Duh neng geulis, Makasih ya. Ibu minta tolong pegang sebentar ya. Ini sedang rewel, kayaknya mau tumbuh gigi."
Nina mengangguk, "Nggak apa-apa, Bu, Nina bantu antarkan kerumah ibu ya, kalau berkenan? Jauh kah, bu rumahnya?" tanya Nina sambil berjalan beriringan dengan sang ibu. Bayi yang tadi menangis kencang, kini sudah diam karena mungkin dia tahu neneknya tidak repot seperti tadi.
"Ah? Nggak usah Neng, terima kasih. Ibu bawa lagi sini.” Tolak ibu tersebut.
“Nggak apa-apa, Bu. InsyaAllah saya bermaksud baik, sekaligus jalan menuju pulang. Perkenalkan, saya Nina Bu, mahasiswi semester akhir, sedang menjalani masa skripsi.” Katanya memperkenalkan diri.
Si ibu tersebut mengangguk. Mendengar penuturan Nina, sejenak dia merasa lega.
“Terima kasih, ya? Boleh jika adiknya nggak terganggu. Rumah ibu sekitar seratus meter lagi dari sini, dikomplek depan sana.” Terang ibu itu.
“Saya Lilis, neng. Ini cucu saya, Naira.” Tambah bu Lilis.
“Ah … baik, bu Lilis. Mari, saya antar.”
Nina mengangguk mengikuti langkah sang ibu. Bercerita seriring jalan, membuat rasa stresnya sedikit reda. Ternyata bu Lilis seorang nenek-muda yang belakangan repot mengurus cucu nya sejak putrinya kembali bekerja.
“Nina hanya kuliah? Nggak sambil bekerja kah, atau ada kegiatan lain?”
"Saat ini nggak bekerja bu, hanya kuliah saja. Punya niat kerja sih, tapi belum tahu dimana."
“Usia berapa, Nin?” Tanya bu Lilis.
“Saya dua puluh satu tahun, Bu. Jalan dua puluh dua.”
"Wah, masih muda banget. Kira-kira Neng mau kerja apa?"
Nina tampak berpikir. Sedikit bingung sih, tapi melihat Naira—bayi yang di gendong bu Lilis, membuatnya dapat ide. Dia suka anak-anak.
"Sebetulnya belum terpikir dimana, bu, tapi melihat fleksibilitas waktu, sepertinya menjadi pengasuh atau pelayan mungkin. Kebetulan kalau pengasuh, karena saya suka anak-anak, bu. Kalau nggak salah di tempat penitipan anak, orang banyak sebutnya day care, biasanya fleksible untuk waktu, karena saya nggak bisa full time bekerja satu hari. Nanti mungkin saya cari kalau ada yang buka lowongan."
"Pengasuh, ya? Ibu belum dengar lowongan pengasuh sih, biasanya memang suka ada yang cari,” Tutur bu Lilis.
“Kalau memang Neng Nina serius mau bekerja, nggak full time nggak masalah, ibu bisa bantu, mau?”
Alis Nina naik, "Maksud, ibu?"
"Kerja sama ibu, mau? Sebelum ini mamanya Naira memang nggak pernah pakai pengasuh, tapi ibu sudah berumur dan agak lelah kalau harus mengurus Naira sendiri. Nanti ibu bicarakan ke mamanya Naira, ya? Kebetulan mamanya Naira ini bekerja kantoran, jadi memang waktunya nggak banyak dirumah. Kalau urusan rumah tangga sih Alhamdulillah dia sudah bisa selesaikan, hanya tinggal bantu mengasuh Naira. Kalau memang dia setuju, biasanya paling lama dari jam sepuluh sampai jam lima sore, Neng. Bagaimana?”
Entah mengapa bu Lilis tiba-tiba mengajaknya bekerja. Padahal tadi Nina baru saja berkeinginan, belum ada tekad besar.
Apa ini rezeki yang datang karena doa-nya untuk mendapat rezeki membantu orang tua?
"Ah … boleh bu, nanti saya pikirkan, sambil ibu mengabari mamanya Naira."
“Baik, nanti ibu kabari ya—oh itu di depan, Neng. Sudah sampai. Rumah ibu dekat pintu masuk komplek.”
Mereka melewati pintu masuk salah satu perumahan. Rumah-rumah yang berdiri didominasi gaya minimalis terpampang di depan mata Nina. Sepertinya putri bu Lilis bukan orang biasa.
"Masuk dulu yuk, Neng?" ajak bu Lilis sambil berusaha mengambil alih barang-barangnya, "Nggak apa-apa, Bu, Nina antarkan sampai depan pintu."
"Terima kasih ya, Neng."
“Baik ibu, sama-sama.”
Bu Lilis tampak mengeluarkan secarik kartu nama berisi alamat dan nomor telepon pribadi.
“Ini kartu nama saya. Sebelum ini saya pernah punya catering, tapi sudah dioper adik jadi nggak saya pegang sendiri lagi. Di kartu nama ini ada nomor telepon saya, maklum saya nggak hapal nomor sendiri Neng, sudah tua. Nanti bisa hubungi saya kesini, ya. Boleh dicatat sekalian nomor Neng Nina dikertas ini?” Minta bu Lili seraya mengeluarkan secarik kertas kosong lain.
Nina mengangguk, lantas menuliskan nomor teleponnya disana.
“Ini nomor telepon saya, Bu. Bisa juga dihubungi via aplikasi chatting. Nanti kalau nggak, saya yang hubungi ibu duluan, ya.”
“Baik Neng, terima kasih sekali lagi ya.”
Nina tersenyum.
"Iya bu. Punten atuh bu, Nina permisi. Assalamualaikum."
"Ya, ya, makasih ya, neng. Waalaikumsalam."
Nina keluar dari pekarangan rumah bu Lilis dengan senyum. Ini kesempatan yang baik jika putri bu Lilis memeperbolehkan ibunya memperkerjakan Nina.
Setidaknya waktu kuliahnya tak sepadat dulu, karena saat ini hanya sisa skripsi saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Astri Astuti
amazing
2023-02-02
0