Jam setengah sembilan pagi, Nina sudah berdiri tegak di depan rumah Bu Lilis. Semalaman ia tidak tidur memikirkan keputusan kilat yang dia ambil. Gila memang, tapi ini bukan hanya perkara tempat tinggal yang tak mampu ia biayai selama masih menyelesaikan skripsi, tapi juga soal Abah.
Tiba-tiba saja saat itu ia mengingat jika Abah yang sakit, harus membiayai semua putra-putrinya sendiri. Jika ia akhirnya menikah, dan meniatkannya sebagai ibadah, itu artinya salah satu ibadahnya adalah membahagiakan orang tua juga, kan?
Setidaknya Nina sempat memikirkan keputusan ini semalaman. Walau gila, karena ini menyangkut pertemuan yang hanya berlangsung satu kali, tapi Nina tak mencoba terlalu mempersulitnya. Sekarang atau nanti, dia tetap ingin menikah.
Hanya satu doanya, jika laki-laki itu jodohnya, semua hal ini akan lancar. Sebaliknya, jika tak berjalan lancar, berarti keputusan yang menurutnya baik ini belum benar-benar final. Nina harus berusaha dengan cara lain untuk membuat dirinya tetap hidup, dan membantu mengurangi beban Abah.
Lagipula, mereka bisa bertemu lebih dulu, kan?
Mengetuk pintu, Nina menunggu balasan salam. Salam terjawab, dan pintu pun terbuka menampakkan wajah Bu Lilis disana.
“Eh Nina ... Masuk yuk, Naira belum bangun. Masih tidur, kayaknya kecapekan. Ayahnya sibuk ajak main karena mau balik dinas.” Terang Bu Lilis seraya bergerak bersama kedalam.
Keduanya duduk di lantai setelah Bu Lilis meminta Nina untuk membantunya menyiapkan makan siang.
“Sehat, Nin? Kok kelihatan ada yang dipikirkan begitu? Cerita saja atuh.” Tanya Bu Lilis menatapnya bertanya.
Nina merutukki dirinya yang tak bisa menutupi kekhawatiran, sehingga terlihat jelas oleh Bu Lilis.
“Maaf sekali sebelumnya bu ... Begini, Nina tahu ini kesannya nggak baik, bukanya mau kabur atau bagaimana, sementara gaji mingguan sudah turun, tapi Nina mau izin cuti sebentar, bisa Bu? Nina ada keperluan yang harus diselesaikan. Rencananya mau libur setengah hari ini sampai tiga hari kedepan. Nina harus pulang.” Ujarnya hati-hati.
Raut Bu Lilis terlihat bingung. Lalu tak lama berubah tenang dengan senyuman.
“Oh gitu. Iya nggak apa-apa, Nin. Tadi juga ibu baru mau telepon kamu sebenarnya supaya nggak usah datang dulu hari ini. Ada suami Fadilah baru pulang dinas, tapi lusa sudah harus balik lagi. Jadi dia mau mengajak pergi Naira. Kebetulan juga kamu izin, sekalian saja deh. Oh iya, sebentar.”
Entah apa yang membuat perempuan baya itu masuk ke dalam kamarnya, Nina tak enak kalau sampai Bu Lilis mau mengongkosinya.
Dia bahkan baru bekerja satu minggu di rumah ini.
“Nih Neng, ada sedikit dari ibu. Semoga bisa membantu tambah ongkos kamu pulang ke kampung. Nggak perlu sungkan,” tangannya dikepalkan sebuah amplop sedikit tebal.
Nina tak enak hati menerimanya.
“Ibu … jangan repot-repot, Bu. Nina hanya mau izin cuti saja. Duh, nggak enak banget ini jadinya. Nuhun, Bu. Terima kasih …” Terima Nina, walau ia merasa tidak enak hati dengan semua kebaikan Bu Lilis selama ia bekerja satu minggu lebih dengan beliau.
“Sama-sama, Nin … kamu sudah baik banget mau bantu ibu, kerjanya rajin, apa saja bisa, ibu justru kagum sama kamu. Mau jalan jam berapa hari ini? Naik apa?” Tanya Bu Lilis, melirik kearah tas ranselnya.
“Nina naik bus cepat, sekarang sudah jam sembilan … rencananya sebelum dzuhur sudah ke terminal.”
Bu Lilis tersenyum lega.
“Alhamdulillah masih keburu, Nin … sudah siap semua? Mau berangkat sekarang saja atau setelah makan siang?” Tawar Bu Lilis.
Nina tersenyum canggung. Dia sudah mengemas semua barang yang ia perlukan, jadi tak khawatir jika berangkat setelah dzuhur nanti. Lagipula Nina tak merasa enak jika harus pergi saat ini juga, setidaknya dia masih punya waktu beberapa jam sebelum keberangkatan bus-nya.
“Ya sudah, kalau begitu bantu ibu menyiapkan makan siang ya? Berhubung Fadhilah dan suaminya sedang pergi keluar, nanti sekalian Nina kenalan ya … kita makan siang bersama.”
“Baik, Bu.”
Sambil menyiapkan makan siang, Nina mengetikkan pesan kepada Bu Elsa—Mama—untuk mengabarkan bahwa mereka bisa datang ke kampungnya lusa.
Ah, takdir memang tak ada yang tahu. Semoga jalan yang ia pilih tidak salah.
*
Langit oranye menyambut Nina kala ia tiba ditujuan setelah bus yang ia tumpangi berhenti di terminal terdekat. Setibanya disana, Nina bergegas memesan ojek pangkalan yang biasanya ada disekitar sana. Perasaannya campur aduk dalam perjalanan pulang ini.
Entah itu bahagia, rindu, dan juga khawatir. Nina tak habis pikir atas semua keputusan sepihak yang sudah ia lakukan, namun dia yakin, apapun keputusan sepihaknya, asalkan baik, seharusnya Abah tidak masalah. Selama ini Abah selalu percaya padanya, dan ia menjaga kepercayaan itu. Cara Abah mendewasakannya dengan kepercayaan itu membuat Nina lebih mandiri. Abah selalu mengawasinya, namun tak membuatnya sulit bergerak dengan kekangan dan larangan. Sejauh ini dia merasa lurus saja dalam hidup, maksudnya lebih kea rah sikap dan perilaku. Ia bersyukur karena tidak membuat orang tua khawatir kalau-kalau ia berbuat sesuatu yang aneh selama merantau hampir empat tahun lamanya.
“Nah … iya, iya, kang, di depan ya.” Perintah Nina pada pengemudi ojek yang ia tumpangi. Perempuan itu menunjuk sebuah rumah sederhana yang berdiri kokoh walau sudah terlihat usang dimakan usia.
Usai membayar, perempuan itu berjalan pelan menuju pekarangan rumahnya yang masih beralaskan tanah dan hanya dibatasi pagar kayu yang seingatnya dibuat Abah bersama Saiful dua tahun lalu. Menarik napasnya pelan, Nina berjalan masuk. Sudah menjelang malam, wajar jika wilayah ini sepi dan kebanyakan orang sudah masuk ke dalam rumah.
“Assalamualaikum …” Ujar Nina mengucap salam sambil mengetuk pintu. Beberapa saat tak ada jawaban, dia mengulangnya sekali lagi, hingga akhirnya pintu terbuka dan menampakkan Solehah, adik perempuannya.
“Teh Nina?!” Seru Solehah dengan keras. Adik perempuannya itu menyerbunya dengan pelukan hingga Nina hampir saja terjungkal kebelakang. Kalau saja dia tidak sigap menahan tubuhnya agar tetap tegak, bisa-bisa mereka jatuh bersama dengan konyol di depan rumah. Desak pelukan yang diberikan Solehah benar-benar membuat dadanya penuh sesak.
Seingatnya, ia terakhir kali pulang satu tahun lalu. Dengan alasan keterbatasan waktu akibat tugas yang menumpuk serta mengirit pengeluaran, dia tak pulang kecuali hari raya.
“Jawab salam dulu, Sol.”
“Eh … iya Teh. Waalaikumsalam. Kok Teteh pulang nggak kasih kabar?”
Nina mengusap kepala adiknya, “Nggak apa-apa, Teteh mau kasih surprise kalian. Emak sama Abah mana?”
“Abah lagi urut di Mang Ujang dari sehabis ashar, sampai sekarang belum pulang. Emak ikut mengantar. Kenapa Teteh tiba-tiba balik kerumah?”
Nina membawa tubuhnya duduk merebah di sofa tua rumahnya. Perjalanan hamper empat jam membuatnya kelelahan.
“Ada urusan penting yang harus dibicarakan sama Emak dan Abah.” Ujarnya menjeda, menatap Solehah dengan senyum kecil.
“Saiful mana, Dek?”
“A’ Ipul sedang dirumah temannya, katanya sih mau belajar untuk ujian masuk kedinasan, Sol nggak tanya jelas. Teteh pasti haus, Sol ambilkan air dulu ya?” Belum sempat menjawab, adik perempuannya itu sudah hilang dari radarnya menuju dapur.
Rumah yang selalu ia rindukan ini, masih berdiri kokoh walau sudah menjadi saksi tumbuhnya ia dan semua adiknya. Semuanya lahir dan besar di rumah penuh kehangatan ini.
Merebah sambil menghempas napasnya lelah, tahu-tahu pintu depan rumah yang tak jauh dari posisinya disofa, terbuka. Disusul suara salam milik kedua orang tuanya secara bersamaan.
“Assalamualaikum …” Langkah kedua orang tuanya itu terdengar tat kala Nina memposisikan tubuhnya berdiri, siap menyambut keduanya.
Emak yang berjalan di depan Abah, melihanya dengan kaget. Betapa terkejutnya kedua orang tuanya menatap putri sulung mereka sudah berdiri di depan.
“Teteh? Kok pulang nggak bilang-bilang?” Tanya Emak dengan nada yang kaget. Nina tak menunggu waktu, perempuan itu langsung menghambur kepelukan Emak dengan tangis kecil yang tahu-tahu pecah.
“Teteh …” Abah memasuki rumah setelah Emak, dengan bantuan kruk dan kaki yang digips.
“Assalamualaikum, Mak, Abah.” Ujarnya seraya mencium punggung tangan keduanya dengan takzim.
Setelahnya, bergantian kea rah Abahnya yang penuh kasih sayang. Memeluk dengan erat.
“Kenapa nggak bilang kalo mau pulang?” Ulang Emak.
Nina tertawa.
“Sengaja, biar kejutan, Mak.” Ujarnya seraya terkekeh.
Emak mengajak Nina duduk kembali. Tak lama berselang, Solehah kembali dari dapur.
“Eh … Emak sama Abah sudah pulang juga ternyata? Sol ambilkan air juga, ya?” Tawar Sol ingin bergegas kembali kebelakang, sebelum akhirnya Emak menahannya.
“Nggak usah, Neng. Sini yuk, duduk sama-sama. Katanya kamu kangen sama Teteh.” Ujar Emak menunjuk Nina dengan dagunya.
Solehah memasang wajah mengejek.
“Siapa yang kangen Teteh? Emak mengarang saja, ih!” Kelakar Solehah.
“Alah … jangan mengelak kamu, Dek. Kalau kangen mengaku saja!” Balas Nina membuat Solehah tertawa.
Abah melirik Nina dengan tanda tanya.
“Sehat, Teh? Tiba-tiba pulang begini, kenapa nggak kasih kabar dulu supaya nanti Ipul jemput ke terminal.” Tanya Abah.
Nina menggeleng.
“Nggak apa-apa, Bah. Kan tadi Teteh bilang supaya surprise. Lagipula Ipul kata Solehah sedang siap-siap ujian masuk kampus kedinasan kan? Kasihan, biar dia belajar saja.” Sergahnya.
Selanjutnya pembicaraan keluarga itu berlangsung hingga beberapa saat. Membicarakan banyak hal soal Nina, kejadian kecelakaan Abah, hingga si centil Solehah yang sibuk meracau soal kegiatan organisasi disekolahnya. Abah sempat menyinggungnya soal biaya kuliah yang hampir dua bulan ini tak sebesar biasanya, membuat Nina mau tak mau berbohong demi membiarkan orang tuanya tak khawatir. Padahal kenyataannya ia bekerja di Jakarta plus, perkara dirinya harus angkat kaki dari kost tempat tinggalnya sekarang—yang mana jika Abah tahu, beliau pasti akan kaget dan marah.
“… Tapi ada satu lagi yang paling penting Mak, Abah.” Nina menjeda. Membuat kedua orang tuanya serta Solehah menunggu.
“Ini pasti mengagetkan Emak dan Abah … tapi—insyaAllah, besok akan ada seseorang yang datang.”
Abah menaikan alisnya.
“Seseorang? Siapa Neng?” Tanya Abah pelan.
Nina menimbang perkataannya. Apa ia harus mengatakan akan ada yang melamarnya atau ia harus bilang ada yang akan datang untuk bertamu dan berkenalan?
Tapi bagaimana kalau ternyata mereka tak datang—nggak, nggak mungkin. Bu Elsa sudah meyakinkannya bahwa mereka akan datang besok.
“Akan ada seseorang yang datang—ah, mungkin lebih dari satu orang …” Nina lagi-lagi menggantung katanya.
“Teteh! Buruan atuh! Kenapa harus tanggung-tanggung begitu bicaranya?” Protes Solehah membuat Emak memperingatinya.
Nina melirik Solehah dengan senyum miring. Sejenak menarik napas, perempuan itu kemudian mengutarakan apa yang sebenarnya ingin ia katakana.
“Besok akan ada yang datang untuk berkenalan … sekaligus berniat melamar Teteh.”
“Apa? Melamar?” Seru Emak kaget. Tak hanya Emak, Abah yang sedari tadi memasang wajah santai pun ikut meliriknya tegas. Memberi ekspresi bertanya pada Nina.
“Iya … melamar. Ada yang ingin melamar Nina untuk menjadi menantu dan … seorang istri.”
“Ya Ampun! Teteh mau menikah?”
“Y—ya … mungkin bisa dibilang begitu.”
Ekspresi kaget masih tak bisa ter-kontrol. Emak dan Abah kemudian mencecarnya dengan beberapa pertanyaan soal kedatangan seseorang itu, siapa dia, bagaimana mereka kenal.
Duh! Alasan … Dia lupa memikirkan alasannya.
Nina harus menjelaskan apa pada mereka?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Astri Astuti
Amazing
2023-02-02
0