Dirga tiba di salah satu stasiun besar ibu kota ketika waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Perjalanan panjang dari tempat tinggalnya bersama Mama benar-benar menguras energi, walau masih pagi dan jalanan masih cukup lenggang.
Berjalan melewati beberapa kendaraan di parkiran, Dirga mengecek ponselnya sebentar. Dari arahnya, riuh-riuh sedikit terdengar ketika ia sudah mulai mendekati pintu masuk.
“… Iya, iya, Nov. Ya sudah nggak usah menangis lagi, dong!” Entah apa yang terjadi, matanya menangkap Dahlan dan Novia yang tengah berhadapan, sementara Novia menutup wajahnya dengan tangan.
Memilih tak melihat dengan berlagak sibuk pada ponselnya, Dirga melewati mereka dengan pelan. Dibatas jarak beberapa meter yang ia kira bisa menjadi kesempatan baik untuk kabur, tapi bukannya terus berjalan, panggilan Dahlan justru mengintrupsi untuknya terpaksa berhenti.
“Dir! Tolong gue dong!” Dirga berhenti ditempatnya. Berbalik badan, melihat Dahlan dengan tangannya yang mengintruksikannya untuk mendekat.
Dari arahnya, ia lihat Dahlan berbicara tanpa suara, membelakangi Novia.
Cukup, dia tak ingin berurusan lagi dengan Novia.
Dirga menggeleng memberitahu kalau ia tak ingin berurusan. Tapi Dahlan memasang mata melotot kearahnya.
Sialan betul si Dahlan. Ngapain juga gue disuruh ikut campur urusan kakak iparnya? Pikir Dirga sebal.
“Kenapa lagi si Novia?” Tanya Dirga ketika Dahlan yang akhirnya mendekat, karena ia tak kunjung menghampiri rekan kerjanya itu.
“Abang gue, Dir. Dia selingkuh di depan mata Novia! Ya … gue juga lihat sih, nggak sengaja.” Terang Dahlan, membuat Dirga bisa menebak apa yang terjadi sebenarnya.
Dia sudah tahu sedikit soal masalah ini ketika Novia mengadu padanya waktu itu, tapi selebihnya dia tak ingin banyak tahu.
“Ya trus hubungannya sama gue?” Tanyanya lagi dengan nada cuek.
Dahlan berdecak.
“Bantu hibur si Novia gitu, Dir … Lo kan dekat sama dia. Gue mau balik ini, ada urusan hati yang nggak bisa gue abaikan, nanti gue jadi ikutan ribut begini lagi. Kalo nggak ada urusan sih gue bakal menemani dia ber-hari-hari, nggak masalah, gue jabanin. Sialan betul abang gue nih, ah. Tolong ya, Dir? Gue juga mau mengkondisikan bonyok supaya nggak tahu kalau pernikahan mereka sedang goyah.” Terang Dahlan dengan permintaannya.
Dirga mendesah. Kenapa orang-orang sukanya menyusahkan?
“Suruh cari yang lain saja. Gue nggak bisa, ada si Naura kan?” Tolaknya, mengingatkan Dahlan dengan junior mereka, Naura, yang biasanya dekat dengan Novia berhubung mereka setingkat juga.
Dahlan menggeleng.
“Naura kan lagi off day hari ini? Dia nggak masuk, Dir.”
“Nah lo tahu kan orang-orang punya urusan masing-masing, Lan? Dah ah, gue mau masuk.”
Baru akan berbalik badan, tangannya digenggam Dahlan dengan cepat.
“Gue mohon! Lo satu perjalanan sama Novia, kan? Dia asisten lo hari ini.” Mohon Dahlan dengan sangat.
Dirga menaikan alisnya.
“Kok lo tahu? Wah, lo ambil start duluan ya Lan? Intip-intip partner orang? Nggak ah, gue nggak mau ikut campur rumah tangga orang.” Tolak Dirga.
Dahlan menunduk sejenak, kemudian kembali mengangkat kepalanya memohon.
“Sekali saja, Dir … Please ya. Gue yang akan urus setelahnya. Buat hari ini saja …”
Dirga tak menggeleng, tapi juga tak mengangguk.
Waktu itu Dirga sudah gila dengan membiarkan dirinya menolong Novia dalam keadaan menangis, karena di depan matanya, Novia dan suaminya bertengkar. Dia jadi kesal setelah kejadian itu. Dirga enggan jadi orang bodoh untuk yang kedua kalinya.
Kadang jadwal perjalanannya saja suka ia tukar dengan Firdaus ketika mereka dapat rute yang sama, untuk menghindari kontak dengan Novia. Tapi sekarang, ia justru disuruh jadi teman selama delapan jam kerja? Gila.
Dirga nggak mau main-main lagi.
“Nggak deh—“
“Lo mau apa? Handphone? Jam tangan? Gaji gue sebulan? Ambil, semuanya buat lo, Dir! Gue nggak mau mempertaruhkan masalah hati gue! Kalau yang lain masih bisa dapat lagi, kalau yang ini susah banget bro!” Paksa Dahlan.
Dirga berpikir, sudah sekaya apa Dahlan ini? Gaji satu bulan bukan nominal yang sedikit. Ia rela memberikannya hanya agar Dirga mau mengurus masalah hati Novia?
Dahlan ini master sekali.
“Lihat nanti deh ... Ya sudah, gue bantu.”
“Iya, iya … Tapi yang betul jaga dianya, ya? Jangan sampai menangis terus tiap ke kostan gue. Soalnya hanya gue yang bisa jadi tempat curhat dia.” Pinta Dahlan serius.
“Iya … tenang saja, nggak akan lecet.”
Dahlan tertawa.
“Oke, gue percaya sama lo. Thanks ya, bro.”
Dirga berdecak.
“Hm …”
“Bang Muh positif gila sih, kalau dia benar-benar memilih selingkuh. Kurang apa coba si Novia? Dah yah, gue ada janji jam sepuluh siang, mau turu dulu sebelum ketemu sama Gia, pacar gue.” Putus Dahlan kemudian menepuk bahu Dirga pelan, lantas kembali ke arah Novia. Entah apa yang dia katakan, setelahnya Novia menatap Dirga yang berdiri mematung dengan ransel dibahunya.
“Ha—hai …” Sapa Dirga agak gugup, mendekat kearah perempuan itu.
Duh … kenapa dia begini?
“Dahlan minta tolong lo buat jaga gue, ya?”
Dirga tak menjawab.
“Tolong jangan jadi laki-laki brengsek seperti suami gue—ah, malas gue menyebutnya suami. Pokoknya lo jangan begitu ya, Dir? Jaga hati jika sudah punya pasangan. Yuk, lo mau jadi teman gue hari ini kan? Atau … mau menggantikan posisi suami gue yang bakal jadi mantan—kayaknya sih.” Sarkas Novia seraya terkekeh.
Dirga tak lagi menjawab.
Perempuan itu berjalan mendahuluinya, membiarkan laki-laki bertubuh tinggi itu mematung mendengar perkataan yang perempuan itu lontarkan.
Cobaan apalagi, ini?!
...-
...
Setelah lamaran itu berlalu satu minggu yang lalu, hari-hari Nina berjalan seperti biasa. Mengurus Naira di rumah Bu Lilis sambil sesekali bimbingan secara online maupun datang ke kampus. Hampir seminggu semenjak hari itu, tak ada kabar pasti lagi dari bu Elsa mengenai tindak lanjut pernikahan.
Apa mungkin ini dibatalkan tanpa sepengetahuannya? Bu Elsa tentu tak sebodoh itu menghentikan semua yang sudah berjalan bahkan sampai pada tahap lamaran.
Toh, bu Elsa sendiri yang memintanya untuk menikahi Dirga, kan?
Kepalanya menggeleng, menampik pemikiran konyol yang tiba-tiba teringat. Memilih kembali sibuk dengan panci-panci dan beberapa bumbu yang akan ia masukkan kedalam penggorengan. Hari ini Bu Lilis memintanya membantu memasak sambal goreng hati, sementara Naira sedang tidur.
Bu Lilis sudah tahu soal dirinya akan menikah dengan anak Bu Elsa setelah pertemuan pertama mereka waktu itu—kabar antar tetangga memang cepat menyebar, apalagi Bu Lilis dan Bu Elsa teman arisan—tapi Nina memilih hanya mengangguk atau menggeleng ketika merespon pertanyaan-pertanyaan tentang Dirga yang Bu Lilis lontarkan.
Setelah kabar itu, Bu Lilis seolah ingin membekalinya pelajaran sebagai seorang istri.
Bu Lilis berkata jika orang tua Nina mungkin bisa lebih baik mengajarnya, tapi karena Bu Lilis yang setiap hari ia temui, tak ada salahnya belajar dengan beliau.
Belum lagi, tak sekali dua kali dirumah ini Nina selalu dianggap seperti anak sendiri, pun Fadilah yang baik, menanggapinya sebagai adik sendiri.
Dia bahagia bekerja di rumah Bu Lilis. Sangat jarang ada orang-orang seperti ini di kota besar seperti Jakarta.
“Eh ... Nin, kamu tinggal saja dulu. Naira nangis tuh, sini biar ibu saja.” Bu Lilis yang memasuki dapur langsung mengambil alih masakan di depan nya. Beliau baru kembali dari tukang sayur karena ada bumbu yang kurang, dan tampaknya tadi langsung mengecek ke kamar Naira.
Dengan cepat Nina mencuci tangannya lalu masuk ke kamar Naira.
Gadis kecil itu menangis dengan raut yang terlihat lucu.
Nina sangat suka anak-anak.
“Cup ... cup, sayang. Kak Nina disini, nak.” Diangkatnya Naira, sehingga dekapan hangatnya sampai pada bocah itu. Nina membuat gerakan menenangkan untuk Naira sambil meraih botol susu yang sudah berisi susu formula.
Ternyata Naira lapar. Minum susunya sangat lahap sehingga Nina makin senang melihatnya.
Sambil mengusap kepala bocah itu, membuat Nina seketika meringis sendiri.
Bagaimana nanti kalau dia punya anak? Apakah Nina akan bahagia memilikinya dengan laki-laki itu-berhubung saat ini hal yang paling mungkin adalah memilikinya bersama laki-laki bernama Dirga yang kebetulan sudah melamarnya-sedang sesekali ketika memikirkan menikah dengan laki-laki itu saja Nina kerap galau.
Apa laki-laki itu ingin punya anak bersamanya?
Ia menggeleng konyol. Berpikirnya terlalu jauh!
Lebih baik tidak perlu dipikirin sekarang, gumam Nina seraya menggeleng.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Astri Astuti
ğood
2023-02-02
0