Malam kian larut. Sunyi kian terasa mencekam.
Harusnya, semua orang terlelap dalam tidur dan dalam mimpinya. Tetapi tidak dengan Seruni.....
Gadis mungil itu masih setia dengan matanya yang terus terjaga sepanjang malam.
Pikirannya terbang berkelana. Tak ada suara riuh dan gaduh para penumpang dalam kereta, yang ada hanya suara gerakan kereta yang terdengar lantang di tengah sunyinya malam.
Raganya mungkin semakin menjauh dari orang-orang masa lalunya, tetapi tidak dengan hatinya. Dalam hatinya seolah tengah bersemayam banyak sosok menertawakan kemalangan dirinya yang turut andil dalam kehancurannya.
Air mata yang tadinya telah mengering, kini kembali mengucur deras seiring hatinya yang semakin berdarah akibat luka yang terus mendalam.
"Kamu tega, mas. Harusnya kamu bisa jaga diri. Harusnya, kamu sadar aku ini istrimu, dan Amel kakakku. Kenapa kamu nyakitin aku? Apa salah aku ke kamu, mas? Apa?"
Isaknya lirih dengan pandangan mengarah pada pemandangan di luar jendela kereta.
Bahkan, Seruni tak sadar bila saat ini dirinya tengah di tatap intens oleh seorang pria yang memangku seorang gadis kecil berusia tiga tahun, tengah duduk di depannya dengan posisi berhadapan.
"Mbak. Mbak, nggak apa-apa?" Tanya sang pria suara bariton, menunjukkan nada prihatin di dalam suaranya.
"Ini, mbak minum dulu. Tenangkan pikiran."
Seruni mendongak menatap sepasang manik mata berwarna coklat terang di depannya, kemudian pandangannya beralih pada gadis kecil yang tertidur pulas dalam pangkuan pria itu.
Memalingkan wajah, Seruni mengusap air matanya dengan lengannya yang berbalut jaket.
"Nggak apa-apa, mas. Saya baik-baik aja. Maaf kalau mas nya terganggu dengan suara saya." Jawab Seruni lirih.
Suaranya menyiratkan kepedihan yang mendalam. Sorot matanya nampak jelas terluka. Namun, yang membuat pria di depannya itu terkagum-kagum, Seruni masih bisa membalas sapaan pria itu dengan santun.
"Nggak masalah. Cuma, kalau mbaknya merasa nggak kuat dengan masalah embak, mbak bisa cerita ke saya. Meski kita nggak saling kenal, tapi saya jamin mbak bisa percaya ke saya. Mbak akan lega setelahnya." Ujar lelaki di depan Seruni itu.
Seruni melihat ketulusan dalam mimik wajah pria di hadapannya. Air matanya kembali menetes seiring kepala Runi yang menggeleng saat ia mengingat kejadian tadi saat di hotel.
Raka.
Pria yang berstatus sebagai suaminya sungguh dengan puasnya berada dalam kendali permainan kakaknya.
"Perkenalkan, saya Bastian Gunawan. Kamu cukup panggil saya Tian."
Ucapnya tegas,meski Seruni menggeleng, isyarat menolak untuk menceritakan masalahnya.
Dengan ragu, Seruni menjulurkan jemarinya untuk menggapai jemari Tian.
Sejenak, Seruni terpaku dengan paras pria tampan di depannya ini.
Mata nya menyorot tajam, namun menyilaukan ketulusan tanpa harapan imbalan. Hidung mancung serta tulang pipi yang tinggi, menunjukkan pesona lelaki itu tak bisa di remehkan begitu saja.
Bibir yang tak terlalu lebar, namun tebal dan berlekuk menggoda, di bingkai rahang kokoh yang nampak istimewa. Rambut hitam legamnya, menunjukkan betapa murninya ketulusan yang ia miliki.
"Mawar Seruni." Jawab Seruni kemudian.
"Baiklah. Saya harus memanggil kamu siapa?" Tanya pria tampan itu.
Seruni tercenung sedikit lama. Nama Seruni selalu mengingatkan nya tentang orang-orang yang memiliki andil dalam kehancuran hidupnya. Maka Seruni memutuskan untuk mengganti nama panggilannya menjadi Mawar saja.
"Mawar. Panggil saja aku Mawar".
"Cantik. Seperti orangnya." Ujar lelaki itu.
Tapi tak secantik takdir hidup yang aku lalui.
Tambah Seruni yang tentu hanya di ucapkan nya dalam hati.
"Kamu mau kemana?"
Tian bertanya kembali.
"Ke Surabaya."
Tian hanya mengangguk saja. Di telisik wajah sosok Mawar di depannya. Meski tubuhnya mungil, namun tak dapat di pungkiri, bahwa Mawar amat sangat cantik, dengan kesantunan yang di milikinya sebagai nilai plus.
"Surabaya ke alamat yang di berikan sahabat saya. Apa anda tahu letak alamat ini? Biar nanti saya tidak kebingungan harus naik apa setelah turun dari kereta nanti." Tanya Seruni.
"Jangan terlalu formal. Kamu bisa panggil saya bang Tian atau kak Tian."
Seruni mengangguk sebagai tanda mengerti.
"Ngomong-ngomong kamu kenapa tadi nangis dalem banget?" Tanya lelaki itu. Ada penasaran yang tinggi di hati Tian. Biasanya, ia tak pernah kepo terhadap urusan orang lain.
Mawar menunduk. Matanya kembali berkaca-kaca.
"Suami ku .... "
Seruni tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia masih terpukul atas kejadian yang menimpa rumah tangganya saat ini. Ia tidak siap bila harus kembali mengingat momen menyakitkan beberapa jam lalu.
Seruni tak kuat. Mengingat wajah Raka dan kakak perempuannya, kedua pengkhianat itu telah mengukir luka yang sangat dalam di hati Mawar.
"Nggak usah cerita kalau kamu nggak siap. Saya nggak akan mengorek informasi apapun mengenai masalah kamu. Oh ya,"
Tian lantas membuka tas bekal milik anaknya.
"Ini coklat untuk kamu. Coklat terbukti efektif mengembalikan suasana hati yang buruk jadi lebih baik."
Tukas lelaki itu seraya mengulurkan sebungkus coklat batangan berisi coklat almond.
Dengan ragu, Seruni menerima uluran coklat dari Tian.
"Makasih." Ucao Seruni.
Seruni mencomot satu kotak coklat, Rasanya tak buruk. Benar, coklat rupanya bisa sedikit meredakan sakit hati.
Waktu terus berjalan seiring laju kencang kereta. Hari sudah mulai pagi. Sudah tentu seruni tidak bisa memejamkan matanya barang sebentar saja. Mata calon ibu muda itu terlihat bengkak dengan hidungnya memerah.
"Ayah."
Gadis kecil yang berada dalam pangkuan pria di hadapannya itu nampak menggeliat. Wajahnya kusut karna semalaman tidur nyenyak dalam dekapan ayahnya.
"Eennggghhh. Ya? Sudah bangun, sayang." Suara Tian terdengar parau.
"Haus." Lirih gadis itu.
"Sebentar." Jawab Tian sembari memberi minum gadis kecil itu.
Usai minum, gadis kecil itu menatap Seruni dengan mata berbinar.
"Bunda?" Kata gadis itu.
Seruni terhenyak ketika gadis di hadapannya ini memanggilnya bunda.
Terasa aneh tapi juga bahagia.
"Maaf. Anak saya memang suka memanggil wanita muda, siapapun itu dengan sebutan bunda. Mungkin.... dirinya masih kepikiran tentang bundanya yang sudah meninggal dua bulan yang lalu."
Nafas Seruni terasa seperti tercekat di tenggorokan. Dalam kepedihan dan luka yang ia rasakan saat ini, ternyata ada juga seorang gadis kecil yang juga merasakan penderitaan akibat di tinggalkan ibunya.
"Me--meninggal?" Cicit Seruni.
"Ya. Istri saya meninggal akibat pendarahan saat akan melahirkan. Dan naasnya, calon bayi laki-laki saya juga nggak bisa terselamatkan".
"Oh maaf, bang. Aku nggak tau. Maaf." Ujar Seruni.
"Nggak apa-apa. Semua orang memang memiliki kisahnya sendiri." Sahut Tian kemudian.
"Ya. Dan kisahku, suamiku selingkuh dengan kakak kandungku sendiri. Ya Tuhan, mengapa harus aku yang harus memikul beban berat ini. Aku benar-benar sendiri. Bahkan bapak dan ibu saja, tidak menghendaki kehadiran diriku."
Bisik Seruni dalam hati.
Air mata Seruni kembali luruh membanjiri pipi mulusnya. Tekadnya untuk pergi menjauh, sudah benar.
~~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Sepriyanti Adelina
setidaknya masih ada yg baik sama kamu seruni selain dua sahabatmu😍
2022-11-10
2