Satu minggu berlalu sejak tawaran Bu Lilis tempo hari membuat Nina mempertimbangkannya. Walau ragu, akhirnya dia memutuskan untuk menerima tawaran Bu Lilis, mengingat dia sangat membutuhkan itu. Nina tidak bisa memaksakan Abah untuk segera mengirimkannya uang, maka dia sudah tak ada pilihan lagi.
Disinilah Nina saat ini, sejak pukul sembilan pagi ia menyiapkan makan siang bersama Bu Lilis.
Setelah bekerja kurang lebih dua hari, Nina agak sedikit bingung karena niat awalnya dan akadnya bekerja di rumah ini sebagai pengurus anak, tapi yang ia rasakan setelah beberapa waktu bercengkrama dengan Bu Lilis, ia sudah seperti anggota keluarga rumah ini saja.
Dia memang digaji lebih dari cukup, tapi aneh saja rasanya seperti dirumah sendiri.
Nina dijadwalkan bekerja setiap senin sampai dengan jumat, selama delapan jam, dan izin di hari-hari tertentu untuk konsultasi ke dosen pembimbing skripsinya.
Nina mengiris bawang dengan pelan setelah menidurkan Naira di kamar. Bu Lilis sedang keluar sebentar membeli pesanan Kak Fadilah, ibunya Naira, anak perempuan Bu Lilis.
Kegiatannya tertahan setelah bel rumah berbunyi. Bergegas Nina mencuci tangannya lalu berjalan kedepan untuk membuka pintu.
“Assalamualaikum—eh, maaf Neng. Bu Lilisnya ada?
"Waalaikumsalam Ibu. Bu Lilis sedang keluar, Ibu. Ada apa, ya?”
“Ini, saya mau antar pesanan Bu Lilis, dan ada perlu juga sebetulnya sih.”
“Kalau begitu, masuk saja dulu, Bu? Menunggu di dalam."
"Oh, iya, terima kasih."
Lalu Nina mengajak tamu itu untuk masuk. Pamit sebentar, ia menuju dapur untuk membuat minum.
"Nggak usah repot, repot neng." Sergah tamu tersebut setelah melihat Nina datang dengan nampan berisi minum dan camilan.
"Nggak apa-apa, Bu.” Setelah meletakkan minum, Nina ikut duduk berhadapan dengan tamu tersebut. Hening sejenak, sebelum akhirnya tamu tersebut kembali membuka pembicaraan.
"Omong-omong, nengnya keluarga Bu Lilis, ya? Kok kayaknya ibu baru lihat?"
"Ah, bukan Bu … saya Nina, babysitter barunya Naira."
Tamu di depannya—Mama Elsa—mengangguk memandangi Nina dari atas sampai bawah. Gadis ini berpakaian sopan. Celana panjang sedikit longgar dengan blus berwarna biru dan rambut yang dicepol rendah dengan tali kecil. Benar-benar gadis yang sederhana.
Senyumnya merekah dengan manis dengan mata yang bulat, ciri khas sekali orang indonesia.
Dia cantik, rasanya seperti inilah ciri gadis yang Mama inginkan untuk menjadi menantunya.
"Sudah berapa lama Nina kerja disini?"
"Baru dua hari ini, Bu."
“Walah, baru berarti, ya? Sudah betah?"
"Alhamdulillah bu, saya suka anak-anak soalnya," Mama mengangguk sambil kembali meneguk minumannya.
Dilihat dari tutur katanya, Nina ini benar-benar gadis yang baik. Sopan memang tipikal yang awal dari sikap seseorang dipertemuan pertama, tapi Mama seperti menemukan yang lain daripada yang lain dari diri Nina ini.
Entah, apa ini yang disebut insting seorang ibu.
"Masih sekolah?"
"Saya kuliah bu, mahasiswi semester akhir. Rantauan dari Bandung."
Tiba-tiba raut wajah Mama berubah sumringah, "Bandung? Aduh, sama atuh dengan ibu? Orang mananya, Nin?"
Nina mengangguk sambil tersenyum manis.
"Saya orang kampung, Bu. Tapi daerah lembang."
"Wah lembang, ibu di kota bandungnya. Duh! Senang ketemu gadis cantik yang satu kampung."
Check.
Diam-diam Mama mendambakan seorang gadis yang berasal dari kota yang sama dengan keluarga mereka. Bagai cerita turun temurun, kota Bandung yang dimana biasa di sebut kota kembang, benar-benar berasal dari cerminan penduduknya.
Pengibaratan untuk sesuatu yang cantik, Bandung dipercaya disebut kota kembang karena memiliki keturunan yang terkenal rupawan.
Mama membuktikan yang satu itu setelah bertemu Nina.
"Kebetulan ya, Bu."
Mama mengangguk.
"Nina masih sendiri?"
"Alhamdulillah masih, Bu. Belum kepikiran untuk kearah yang sana. Kalo pacaran kurang menguntungkan. Saya nggak melihat materi Bu, tapi faedah dari berpacaran benar-benar bukan diri saya sekali."
Check.
Mama benar-benar membuat note sendiri untuk gadis yang ia kriteriakan cocok bersanding bersama Dirga. Gadis cantik yang tetap menjaga kesendirian untuk tidak menjalin hubungan dengan laki-laki sembarangan. Salah satu dari isi note nya.
"Jarang sekali saya temukan gadis cantik seperti Nina ini. Memilih sendiri daripada berhubungan dengan lawan jenis secara intens. Jarang loh yang begini, Neng."
Nina tersipu malu. Bu Elsa benar-benar hangat orangnya, pikirnya.
"Nggak juga, Bu. Saya hanya merasa kurang pantas melakukan itu, sedang saya saja hidup masih dari uang orang tua." Sergah Nina yang dibalas gelengan Mama.
"Nggak, nggak, itu prinsip namanya, Neng. Bagus, ibu suka."
Beberapa detik keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Oh ya, Nina kan masih sendiri, mau kalau ibu beri tawaran?" Ujar Mama tiba-tiba.
Nina menggeleng bingung. Ia tak mengerti kemana arah pembicaraan Bu Elsa pikirnya.
Alis Nina mengerut bingung.
"Maksudnya, Bu?"
"Ibu mau ajak kamu buat tinggal di rumah. Nggak perlu kerja lagi. Walau ibu nggak tahu alasan apa yang membuat kamu bekerja, jangan tersinggung ya. Ibu berpikir sesuatu tiba-tiba.”
Apa yang ada dipikiran Mama saat ini, itulah yang terbaik menurut dirinya.
Nina kebingungan menarik maksud dari Bu Elsa. Tinggal dirumahnya? Maksudnya Nina disuruh berhenti bekerja disini, dan pindah kerja kerumah Bu Elsa? Memangnya beliau punya cucu? Pikir Nina bercabang-cabang.
"Ah … pasti ibu membingungkan Nina. Maaf, ya? Entah kenapa, tiba-tiba ibu kepikiran sesuatu yang memang sudah lama ibu inginkan.”
Nina bingung merespon Bu Elsa, dia semakin tidak mengerti kemana arah pembicaraan beliau.
“Maaf ya Bu.”
“Nggak, nggak apa-apa, Neng. Neng Nina nggak salah, tapi ibu tiba-tiba saja kepikiran keinginan ibu setelah melihat Neng Nina. Walau baru bertemu sekarang, kok ibu merasa ada kecocokan sama Neng Nina. Jodoh itu nggak ada yang pernah mengira datangnya dari mana, kan? Nah, karena itu ibu merasa berjodoh dengan Nina setelah kita mengobrol sebentar tadi. Sebetulnya karena ibu pengin sekali punya menantu.”
Nina tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Sekarang dia paham kemana arah pembicaraan beliau. Menantu? Maksudnya beliau ingin dirinya menjadi menantu?
"Ibu punya satu putra yang masih sendiri. Ibu tiba-tiba langsung merasa cocok sama neng Nina. Dia insyaAllah laki-laki yang bertanggung jawab, pintar, baik dan yang pasti mapan. Wajah nggak usah diragukan." Ujar Mama percaya diri.
Nina tersenyum canggung.
“Neng Nina, walau baru sebentar ketemu, ibu rasanya yakin dengan Neng Nina. Neng, mau ya menikah sama putra ibu?”
Nina terkaget-kaget di tempatnya. Bu Elsa tak bercanda dalam kata-katanya. Wajahnya sangat serius sampai kerutan didahinya begitu terlihat menandakan dia benar-benar tegas dengan perkataannya.
Bu Elsa memang masih sangat cantik di umurnya yang mulai senja.
"I-ibu, Nina nggak paham. Tapi kenapa harus Nina, bu?" tanya Nina masih dengar raut kebingungan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Astri Astuti
Ceritanya bagus
2023-02-02
0