[2] Menyimpang?

Pagi hari setelah tiba di rumah, Dirga keluar kamar dan menemukan pemandangan Mama yang tengah memasak banyak makanan.

Ia merasa tak habis pikir ketika memperhatikan beliau menyiapkan semua makanan yang menghabiskannya saja tak sampai lima menit, tapi membuatnya bisa lebih dari lima jam.

Melirik cermin di dekat buffet, pantulan dirinya sudah tampak bak zombie. Mata penuh kantung dengan kulit yang sudah tidak semulus dulu.

Kalau kata Wahda-sahabatnya semasa sekolah, wajahnya dulu sangat berbeda dengan sekarang. Dirga yang lalu, benar-benar berkulit seperti pantat bayi. Bukan tanpa alasan, banyaknya bahan pelembut untuk anak dan wajah, benar-benar jatuh secara instan kepadanya.

Mama benar-benar memprioritaskan Dirga setelah sang kakak tiada. Semua bahan kecantikan milik perempuan, lotion, dan bau-bauan juga pembersih lain, jadi jatuh padanya hingga Wahda menyebutnya tumbal keberuntungan.

Menghasilkan paras tampan dengan wajah ala artis korea yang manis.

Walau tak lagi berlaku untuk sekarang. Dirga kembali menjadi dirinya dengan kulit sedikit gelap, dan cambang yang tercukur rapi.

"Kamu jangan lihat Mama kayak setan gitu deh, A'. Cuci muka sana!" Suruh Mama meradar atensinya.

"Sudah cuci muka, ini. Masa Mama nggak lihat anaknya ganteng begini, sih?" Elaknya bergerak dengan rasa bosan, maju mendekati meja makan.

Duduk sambil minum kopi agaknya lebih baik.

Dirga pulang sore, kemarin, karena moodnya hancur setelah pertemuan paling dihindari dengan Novia benar-benar terjadi. Masa bodo lah sama waktu libur yang singkat.

Keluar dari area stasiun, tak langsung menuju rumah, ia memilih memutari kota Jakarta menggunakan motor besarnya sampai panggilan sholat subuh menghentikan kegiatannya.

Dilaksanakanlah kewajibannya pada sang pencipta sebelum memulai hari-harinya kembali.

Selesai sholat, ia tak langsung pulang. Dirga lebih memilih mampir ketempat-tempat yang menurutnya menyenangkan. Membawa dirinya beserta beberapa hadiah untuk ia berikan pada anak-anak kurang beruntung diluar sana. Terlalu banyak yang kurang beruntung, sementara yang beruntung pun tak kalah banyaknya. Dunia hampir menjadi dua kubu dengan si miskin dan si kaya yang punya tingkatan sama.

Kadang, Dirga berpikir kesenangannya sejak masih sekolah ini dianggap aneh oleh segelintir orang. Walau ia sebetulnya tak perlu repot-repot mengurusi orang lain, yang nyatanya sama sekali tak peduli dengan orang-orang itu.

Biarlah, Dirga enggan mengomentari lebih. Mereka biarlah mereka, dirinya tak boleh diganggu gugat.

Baru sekitar jam empat sore dia pulang kerumah dan menerima imbas kemarahan ibu ratu yang sudah sangat dirindukannya, walau terkadang sebal juga ketika mengingat permintaan beliau.

Mama selalu membuatnya baper dengan minta menantu.

Satu hal yang Mama tahu tentangnnya, kalau Dirga sudah marah lalu minggat dari rumah, ia akan mencuri kue-kue pesanan untuk dibagikan pada teman-temannya dijalanan. Dan yang Dirga benar-benar senang adalah, mereka telah menjadi orang sekarang. Dulu ada satu anak yang putus sekolah di kelas dua menengah pertama. Tapi kini, Dirga lihat dia sudah berkuliah dengan bekerja karena tak putus semangat untuk belajar. Dari situ Dirga jadi bangga dengan mereka-dan tentu dirinya-dimana bisa memiliki hobi yang positif untuk mengisi waktu.

Dirga remaja sebetulnya cenderung nakal, tapi dalam batas yang normal sebagai remaja.

Kadang para sahabatnya kerap kali bingung, mengapa Dirga selalu bisa menang taruhan dengan mereka, dan akhirnya uang-uang yang terkumpul tak pernah terlihat jatuh pada dirinya sendiri. Bahkan Rehan sering merasa sedih melihat Dirga yang tak jarang hanya meminta makan dari bekal Wahda, karena uang bulananya habis untuk isi pahala.

Begitu katanya.

Semua masa lalu itu tak hilang, Dirga yang dermawan sejak dulu, masih ada pada dirinya saat ini.

Berdiri di depan meja, tangannya mengaduk kopi hitam bergula itu hingga menimbulkan asap tinggi yang menabrak langit-langit rumah. Aroma robusta menyucuk cuping hidungnya secara acak. Ada sensasi segar dari kafein yang memabukkan, serta cantik dari perpaduan manis gula dan pahitnya kopi.

Sepahit takdir kesendiriannya.

Ugh, lagi-lagi Dirga baper.

"Nggak level sama yang buat kopi sendiri." Sindiran sakartik itu jatuh tercelup kedalam hatinya.

Betapa tega Mama membiarkannya merasakan pedih dari sindiran andalan beliau.

Dirga berdecak ketika selesai menyesap kopinya.

"Masih mendinglah buat sendiri, daripada menunggu yang buat, malah nggak ngopi-ngopi. Iya, nggak, Cup?" Dirga mematut radarnya pada Ucup yang tengah memandanginya datar di bawah kursi. Entah apa yang ada dalam pikiran kucing kesayangan Mama itu. Mungkin juga ia sedang meledek Dirga dengan wajah datar semulus jalan tol miliknya.

"Kamu jangan hanya bisa balas Mama, wae, A'. Cari istri sungguh-sungguh supaya nggak buat kopi sendiri, plus nyicip kopi sendiri." Ujar Mamah lagi, masih fokus menumpuk makanan-makanan itu tinggi-tinggi didalam wadah bertutup yang masing-masing warnanya beragam. Tak membalas, Dirga memilih diam menikmati kopinya.

Entah mau Mamah kemanakan makanan itu. Dia bahkan tak tahu jika Mama akan menyisakan setidaknya satu mangkuk untuk ia nikmati.

"Mama tahu, anak Mama suka makan, nggak mungkin nggak disisakan," Tambah Mama, seperti bisa membaca pikirannya.

Dirga berdecak.

Si Mama hebat juga, pikirnya.

"Mama mau ke rumah Bu RT dulu ya, mau arisan." Terang Mama bersiap dengan setelan andalannya.

Tentengan berisi makanan itu di letakan meninggi diatas meja makan tepat didepan matanya. Walau mual melihat cara masak yang benar-benar memakan waktu, soal makan sendiri Dirga tak akan menolak selama itu enak dan tak perlu susah-susah membuatnya.

"Rumpi aja repot betul si Mama, teh." gerutu Dirga yang ditangkap Mama dengan cepat.

"Ngomong apa, kamu?" Tegur Mama sebal.

Biar umur Mama sudah kepala lima, tapi pendengarannya benar-benar secepat kelelawar.

"Enggak, Mama sudah cantik habis masak. Langsung kerumah Bu RT saja. Nanti juga Aa' mau kerumah si Wahda, sudah janjian. Sama si Saiful juga. Eh, Rehan juga deh." Terlalu sibuk memikirkan soal kepahitan hidup membuat Dirga jadi berpikir kemana-mana sampai teman-teman se-gengnya saja dia lupa.

"Jangan main mulu kamu, A', cari istri. Main nggak bermanfaat buat orang setua kamu. Apalagi mainnya sama anak Pak RW, Si Wahda, kan dia sudah nikah sama Gibran. Nggak baik bawa-bawa istri orang keluar-keluar." Tegur Mama lagi.

Dirga berdecak, "Ih si Mama ya, si Wahda mah nggak kayak wanita biasanya mah. Dia memang wanita di depan Gibran, tapi dia nggak lebih dari preman pasar kalau sama kita." Terangnya asal.

Dirga jadi tertawa tiba-tiba mengingat wajah bodoh Wahda saat kepergok meloncati pagar, karena terburu hingga roknya robek sebatas paha. Dia abai saja sehingga yang geger justru ketiga temannya. Paha Wahda mulus sekali sampai Rehan tak berhenti meneguk saliva. Namun kemudian Saiful mengingatkan kalau paha mulus Wahda hanya ilusi mata atau de javu sesaat. Setelahnya, mereka larut pada keseruan anak remaja yang lari-larian bermandi air hujan di lapangan komplek.

"Ya tapi tahu lah konteksnya. Wahda sudah nggak se-bebas dulu. Jangan langkahi Gibran. Minta izin dia dulu," Dirga mengangguk, "Sudah pasti Mama. Pak dokter pasti kasih izin. Kita pun hanya ngobrol saja dirumah Wahda palingan."

"Ya sudah, Mama berangkat dulu. Kalau mau makan, nanti hangatkan saja, ya? Langsung mandi, A', nggak bagus mandi sampai sore. Dah ya, Assalamualaikum." Ujar Mama kemudian berjalan keluar rumah.

-

"Bu, Naira berapa usianya?"

"Baru masuk enam bulan. Bundanya repot sama kerjaan terus, Nairanya nempel sama saya jadinya."

Mama mengangguk sambil memandangi wajah lucu bocah perempuan dalam pangkuan bu Rosmi itu.

Ah, jadi pengin nimang cucu, pikir Mamah.

Arisan komplek memang tak seheboh arisan para sosialita. Karena uang yang limitnya pasti habis, sementara para sosialita uangnya bak internet promo yang unlimited sebulan. Mama benar-benar tampak sumringah ditemani banyak ibu-ibu dengan para bayi yang mengoceh lucu di beberapa sudut rumah. Mama yang paling tua disini, sedang yang lainnya banyak ibu muda dan nenek muda.

"Kata Wahda, Mulia pulang ya, bu?" Bu RW menepuk bahu Mama ketika beliau asyik mencomot keripik pisang yang dibuat Teh lilis.

Orang-orang memang kerap menyapa Dirga dengan panggilan Mulia, karena panggilan Dirga sebelumnya dimiliki juga oleh anak komplek yang lebih tua darinya. Hingga saat itu, orang-orang yang mengenalnya secara dekat atau sudah sangat mengenalnya, pasti memanggilnya Mulia.

Mamah menoleh.

"Iya bu. Pasti Wahda cerita? Maaf ya, si Dirga sukanya ganggu istri orang." Sergah Mama, merasa tak enak dengan bu RW.

Mamah jadi malu ditanya bu RW.

"Enggak atuh bu, si Wahda justru jadi punya pengawal dari kecil, sudah besar 'kan jadi nggak lecet. Untung Kang Gibran lah kalau begitu, teh." Elak Bu RW-Ibu Wahda- membuat Mama merasa lega.

Mereka tertawa bersama.

"Omong-omong, sudah ada calon, bu?" tanya bu RW lagi. Kali ini dengan pertanyaan yang terkesa kepo. Namanya ibu-ibu, pasti tak jauh dari rumpi-rumpi manis yang ujung-ujungnya kecut. Mama malas sebenarnya membahas hal ini.

Kenapa juga Dirga harus main sama anak yang ibunya satu arisan sama Mama, pikir Mamah jadi sebal.

"Belum, masih menunggu giliran, yang paling baik insyaAllah," elak Mamah dengan halus, diselingi tawa kecut.

Batu memang orang seperti Dirga itu. Dia terlalu terorganisir orangnya. Harus kenal, yang baik, harus dekat dan yang pasti harus cinta-oh satu lagi, harus wanita Kartini. Untuk yang terakhir itu, tahu maksudnya saja Mama tidak.

"Dicarikan saja bu. Takut kayak si Jefri, anaknya bu Elmi, malah menyimpang katanya." terang bu RW spontan.

Mamah menutup mulutnya kaget.

Menyimpang? Belok maksudnya?

Belok orientasi seksnya? Aduh!

Terpopuler

Comments

Astri Astuti

Astri Astuti

first bagus ceritanya nggak bertele tele

2023-02-02

0

lihat semua
Episodes
1 [1] Dirga dan Isi Hatinya!
2 [2] Menyimpang?
3 [3] Kriteria Calon Pasangan
4 [4] Mengkondisikan Mama dan Curhat Bersama Bestie!
5 [5] Nina dan Masalah Hidupnya!
6 [6] Tapi ... Kenapa Harus Nina?
7 [7] Novia dan si Babysitter
8 [8] Insting Seorang Ibu
9 [9] Karena Diusir Dari Kost ...
10 [10] Teteh Mau Menikah?
11 [11] Hari Lamaran dan Perasaan Gamang
12 [12] Antara Orang Tua dan Perasaan
13 [13] Masalah Dirga dan Kekhawatiran Nina
14 [14] Masalah Baru Dengan Novia dan Harapan Nina
15 [15] Terjebak Stockholme Sindrom Tak Terduga (1)
16 [16] Terjebak Stockholme Sindrom Tak Terduga (2)
17 [17] Bertemu Nina dan Ingatan Soal Hari Itu
18 [18] Tanggal Dua Puluh Enam Bulan Depan?
19 [19] Pembicaraan Hati ke Hati
20 [20] Keyakinanku Padamu
21 [21] Bertemu Muhadi-Lagi dan Kemarahan Dirga
22 [22] Kisah Stockholme Sindrom Nina Masih Berlanjut
23 [23] Khawatir Walau Nama Nina Belum Terukir Dihatinya
24 [24] Perkara Honeymoon
25 [25] Kelahiran Wahda dan Bayangan Menjadi Ayah
26 [27] Jangan Menjadi Seperti Papa
27 [26] Berkah Orang Yang Ingin Menikah
28 [28] Problematika Manusia Dewasa
29 [29] Suka dan Duka Selalu Ada
30 [30] Harus Lebih Bersyukur
31 [32] Mencari Keberadaan Papa (1)
32 [33] Mencari Keberadaan Papa (2)
33 [31] Teringat Papa
34 [34] Hari Pernikahan
35 [35] Bercengkrama Dengan Para Tamu
36 [36] Melihat Papa dan Kedatangan Tiba-Tiba Novia?
37 [37] Segala Hal Campur Aduk Hari Ini
38 [38] Malam Pertama Sebagai Suami dan Istri
39 [39] Setelah Malam Pertama ada Hari Pertama Sebagai Pasangan
40 [40] Honeymoon Ke Lombok?
41 [41] Keinginan yang Terhalang Trauma Masa Lalu
42 [42] Sedikit Late Night Talk Akibat Insomnia
43 [43] Dirga Normal dan Bahasan Soal Anak
44 [44] Tersipu Malu Karena Suamiku
45 [45] Dirga Yang Mendadak Khawatiran
46 [46] Siapa Sebenarnya yang Dirga Telepon?
47 [47] Titik Terang Keberadaan Papa dan Prioritas Baru Dirga
48 [48] Mimpi Buruk, Pertanda Apa?
49 [49] Suaminya Kenapa, Sih?
50 [50] Semua Gara-Gara Ucup dan Parno itu!
51 [51] Melupakan Memori Lalu
52 [52] Karena Surat Abah Untuk Dirga
53 [53] Jalan-Jalan Pertama
54 [54] Love Language Dirga dan Ide Mama
55 [55] Takut Jatuh Cinta?
56 [56] Isi Hati Nina
57 [57] Antara Perasaan dan Kebutuhan?
58 [58] Bukan Hanya Masalah Nina, Tapi Juga Masalah Keluarga
59 [59] Mengurus Lila dan Mama Serta Kenyataan Sebenarnya
60 [60] Kepulangan Dirga
61 [61] Nina Hanya Mencintai Suaminya!
62 [62] Dirga Marah dan Pertemuan dengan Papa
63 [63] Perasaan Rindu Sekaligus Terluka
64 [64] Saran Baru Dari Kak Layla
65 [65] Pergi Satu, Datang Satu.
66 [66] Dia Rifai Muhadi?
67 [67] Kenyataan Yang Sulit Diterima
68 [69] Menunggu Kepastian Akan Firasat Nina
69 [70] Pertemuan Mengharukan
70 [71] Menuju Akhir Kisah Ini
71 [72] Kehamilan Nina
72 [73] Soon To Be 3 Of Us
73 [74] Perjalanan Baru dan Akhir Kisah
Episodes

Updated 73 Episodes

1
[1] Dirga dan Isi Hatinya!
2
[2] Menyimpang?
3
[3] Kriteria Calon Pasangan
4
[4] Mengkondisikan Mama dan Curhat Bersama Bestie!
5
[5] Nina dan Masalah Hidupnya!
6
[6] Tapi ... Kenapa Harus Nina?
7
[7] Novia dan si Babysitter
8
[8] Insting Seorang Ibu
9
[9] Karena Diusir Dari Kost ...
10
[10] Teteh Mau Menikah?
11
[11] Hari Lamaran dan Perasaan Gamang
12
[12] Antara Orang Tua dan Perasaan
13
[13] Masalah Dirga dan Kekhawatiran Nina
14
[14] Masalah Baru Dengan Novia dan Harapan Nina
15
[15] Terjebak Stockholme Sindrom Tak Terduga (1)
16
[16] Terjebak Stockholme Sindrom Tak Terduga (2)
17
[17] Bertemu Nina dan Ingatan Soal Hari Itu
18
[18] Tanggal Dua Puluh Enam Bulan Depan?
19
[19] Pembicaraan Hati ke Hati
20
[20] Keyakinanku Padamu
21
[21] Bertemu Muhadi-Lagi dan Kemarahan Dirga
22
[22] Kisah Stockholme Sindrom Nina Masih Berlanjut
23
[23] Khawatir Walau Nama Nina Belum Terukir Dihatinya
24
[24] Perkara Honeymoon
25
[25] Kelahiran Wahda dan Bayangan Menjadi Ayah
26
[27] Jangan Menjadi Seperti Papa
27
[26] Berkah Orang Yang Ingin Menikah
28
[28] Problematika Manusia Dewasa
29
[29] Suka dan Duka Selalu Ada
30
[30] Harus Lebih Bersyukur
31
[32] Mencari Keberadaan Papa (1)
32
[33] Mencari Keberadaan Papa (2)
33
[31] Teringat Papa
34
[34] Hari Pernikahan
35
[35] Bercengkrama Dengan Para Tamu
36
[36] Melihat Papa dan Kedatangan Tiba-Tiba Novia?
37
[37] Segala Hal Campur Aduk Hari Ini
38
[38] Malam Pertama Sebagai Suami dan Istri
39
[39] Setelah Malam Pertama ada Hari Pertama Sebagai Pasangan
40
[40] Honeymoon Ke Lombok?
41
[41] Keinginan yang Terhalang Trauma Masa Lalu
42
[42] Sedikit Late Night Talk Akibat Insomnia
43
[43] Dirga Normal dan Bahasan Soal Anak
44
[44] Tersipu Malu Karena Suamiku
45
[45] Dirga Yang Mendadak Khawatiran
46
[46] Siapa Sebenarnya yang Dirga Telepon?
47
[47] Titik Terang Keberadaan Papa dan Prioritas Baru Dirga
48
[48] Mimpi Buruk, Pertanda Apa?
49
[49] Suaminya Kenapa, Sih?
50
[50] Semua Gara-Gara Ucup dan Parno itu!
51
[51] Melupakan Memori Lalu
52
[52] Karena Surat Abah Untuk Dirga
53
[53] Jalan-Jalan Pertama
54
[54] Love Language Dirga dan Ide Mama
55
[55] Takut Jatuh Cinta?
56
[56] Isi Hati Nina
57
[57] Antara Perasaan dan Kebutuhan?
58
[58] Bukan Hanya Masalah Nina, Tapi Juga Masalah Keluarga
59
[59] Mengurus Lila dan Mama Serta Kenyataan Sebenarnya
60
[60] Kepulangan Dirga
61
[61] Nina Hanya Mencintai Suaminya!
62
[62] Dirga Marah dan Pertemuan dengan Papa
63
[63] Perasaan Rindu Sekaligus Terluka
64
[64] Saran Baru Dari Kak Layla
65
[65] Pergi Satu, Datang Satu.
66
[66] Dia Rifai Muhadi?
67
[67] Kenyataan Yang Sulit Diterima
68
[69] Menunggu Kepastian Akan Firasat Nina
69
[70] Pertemuan Mengharukan
70
[71] Menuju Akhir Kisah Ini
71
[72] Kehamilan Nina
72
[73] Soon To Be 3 Of Us
73
[74] Perjalanan Baru dan Akhir Kisah

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!