[19] Pembicaraan Hati ke Hati

Pukul tujuh malam, setelah menghabiskan waktu seharian dengan adonan, berbincang soal gaun pengantin, hingga pembicaraan ringan lainnya, Nina kemudian pamit pulang.

Hari ini cukup melelahkan. Belum ditambah dengan kenyataan bahwa hari pernikahannya kurang dari satu bulan lagi.

Statusnya akan berubah, semua hal tentangnya akan berubah. Nina mengerti risiko ini. Dia yang telah menyanggupi tawaran Mama. Toh kapanpun itu, akhirnya ia akan tetap menikah juga.

"Mama, Nina pulang dulu ya." Ia berdiri di ambang pintu masuk sambil mengulurkan tangannya mencium punggung tangan Mama.

"Hati-hati ya, Neng. Yakin nggak mau diantar Dirga?" Tanya Mama lagi, memastikan.

Nina menggeleng.

“Nggak, nggak apa-apa Ma. Nina bisa pulang sendiri. Mama tahu tadi nggak jauh terlalu jauh kan, ya? Ya sudah Ma, Nina pamit ya."

“Ya sudah. Hati-hati-“

“Nina! Tunggu! Saya antar saja.”

Ketika hendak berbalik, suara Dirga yang mendekat sambil menyerukan namanya, membuat Nina pun Mama menoleh. Laki-laki itu sudah siap dengan setelan santainya.

Kaus berwarna hijau tosca dan celana jeans berwarna khaki.

Dia menatap Nina dengan senyum.

“Nggak apa-apa, kan?” Tanyanya menatap perempuan disamping Mama itu.

“Nggak apa-apa, dong. Ayo, antar Nina A’. Mama jadi tenang kalau akhirnya kamu mau antar. Hati-hati ya, Neng. Titip Nina, A’.” Ujar Mama sumringah ketika melihat Dirga berinisiatif mengantar Nina pulang.

“Nina pamit ya, Ma. Assalamualaikum ...”

“Waalaikumsalam. Hati-hati ya, A’ bawa mobilnya.”

“Iya, Ma.”

Keduanya berjalan bersama menuju garasi. Dirga membukakan pintu untuk Nina, yang disambut respon sedikit kaget dari perempuan itu. Setelah mobil meninggalkan wilayah rumah, Dirga yang mengemudi disampingnya tampak sesekali melirik Nina yang sama-sama terdiam.

“Lelah ya, seharian ini menemani Mama membuat kukis?” Tanya Dirga memecah keheningan.

Nina meliriknya sebentar, kemudian beralih lagi pada jalanan di depan mereka.

“Biasa saja, saya sudah biasa, K—kak?” Ujar Nina tampak gamang dengan panggilannya pada Dirga.

“Senyaman kamu saja, jangan terlalu dengarkan ide Mama. Kalau Aa’ mungkin terlalu intim untuk kamu, panggil Kakak saja nggak apa-apa. Tapi ya … mungkin kalau ada Mama bisa panggil aku dengan cara lain. Oh by the way, kita pakai panggilan aku-kamu ya, supaya lebih akrab. Boleh?” Tanya Dirga sopan.

Nina mengangguk.

“Boleh, Kak. Maaf kalau Nina kurang asyik atau banyak diam. Sebetulnya ini pertama kalinya Nina diantar pulang sama laki-laki yang bukan keluarga Nina sendiri.” Jelasnya tiba-tiba. Dirga melirik Nina lagi. Dia tak menyangka jika Nina akan mengatakannya, bahkan sebelum Dirga menanyakannya.

Ya … walau dia nggak betul-betul berniat menanyakannya, sebab Nina mungkin tidak nyaman jika ia terlalu ingin tahu kenapa perempuan itu banyak diam.

“Santai saja, aku pun nggak sering-sering bawa perempuan selain Mama ke mobil ini. Oh ya, aku dengar kamu sedang skripsi kan? Maaf juga karena di hari lamaran itu, kita nggak sempat banyak ngobrol. Waktunya sangat mendadak sekaligus mepet dengan jadwal kerja aku di esok harinya. So … seperti permintaanku tadi pagi, mungkin kita bisa bicarakan beberapa hal hari ini. Kamu ada waktu? Kita cari jalan yang lebih jauh ya? Untuk cari waktu mengobrol.” Tawar Dirga, membuat Nina mengangguk.

“Boleh, terserah saja. Aku ada waktu kok, Kak,” Terangnya.

“Oh ya, tadi kakak tanya soal skripsi kan ya? Iya, Nina mahasiswi semester akhir  dan sedang masa skripsi.”

“Bab berapa?”

“Masih baru bab dua kak, masih awal dan cukup panjang.”

“Kamu ambil jurusan apa?”

“Ilmu politik, Kak.”

“Bagus juga …”

“Iya …” Balas Nina singkat.

Keduanya mendadak terdiam untuk yang kedua kalinya. Dirga kembali melirik Nina, menimbang untuk melontarkan pertanyaan berikutnya.

“Waktu itu aku merasa puas dengan jawaban kamu, soal apakah kamu khawatir atau nggak dengan bagaimana aku nantinya. Kalau boleh jujur, kamu menarik dimataku, Nin. Sebetulnya banyak hal yang perlu kita bicarakan, berhubung kita akan jadi partner hidup selamanya. Lucu ya? Kita akan jadi partner, tapi baru mengenal sebatas latar belakang masing-masing. Usia kamu berapa, Nin?” Tanya Dirga lagi.

Nina mengerti alasan mengapa Dirga ingin mengantarnya. Laki-laki itu pasti ingin lebih mengenalnya, sesuai apa yang ia katakan pagi tadi.

“Saya—aku dua puluh satu tahun, Kak, jalan dua puluh dua. Kalau seingatku, Kak Dirga usianya dua puluh tujuh tahun ya? Mama kalau nggak salah pernah cerita. Ternyata gapnya cukup terasa, ya …” Ujar Nina sedikit ragu dengan kata-katanya. Khawatir jika Dirga merasa tidak nyaman dengan bahasan umur yang ia lontarkan barusan.

“Kayaknya kamu tahu lebih banyak tentang aku, dibandingkan aku tahu tentang kamu. Mama pasti menceritakan banyak hal, kan?”

Nina terkekeh.

“Mungkin karena aku yang ketemu Mama duluan, Kak. Berhubung kita baru bertemu setelah lamaran, maka seperti yang Kakak bilang tadi, kita bahkan belum banyak bicara setelah hari itu.”

“Iya, aku bercanda saja kok. Anyway, Nin, kamu sebelumnya punya pacar, kah?” Tanya Dirga lagi.

Nina menggeleng.

“Nggak, Kak. Banyak hal yang jadi pertimbangan Nina untuk nggak berpacaran, walau mungkin bisa. Nina hidup sendiri di Jakarta. Uang pun masih dari orang tua dan tambahan beasiswa, nggak mungkin Nina bergaya macam-macam.”

Dirga mengangguk seraya melirik Nina sekali lagi.

Berdasarkan ceritanya, Dirga percaya itu. Nina bukan tipe perempuan yang terlalu banyak tingkah, walau diawal Dirga merasa jika Nina memanfaatkan keadaan dengan menerima tawaran Mama. Tapi jika itu Dirga yang menemuinya lebih dulu, dan mungkin dalam keadaan lain, ia akan mempertimbangkan Nina juga. Berhubung Mama yang lebih dulu menemuinya dengan mencetuskan ide dadakan yang menurut Dirga cukup berani, tapi perlahan dia menerima itu. Nina bukan semata-mata memanfaatkannya. Setelah lamaran hari itu, Mama sempat cerita padanya jika Nina menghubungi Mama lagi saat itu bukan karena dia ingin menjadi seperti apa yang Mama tawarkan—maksudnya menantu—melainkan asisten rumah tangga yang menginap. Nina juga cerita pada Mama kalau ia terancam keluar dari kostnya saat ini karena masalah biaya. Berhubung sedang masa skripsi dan tak ada lagi mata kuliah, dia berpikir untuk menerima dua job sekaligus. Di rumah Bu Lilis dan di Mama—itu kisah awal mula yang Mama ceritakan. Setelahnya, ia hanya tahu jika Nina menerima lamaran ini untuk tujuan ibadah, dan enggan menolak rejeki jodoh.

Nina memang perempuan yang datang dari kampung. Tapi ia orang yang cerdas dengan segala pemikirannya, berdasarkan cerita Mama.

Dirga membuktikan itu, secara perlahan.

“Keren juga pemikiran kamu. Tapi sekarang, tiba-tiba kamu akan menikah? Apa hal ini nggak menakutkan buat kamu?” Tanya Dirga lagi.

Nina seolah menimbang pertanyaan Dirga setelah melirik laki-laki itu lagi.

“Apa seseorang yang nggak pernah tinggal dihutan, lalu tiba-tiba berniat tinggal disana untuk selamanya, nggak pernah merasa takut kak? Tentunya dia takut, walau konyol karena mau-maunya dia mencoba hal itu. Terlebih ini pernikahan, coba-coba sangat nggak masuk akal, dan aku memilih jalan ini padahal tahu risikonya. Berhubungan dengan laki-laki saja aku nggak pernah, tapi sudah mau menikah dengan satu orang yang akhirnya aku pilih—walau nggak pernah masuk bayanganku. Aku takut kok, Kak. Pernah takut. Tapi aku coba mengikhlaskannya untuk tujuan ibadah, sudah terlanjur dapat tawaran seperti ini. Awalnya aku memang ingin melamar untuk bekerja pada Mama, tapi Mama penginnya aku jadi menantunya. Ini hanya soal waktu saja, kan? Kapan pun itu, jika Kak Dirga memang jodohku, kita pasti akan tetap bertemu. Well, mungkin pendapatku ini terkesan naif, tapi aku nggak mau berlebihan jika memang sudah ada jalan baik yang ditawarkan padaku,” Ujarnya.

Tahu-tahu perempuan itu menatap Dirga disampingnya.

“Apa Kak Dirga nggak yakin dengan rencana ini? Dengan siapa pasangan Kakak nantinya?” Lanjut Nina, menanyakannya pertanyaan yang sebetulnya sejak awal menjadi kekhawatiran Dirga. Walau dia sudah mengetahui Nina, dia tetap khawatir karena ini akan menjadi tanggung jawab yang lebih besar dari apapun.

Apalagi dia punya masa lalu yang masih mengelilingi hari-harinya.

Novia …

Perempuan itu kembali menguak perasaan suka yang telah Dirga kubur. Bukannya ia ingin mengembalikan rasa itu, dan menerima Novia kembali setelah semua yang perempuan itu lontarkan, Dirga hanya takut jika ia bimbang. Jalan menuju pernikahan ini tak lama lagi, tapi kenapa Dirga menjadi takut, padahal Novia masih menjadi milik orang lain—walau perempuan itu menampik kenyataan yang ada, karena masalah diantaranya dan suami.

“Aku bukannya nggak yakin. Kamu tahu sendiri, Nin, aku dipihak laki-laki, jika nantinya aku nggak bertanggung jawab dengan istriku, aku takut akan merugikan banyak pihak. Terutama kamu. Ya … itu sih ketakutan yang nggak berdasar saja, sementara aku pun belum menjalaninya. Mungkin juga karena ada masa lalu ku yang belum selesai. Tapi nggak, aku sudah coba ikhlaskan sama seperti kamu. Benar yang kamu bilang, sejauh apapun kita berpisah, toh jika berjodoh kita akan tetap bersatu. Hanya soal waktu, kan? Gap usia seperti ini sebetulnya biasa saja, hanya agak terasa karena kamu masih sekolah, dan aku sudah kerja. Lagipula kuliahmu sudah mau selesai, kan? Nggak masalah, lah.” Jawab Dirga santai.

Dia tak mau jika Nina merasa bertepuk sebelah tangan. Semua perkara Novia hanya berkaitan dengan perasaannya saja. Toh, Dirga pun saat ini sendiri. Ia tak bisa memaksakan Novia lagi walau apapun yang nantinya terjadi.

“Terima kasih ya Kak sudah memberikan jawaban untuk semua kekhawatiran Nina jika Kak Dirga nggak mau menerima Nina dan pernikahan kita nantinya. Nina titip satu hal ya, kak. Boleh?” Tanya Nina.

Dirga yang sesekali mengalihkan fokus kearah jalan di depannya, menatap Nina sebentar.

“Silahkan …”

“Kalau nanti Nina punya salah, tolong jangan perlakukan Nina dengan kasar ya, kak? Kakak boleh marah sama Nina, tapi tolong jangan pukul Nina.” Pintanya.

Dirga tak menjawab.

Nina kembali berujar.

“Oh ya, kalau nanti pun Kakak sudah bosan atau nggak cocok lagi sama Nina, tolong pulangkan Nina baik-baik ke Emak dan Abah, ya? Mereka masih mau menjaga Nina, walau ini hanya ketakutan seperti yang Kak Dirga bilang tadi, belum tentu terjadi. Sebagai antisipasi, Nina bilang ini dulu di awal, ya? Berhubung kita bertemu, dan akan bersatu dengan cara yang sedikit nggak biasa.” Putusnya penuh harap.

Dirga hanya bisa menarik napasnya pelan merespon permintaan yang Nina lontarkan.

Dia mungkin takut jika nantinya tak bertanggung jawab, tapi jika Dirga khilaf dan melakukan kesalahan seperti yang suaminya Novia lakukan, ia tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri, dan tentunya akan mengembalikan Nina kepada kedua orang tuanya.

Walau Dirga berdoa agar semua itu tidak terjadi.

Setidaknya jangan biarkan Dirga melakukan hal itu, ia tahu bagaimana rasa sakit yang Novia rasakan.

Dia tak ingin Nina merasakan itu.

Terpopuler

Comments

Astri Astuti

Astri Astuti

good jòob

2023-02-02

0

lihat semua
Episodes
1 [1] Dirga dan Isi Hatinya!
2 [2] Menyimpang?
3 [3] Kriteria Calon Pasangan
4 [4] Mengkondisikan Mama dan Curhat Bersama Bestie!
5 [5] Nina dan Masalah Hidupnya!
6 [6] Tapi ... Kenapa Harus Nina?
7 [7] Novia dan si Babysitter
8 [8] Insting Seorang Ibu
9 [9] Karena Diusir Dari Kost ...
10 [10] Teteh Mau Menikah?
11 [11] Hari Lamaran dan Perasaan Gamang
12 [12] Antara Orang Tua dan Perasaan
13 [13] Masalah Dirga dan Kekhawatiran Nina
14 [14] Masalah Baru Dengan Novia dan Harapan Nina
15 [15] Terjebak Stockholme Sindrom Tak Terduga (1)
16 [16] Terjebak Stockholme Sindrom Tak Terduga (2)
17 [17] Bertemu Nina dan Ingatan Soal Hari Itu
18 [18] Tanggal Dua Puluh Enam Bulan Depan?
19 [19] Pembicaraan Hati ke Hati
20 [20] Keyakinanku Padamu
21 [21] Bertemu Muhadi-Lagi dan Kemarahan Dirga
22 [22] Kisah Stockholme Sindrom Nina Masih Berlanjut
23 [23] Khawatir Walau Nama Nina Belum Terukir Dihatinya
24 [24] Perkara Honeymoon
25 [25] Kelahiran Wahda dan Bayangan Menjadi Ayah
26 [27] Jangan Menjadi Seperti Papa
27 [26] Berkah Orang Yang Ingin Menikah
28 [28] Problematika Manusia Dewasa
29 [29] Suka dan Duka Selalu Ada
30 [30] Harus Lebih Bersyukur
31 [32] Mencari Keberadaan Papa (1)
32 [33] Mencari Keberadaan Papa (2)
33 [31] Teringat Papa
34 [34] Hari Pernikahan
35 [35] Bercengkrama Dengan Para Tamu
36 [36] Melihat Papa dan Kedatangan Tiba-Tiba Novia?
37 [37] Segala Hal Campur Aduk Hari Ini
38 [38] Malam Pertama Sebagai Suami dan Istri
39 [39] Setelah Malam Pertama ada Hari Pertama Sebagai Pasangan
40 [40] Honeymoon Ke Lombok?
41 [41] Keinginan yang Terhalang Trauma Masa Lalu
42 [42] Sedikit Late Night Talk Akibat Insomnia
43 [43] Dirga Normal dan Bahasan Soal Anak
44 [44] Tersipu Malu Karena Suamiku
45 [45] Dirga Yang Mendadak Khawatiran
46 [46] Siapa Sebenarnya yang Dirga Telepon?
47 [47] Titik Terang Keberadaan Papa dan Prioritas Baru Dirga
48 [48] Mimpi Buruk, Pertanda Apa?
49 [49] Suaminya Kenapa, Sih?
50 [50] Semua Gara-Gara Ucup dan Parno itu!
51 [51] Melupakan Memori Lalu
52 [52] Karena Surat Abah Untuk Dirga
53 [53] Jalan-Jalan Pertama
54 [54] Love Language Dirga dan Ide Mama
55 [55] Takut Jatuh Cinta?
56 [56] Isi Hati Nina
57 [57] Antara Perasaan dan Kebutuhan?
58 [58] Bukan Hanya Masalah Nina, Tapi Juga Masalah Keluarga
59 [59] Mengurus Lila dan Mama Serta Kenyataan Sebenarnya
60 [60] Kepulangan Dirga
61 [61] Nina Hanya Mencintai Suaminya!
62 [62] Dirga Marah dan Pertemuan dengan Papa
63 [63] Perasaan Rindu Sekaligus Terluka
64 [64] Saran Baru Dari Kak Layla
65 [65] Pergi Satu, Datang Satu.
66 [66] Dia Rifai Muhadi?
67 [67] Kenyataan Yang Sulit Diterima
68 [69] Menunggu Kepastian Akan Firasat Nina
69 [70] Pertemuan Mengharukan
70 [71] Menuju Akhir Kisah Ini
71 [72] Kehamilan Nina
72 [73] Soon To Be 3 Of Us
73 [74] Perjalanan Baru dan Akhir Kisah
Episodes

Updated 73 Episodes

1
[1] Dirga dan Isi Hatinya!
2
[2] Menyimpang?
3
[3] Kriteria Calon Pasangan
4
[4] Mengkondisikan Mama dan Curhat Bersama Bestie!
5
[5] Nina dan Masalah Hidupnya!
6
[6] Tapi ... Kenapa Harus Nina?
7
[7] Novia dan si Babysitter
8
[8] Insting Seorang Ibu
9
[9] Karena Diusir Dari Kost ...
10
[10] Teteh Mau Menikah?
11
[11] Hari Lamaran dan Perasaan Gamang
12
[12] Antara Orang Tua dan Perasaan
13
[13] Masalah Dirga dan Kekhawatiran Nina
14
[14] Masalah Baru Dengan Novia dan Harapan Nina
15
[15] Terjebak Stockholme Sindrom Tak Terduga (1)
16
[16] Terjebak Stockholme Sindrom Tak Terduga (2)
17
[17] Bertemu Nina dan Ingatan Soal Hari Itu
18
[18] Tanggal Dua Puluh Enam Bulan Depan?
19
[19] Pembicaraan Hati ke Hati
20
[20] Keyakinanku Padamu
21
[21] Bertemu Muhadi-Lagi dan Kemarahan Dirga
22
[22] Kisah Stockholme Sindrom Nina Masih Berlanjut
23
[23] Khawatir Walau Nama Nina Belum Terukir Dihatinya
24
[24] Perkara Honeymoon
25
[25] Kelahiran Wahda dan Bayangan Menjadi Ayah
26
[27] Jangan Menjadi Seperti Papa
27
[26] Berkah Orang Yang Ingin Menikah
28
[28] Problematika Manusia Dewasa
29
[29] Suka dan Duka Selalu Ada
30
[30] Harus Lebih Bersyukur
31
[32] Mencari Keberadaan Papa (1)
32
[33] Mencari Keberadaan Papa (2)
33
[31] Teringat Papa
34
[34] Hari Pernikahan
35
[35] Bercengkrama Dengan Para Tamu
36
[36] Melihat Papa dan Kedatangan Tiba-Tiba Novia?
37
[37] Segala Hal Campur Aduk Hari Ini
38
[38] Malam Pertama Sebagai Suami dan Istri
39
[39] Setelah Malam Pertama ada Hari Pertama Sebagai Pasangan
40
[40] Honeymoon Ke Lombok?
41
[41] Keinginan yang Terhalang Trauma Masa Lalu
42
[42] Sedikit Late Night Talk Akibat Insomnia
43
[43] Dirga Normal dan Bahasan Soal Anak
44
[44] Tersipu Malu Karena Suamiku
45
[45] Dirga Yang Mendadak Khawatiran
46
[46] Siapa Sebenarnya yang Dirga Telepon?
47
[47] Titik Terang Keberadaan Papa dan Prioritas Baru Dirga
48
[48] Mimpi Buruk, Pertanda Apa?
49
[49] Suaminya Kenapa, Sih?
50
[50] Semua Gara-Gara Ucup dan Parno itu!
51
[51] Melupakan Memori Lalu
52
[52] Karena Surat Abah Untuk Dirga
53
[53] Jalan-Jalan Pertama
54
[54] Love Language Dirga dan Ide Mama
55
[55] Takut Jatuh Cinta?
56
[56] Isi Hati Nina
57
[57] Antara Perasaan dan Kebutuhan?
58
[58] Bukan Hanya Masalah Nina, Tapi Juga Masalah Keluarga
59
[59] Mengurus Lila dan Mama Serta Kenyataan Sebenarnya
60
[60] Kepulangan Dirga
61
[61] Nina Hanya Mencintai Suaminya!
62
[62] Dirga Marah dan Pertemuan dengan Papa
63
[63] Perasaan Rindu Sekaligus Terluka
64
[64] Saran Baru Dari Kak Layla
65
[65] Pergi Satu, Datang Satu.
66
[66] Dia Rifai Muhadi?
67
[67] Kenyataan Yang Sulit Diterima
68
[69] Menunggu Kepastian Akan Firasat Nina
69
[70] Pertemuan Mengharukan
70
[71] Menuju Akhir Kisah Ini
71
[72] Kehamilan Nina
72
[73] Soon To Be 3 Of Us
73
[74] Perjalanan Baru dan Akhir Kisah

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!