Nina berpikir dia gila jika mengiyakan tawaran dadakan Bu Elsa yang jelas-jelas baru saja ia kenal. Wanita paruh baya itu memang baik dan sangat ramah. Tapi siapa yang tahu kesan pertama sebuah pertemuan? Nina sempat percaya pada hal itu beberapa kali.
Tapi kembali pada pribahasa yang mengatakan sesuatu tak dapat dilihat dari cover depannya saja, Bu Elsa punya wajah yang teduh dan menenangkan di kesan pertama. Belum pernah ia temui wanita berumur seperti itu.
Hampir lewat tengah malam, dan Nina masih berperang dengan pikirannya. Bu Elsa menghubunginya tadi sore. Tidak, beliau tidak membahas soal itu. Pertanyaan basa-basi standar, soal kabarnya, bagaimana bekerja di Bu Lilis, kurang lebih hanya pertanyaan itu saja yang berakhir sebelum isya karena beliau bilang jika ponselnya kehabisan baterai. Dari cara beliau menghubunginya pun sebetulnya tidak ada yang aneh, justru yang membuatnya aneh adalah dirinya sendiri. Apa yang spesial dari seorang Nina sehingga Ibu-Ibu berkecukupan seperti Bu Elsa bisa terang-terangan tertarik dengannya, dan menginginkannya menjadi menantu?
Nina hanya takut jika ekspektasi beliau tak seperti kenyaataan yang ada soal dirinya.
Ketukan dipintu membuyarkan lamunannya. Suara Tante Mira membuatnya mengangkat kepala untuk segera membuka pintu. Ada apa malam-malam begini beliau mengetuk pintu kamarnya?
“Eh ... ada apa, Tan?”
“Begini, Nin ... Besok kamu segera cari kost baru ya. Maaf nih, tante nggak maksud mengusir, tapi tante jujur saja ya, ada yang mau menempati kamar ini dengan biaya diatas kamu. Lagipula Om Rudi sudah lama nggak pulang sejak malam itu. Kamu mengerti lah, ya? Tante nggak maksud jahat, hanya melihat realita saja. Kamu butuh uang, tentunya saya juga. Tolong dipahami ya, maksimal satu minggu lah kamu bisa siap-siap sambil cari tempat baru.”
Nina sempat menahan ekspresinya karena kaget. Hal yang ia takutkan akhirnya terjadi juga. Nina memang harus segera angkat kaki dari kamar kost ini.
“B-baik, Tan. Maaf ya ... karena Nina, sebagian biaya kost jadi jatuh, dibandingkan yang lain. InsyaAllah Nina akan segera cari kost lain. Terima kasih banyak karena sudah mau menampung Nina hampir empat tahun di Jakarta.”
“Iya, iya ... ya sudah, kamu tidur sana. Tumben malam begini masih bangun? Dah ya, yuk, Nin.”
“Iya, Tan. Makasih, ya ...”
Menutup pintu kamarnya, tubuh Nina serta merta merosot dibaliknya. Kepalanya mendadak pening, pikirannya seolah berputar. Telah habis perkara uang tambahan, kini ia mesti putar otak untuk biaya lain selama tinggal di Jakarta.
Bagaimana ini?
Mendadak ia teringat perkataan Bu Elsa dua hari lalu. Perkataannya soal penawaran untuk tinggal dirumah beliau-ah ... tentunya jangan lupakan alasan dibaliknya, hanya jika Nina mau menikahi putranya.
Bagaimana jika Nina berusaha menego-nya dengan tawaran sebagai asisten rumah tangga yang menginap?
Ah! Otak cerdasnya mulai bekerja baik.
-
Mama menggigit kuku tangannya pelan. Kebiasaan yang tak pernah hilang sejak lama. Jika beliau sedang khawatir atau takut akan sesuatu, ia akan melakukan hal tersebut. Keinginannya untuk segera mempersunting Nina untuk Dirga semakin membuncah tak kala Nina mulai menanyakan soal tawaran itu.
Ya ... calon menantu impiannya itu mempertanyakan terkait tawarannya waktu itu.
Dalam sambungan telepon, Nina terdengar ragu dan takut.
“ ... mungkin hanya sebagai asisten rumah tangga saja, Bu, karena ibu menawarkan tempat tinggal, kebetulan saya butuh tempat tinggal baru. Bagaimana? Tapi sebetulnya saya bingung untuk bilang ke Bu Lilis, baru bekerja satu minggu lebih, sudah mau keluar karena ada kerjaan lain. Belum lagi, Bu Lilis kenal dengan Bu Elsa. Nina jadi ragu, Bu.” Ujar perempuan di seberang telepon.
Mama menyunggingkan senyum misteriusnya.
“Jangan khawatir, Neng. Bu Lilis perkara gampang, beliau pasti mengerti. Tapi Nina, ibu nggak cari ART, nak. Ibu sedang mencari menantu untuk putra ibu. Kenapa harus jadi ART, nak? Jadi menantu ibu saja, ya?”
Tak terdengar suara perempuan itu sejenak. Mama harap-harap cemas jika Nina pada akhirnya menolak—tapi beliau mengingat pesan Dirga untuk tidak memaksa perempuan itu.
Ya ... Mama akan menyerahkan semuanya pada takdir—namun sebelum itu, usahanya tetap harus dikerahkan.
Inilah yang disebut cara orang tua versi Mama.
“Bu ...” Lirih Nina dari sambungan.
“Iya?”
“Apa putra ibu mau menerima Nina? Maksud Nina—oke, Nina berpikir untuk mempertimbangkan tawaran Ibu. Maaf ya Bu, bagi Nina, pernikahan bukan mainan. Jika Nina sekarang menikah, artinya Nina telah melepaskan semua yang Nina lalui semasa sendiri. Tanggung jawab, dan segalanya akan kami pikirkan bersama. Belum lagi hal lain yang menjadi kewajiban antar pasangan. Nina juga nggak punya pengalaman banyak soal hubungan, Bu. Bukan aji mumpung atau bagaimana, tapi ... untuk Nina, pernikahan adalah titik akhir jalan hidup Nina, dengan siapapun akhirnya Nina menikah.” Jelas perempuan itu.
Mama menyentuh dada kanannya pelan. Nada menyedihkan menyertai intonasi perempuan disambungan telepon tersebut. Membuat hati Mama merasa hancur.
Benar, pernikahan adalah perkara tanggung jawab besar. Jika Nina yang menurutnya sudah sangat baik, tapi masih merasa takut akan hal ini, bagaimana dengan Dirga yang menurutnya masih jauh dari kata dewasa? Apa hal ini akan mendewasakan laki-laki itu?
“Neng ... terima kasih karena sudah coba untuk mempertimbangkan. Ibu sudah bicarakan ini dengan putra ibu, dia setuju. Ibu kenal baik bagaimana dia, putra ibu insyaAllah anak yang baik. Walau dia terkesan baperan menurut ibu, tapi Dirga orang yang sangat mengerti perasaan orang lain. Ibu jadi berkaca pada Dirga, kenapa selama ini ibu nggak pernah memikirkan anak itu soal semua perkataan yang Nina katakan barusan, ya ... Oh ya, namanya Dirgantara Mulia. Terdengar gagah, kan? Ibu jamin dia segagah itu, walau Dirga bukan tembok metal, setidaknya dia nggak akan dengan mudah roboh, Neng. Ibu yakin sekali dengan Neng Nina.”
Terdengar desah napas Nina. Perempuan itu seolah mengambil napas panjang dari suara yang terdengar, hingga detik berikutnya kata-kata itu keluar dari mulutnya.
“Nina mungkin akan di cap gila karena bisa-bisanya menerima lamaran mendadak Bu Elsa. Maaf ya, Bu, Nina nggak maksud menyinggung, tapi ... rasanya lucu sekali. Mohon doa dan bantuannya ya, Bu. Jika memang Mas Dirga adalah orang yang akan menjadi jodoh Nina ... insyaAllah*, akan Nina coba terima dia.” *Ujarnya menyelipkan doa disana.
Mama tak kuasa menahan tangis. Beliau mengucap syukur dengan cepat.
“Alhamdulillah ... terima kasih, Neng. Bukan hanya kamu yang merasa konyol, lebih parah ibu, Neng. Konyol sekali karena sebagai orang tua, bisa-bisanya ibu ingin melamar perempuan yang baru dikenalnya satu kali, untuk ia jadikan menantu.”
Tak ada jawaban dari Nina.
“Baik, Neng. InsyaAllah ibu akan rencanakan untuk menemui keluarga kamu … lusa? Lusa ya? Bagaimana? Atau pekan depan? Lebih cepat lebih baik.” Tawar Mama.
“Ibu mau mengenal keluarga Nina dulu kan, ya?*InsyaAllah**besok Nina kabari ya bu, apa bisa jika lusa*.”
“Bukan hanya berkenalan, Neng. Rencananya ibu mau langsung melamar secara resmi, Neng Nina.”
“Hah? Langsung, Bu?”
Mama tertawa.
“Karena kita sama-sama gila, kenapa nggak kita lakukan dengan cepat? Lagipula hanya waktu yang menjadi masalah. Jika kamu memang jodoh Dirga, dalam keadaan seperti ini atau pun keadaan lainnya kita bertemu, kamu akan tetap menjadi menantu ibu.” Ujar Mama percaya diri.
Mama tertawa bahagia setelah berujar barusan. Diikuti Nina yang akhirnya tertawa sumbang.
Kenapa rasanya sangat bahagia? Apa ini yang disebut bahagia tanpa alasan?
Hanya bahagia saja ... seperti fatamorgana digurun, yang tak nyata bisa terlihat nyata, dan karena ini semua nyata, rasanya lebih dari sekadar bahagia.
Mama harus mengabarkan ini kepada Dirga
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Astri Astuti
Good
2023-02-02
0