"Pernikahan saya diambang kehancuran, mbak." Tambah laki-laki itu. Nina tadinya kurang berminat, tapi bolehlah simpati kepada sesama manusia.
Dia kan orang baik.
"Mas yakin banget saya orang baik?" Nina kini menatap laki-laki itu.
"Iya saya yakin. Saya tahu tatapan orang baik. Karena istri saya juga baik, tapi saya sudah mengecewakannya dengan kesalahpahaman ini."
Nina mengangguk, masih melipat tangannya didada.
Laki-laki itu terus bercerita mengenai kehidupan pernikahannya. Nina mulai berminat mendengarkan kisahnya melihat kesan dari perkataannya. Laki-laki ini baik sepertinya, hanya dalam kondisi yang membingungkan dan butuh seseorang untuk mendengar ceritanya. Dia tampak seperti bukan orang sembarangan, tapi cukup bisa dikatakan serampangan dan tak ber-etika. Orang macam apa yang menarik orang lain, tak dikenal pula, ke taman menjelang malam seperti ini?
"Trus? Mas jadi maunya bagaimana? Mas sudah dengar saran saya ‘kan? Lebih baik Masnya pulang deh, trus coba bicara baik-baik sama istri Mas." Laki-laki itu mengangguk dengan lemah.
"Betul sih, seharusnya saya coba selesaikan segera, tapi masalah jadi lebih runyam karena adik saya juga ada disana ketika istri saya memergoki kejadian salah paham itu. Pekerjaan saya sehari-harinya mengharuskan bertemu banyak wanita dalam satu maskapai penerbangan, kebetulan saya pilot. Saat itu saya izin tidak ikut satu penerbangan karena tiba-tiba lemas dan buang-buang air. Padahal saya bilang pada salah satu pramugari yang mau bantu, saya bisa pulang sendiri ke asrama sementara. Tapi dia memaksa dan yah … saya minta tolong saja untuk bantu dibelikan bubur.
Tapi mungkin pramugari itu menyimpan rasa sama saya, hingga ketika kami berdua di kamar dan dia menyuapi saya bubur setelah beberapa kali bolak-balik kamar mandi, saat itu juga istri saya seolah memergoki kami yang berduaan di kamar. Saya sebetulnya nggak kuat untuk menjelaskan, saya nggak bisa banyak bicara karena lemas. Tapi istri saya nggak percaya, bahkan setelah beberapa waktu pasca kejadian itu, dia justru mengamuk di jalan dan minta keluar dari mobil, lalu nggak kembali kerumah." Lirih laki-laki itu, menjelaskan kejadiannya kepada Nina. Rasanya memang tak mudah menyembuhkan rasa sakit sebuah kesalahpahaman. Apalagi yang menjadi akar kesalahpahaman tersebut adalah orang yang memiliki ikatan erat dengan hidup kita. Nina cukup mengerti dan jadi makin prihatin walau sebenarnya sebal juga, mengingat caranya menarik ia hingga kesini.
"Oke, saya paham. Walau saya nggak tahu dan nggak bisa seratus persen percaya sama ceritanya, setidaknya saya prihatin dengan kondisi Mas. Sudah malam, kita juga sama-sama baru kembali dari kerja, kan? Lebih baik Masnya pulang saja dulu, bersihkan diri, istirahat. Semoga setelah bercerita barusan, jadi lebih baik, ya … Nanti kalau butuh teman cerita, bisa telepon saya saja deh, tapi jangan sering-sering ya, nggak mau saya ada masalah baru. Ini hanya bukti simpati sebagai sesama manusia. Nih nomor saya …"
Nina menyerahkan nomor teleponnya yang sudah di tulis dikertas di dalam tasnya. Nina selalu membawa catatan nomor telponnya kemanapun, sehingga siapapun yang mengenalnya bisa cepat dapat nomornya.
"Terima kasih ya, Mbak. Maaf sekali lagi karena sudah dengan sengaja menarik mbak kesini. Biar saya antar mbak pulang." Tawar laki-laki itu.
Nina mengangguk sambil merapihkan dirinya.
“Boleh deh … sudah mau malam, saya nggak tahu juga ini baliknya bagaimana.”
“Oke …”
Bangkit, Nina lalu segera mengekor dibelakang laki-laki tersebut.
"Mas! Tunggu deh!" Seru Nina menahan laki-laki tersebut.
Laki-laki itu memutar tubuhnya kebelakang menatap Nina.
"Sebagai ganti rugi sudah membawa saya dengan paksa kesini, saya minta sesuatu sama Masnya!" Terang Nina mengingat sesuatu yang barusan rasanya ingin ia beli.
Laki-laki itu memandanginya ragu.
"Kan saya sudah minta maaf? Lagipula mbak tahu kan saya orang baik? Kenapa harus pakai ganti rugi?" Kilahnya.
Nina tiba-tiba saja berpikir jika ia tidak bisa rugi begitu saja. Bukan matre, tapi Nina yakin jika laki-laki ini tak akan bangkrut hanya dengan menuruti keinginannya.
"Nggak bisa. Harus ada ganti ruginya!" Kekeuh Nina.
Laki-laki itu menghela napas membiarkan Nina meminta ganti ruginya.
“Oke, Mbak mau apa?”
"Saya mau itu!"
Telunjuk Nina membuat laki-laki itu mengarahkan kepalanya mengikuti arah yang ia tuju.
"Oh, mbaknya mau duduk lagi? Disebelah sana?" Nina menggeleng.
“Itu loh, Mas! Lihat dong arah tangan saya!”
"Oh … itu! Es krim? Mbak mau es krim?" Ulang laki-laki itu. Nina mengangguk yakin seraya menatapnya dengan senyum senang.
Lalu laki-laki itu mengeluarkan dompetnya.
"Nih uangnya. Saya tunggu disini saja, ya."
"Nggak bisa! Mas harus ikut juga! Nanti saya ditinggal sendiri disini, pulang naik apa?!" Protes Nina.
Laki-laki itu menghela napasnya lagi.
"Ya sudah, ayo."
Mereka berdua berjalan menuju penjual es krim yang terlihat duduk dengan menunduk. Wajar saja jika penjual ini tampak lelah. Hari sudah malam dan suasana sejuk setelah hujan membuat tak banyak orang bersedia membeli es krim.
“Pak, pesan dua, ya.” Pesan Nina kepada si penjual yang seketika bersemangat setelah melihat ada pembeli yang datang.
“Mas mau, kan?” Tanya Nina menawarkan laki-laki di sampingnya.
Dia hanya mengangguk.
"Habis hujan mbak sama masnya romantis banget dingin-dingin makan es. Nggak takut masuk angin?" Canda penjual es tersebut. Nina memilih hanya terkekeh menanggapi candaan si penjual es. Begitu pula dengan laki-laki di sampingnya.
Romantis apa kalau caranya kayak penculik begitu?
Mereka membayar es-nya, lalu kembali ke depan motor.
Oh ya, Nina lupa sesuatu.
"Setelah sejauh ini kita bicara, saya nggak tahu nama Masnya loh! Saya Nina,” Katanya memperkenalkan diri seraya menjilat es krim yang meleleh di permukaan cone.
Begitu pula laki-laki di depannya.
"Oh iya, salam kenal Mbak Nina, saya Rifai Muhadi, boleh panggil Rifai atau Muhadi, terserah." Laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari dompetnya, menyodorkannya kearah Nina.
"Ini kartu nama saya." Ujarnya. Nina menerimanya dengan tangan kiri sambil mengucap maaf.
"Rifai Muhadi, pilot maskapai swasta." Gumamnya membaca kartu nama tersebut. Nina melirik laki-laki yang kini sibuk menjilati es krimnya itu.
"Oke mas Rifai, salam kenal ya." Sapa Nina dengan senyum, sementara Muhadi mengangkat tangannya membentuk tanda hormat di alis.
"Siap Mbak Nina."
Hari ini tahu-tahu banyak hal yang berlalu diluar rencana Nina. Mendapat teman baru dengan cara terkonyol yang pernah ada.
Seorang penculik yang berteman dengan korbannya, stockholm sindrom yang terjadi tanpa terduga diantara mereka.
Nina tahu jika laki-laki bernama Rifai Muhadi ini bukan semata-mata penculik seperti apa yang ia katakan. Dari kata-katanya, ia seorang laki-laki yang tampak begitu mencintai istrinya. Nina sangsi jika ia benar-benar melakukan perselingkuhan, walau hanya sebatas pengakuan satu pihak saja. Tapi dari keterangan tersebut, kesalahpahaman yang terjadi memang fatal. Nina tak berada disana, sehingga rasanya pun tak pantas jika harus men-judgenya sebagai orang bodoh alih-alih kecolongan karena kondisi sakit yang sialnya menyebabkan semua masalah ini.
Semoga nantinya Nina tak mengalami apa yang Rifai alami. Setidaknya jika Dirga tak menyukainya lagi, ia bisa memulangkan Nina pada orang tuanya tanpa harus melukai hatinya lebih lama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Astri Astuti
ini gimana sih si Nina
2023-02-02
0