Wiraka Subagio

Entah sudah yang ke berapa ratus kalinya.

Ponsel milik Wiraka terus bergetar tiada henti.

Rasa bosan dan enggan menanggapi, sedang bertahta indah dalam diri saya.

Pasalnya, bosan senantiasa melanda ketika orang tua Wiraka kerap kali menyuruhnya pulang lebih cepat.

"Jangan lupa malam ini, Raka. Kalau kamu nggak mau datang, ibu terpaksa mencoret nama kamu dari daftar KK dan melepas gelar anak dalam dirimu." Suara ibu yang melengking dapat Wiraka dengar. Sekali lagi, Wiraka menghembuskan nafasnya dengan kasar.

"Injeh, Bu. Nanti Raka usahakan datang". Jawab Wiraka, tak ingin mendengar ibunya lagi.

"Ya sudah. Ibu tunggu. Jangan sengaja untuk datang terlambat." Tukas ibunya di seberang sana.

"Nggih." Jawab Wiraka.

Sambungan telepon terputus seketika.

Kembali merenungi, harus kah Wiraka menghadiri acara nanti malam? Lelaki itu dalam kegamangan.

~~

Hari sudah mulai nampak sore. Seruni tidak tahu lagi bagaimana caranya membuat bapak dan ibunya merubah cara pandang mereka terhadapnya.

Di hadapan mereka, Seruni tak lebih dari sekedar benalu yang cukup merepotkan.

Kalau boleh tanya, mengapa mereka memelihara benalu seperti seruni, hingga usia ku menginjak angka dua puluh tahun.

Seruni masuki rumah tanpa menyapa siapapun.

Ingin rasanya ia mengguyur tubuh dan otaknya yang terasa panas ketika ingat perjodohan yang bapak rancang 'Katanya' untuk masa depan Seruni.

Masa depan macam apa? Masa depan untuk menghancurkan perasaan anak sendiri?

Seruni tidak tahu lagi harus memakai kata apa yang pantas untuk ia sematkan pada kedua orang tuanya itu.

Usai mandi, Seruni menggelar sajadahku untuk menunaikan panggilan Tuhan, agar menunaikan kewajiban sebagai kaum muslim. Seruni bersujud dan menyampaikan keluh kesah pada Tuhan, berharap dengan begini, ia bisa mendapat petunjuk dan kedamaian.

Pintu di ketuk pelan empat kali ketika Seruni baru saja selesai membaca dzikir usai sholat. Perasaan Damai dan tenang tentu saja menyusupi hatinya.

Belum sempat ia membuka mukena dan melipatnya, sosok ibu muncul dari pintu dengan wajah sendu. Entah Seruni buta atau bagaimana, yang jelas, bagi seruni ibu sama seperti bapak yang suka memasang topeng kepalsuan.

Oh tidak, bukan hanya ibu. Rupanya, Amel juga sedang mengekori ibu.

"Seruni. Ibu mau ngomong sama kamu". Ucap ibu.

"Ngomong aja sih Bu. Runi juga masih denger kok." jawab Seruni sambil melipat mukenanya.

Seruni mendengar ibu sedang menghembuskan nafasnya dengan kasar. Sejujurnya, Seruni sangat menyayangi keluarga ini. Terkadang, ia sendiri iri melihat teman-teman yang sedang bermesra hangat dengan keluarganya, sedang Seruni, ia selalu menjadi prioritas terakhir bagi keluarganya.

"Kamu beneran bisa kan menerima nak Subagio sebagai suamimu?" Tanya ibu.

"Subagio?" Bibir Seruni membeo saat nama yang sangat ndeso itu meluncur dari bibir renta ibu yang nampak keriput samar.

"Ya. Nama calon suamimu Subagio." Jawab ibu.

Sudah macam petir yang menyambar hati seruni. Ibu dengan ringannya berkata bahwa Seruni adalah calon istri dari pria bernama Subagio.

Penasaran, seperti apa sih rupa dan tampangnya? Berapa juga umurnya?

Apa Subagio itu pria berkepala botak dan perutnya buncit?

Apakah tubuhnya tambun nan bulat seperti tahu bulat?

Astaga.

Rasanya Seruni ingin tenggelam saja.

"Aku nggak tau pasti bisa apa enggak buk. Yang jelas, aku nggak bisa memberi tanggapan apapun sekarang."

Seruni mendengar Amel terkikik geli saat melihatnya.

"Udah sih ah, terima aja. Orangnya masih muda kok. Nggak kayak yang kamu bayangin sekarang. Intinya, kamu bakal hidup enak dengan pria yang kaya raya seperti Subagio."

Senyum Amel menyiratkan paksaan. Seruni tak tahu kenapa dia berpikiran bahwa Seruni harus menikah lebih dulu. Sedang dia, masih enggan untuk menjalani komitmen bersama pria.

"Kita lihat aja entar. Nanti, setelah keluarga Subagio datang, aku ada janji dengan temen, Bu, jam 8." Ungkap Seruni.

"Terserah kamu mau kemana, asal kamu menerima aja lamaran nak Subagio." Titah ibu yang membuat Seruni jengkel.

Aku lelah sebenarnya.

Tapi, tak mungkin kan bila Seruni lari keluar rumah untuk kabur hanya karna menghindari acara perjodohan tak masuk akal ini?

"Ya. Seruni menerimanya, apapun bentuk jodoh Runi. Apa ibu dan kak Amel puas? Andai bapak di sini pun, pasti bapak akan merasa puas." Jawab Seruni pasrah.

Seruni menatap lekat saudari dan ibunya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Sekali saja ia mengedipkan matanya, mungkin sudah jatuh air mata itu.

Ibu Seruni dan Amel saling pandang. Sepertinya, mereka juga merasa tak enak hati atas hal ini. Tapi ya sudah lah. Seruni tetap tak peduli.

Toh ibu yang memaksanya.

"Ya sudah, ibu turun dulu. Sebentar lagi, ibu mau masak untuk makan malam." Ungkap ibu.

Ibu beranjak pergi, di susul oleh Amel di belakangnya hingga pintu kamarnya di tutup pelan.

Seketika Seruni menangis sepeninggal mereka dari kamarnya.

~~

Terdengar suara gaduh saat Seruni baru selesai menunaikan sholat isya. Ia bisa menebak, pasti keluarga Subagio telah datang. Apa lagi seruni mendengar, suara tawa bapak yang membahana terdengar hingga ke kamar.

Pintu di ketuk pelan, namun segera terbuka tanpa Seruni suruh masuk.

Sosok Amel yang sangat cantik berdiri di ambang pintu.

"Kamu di suruh turun sama bapak dan ibu, Runi. Dandan yang cantik. Jangan malu-maluin bapak sama ibu." Ucapnya.

"Ya." Jawab runj datar.

Amel menutup kembali pintu kamar dengan pelan. Seruni segera beranjak dan segera melipat mukena yang baru saja ia pakai. Menuju cermin, Seruni memoles wajahnya sedikit agar sembap di matanya segera tersamarkan.

Meski bapak dan ibu kerap kali tidak peduli dengan perasaannya, tapi Seruni cukup peduli dengan nama keluarga agar tak nampak buruk karna punya anak yang lumayan jelek sepertinya.

Usai merias diri, Amel kembali membuka pintu kamar.

"Runi, kamu udah selesai, belum?

Bapak sama ibu sama Subagio sekeluarga udah nungguin, udah ayo cepet. Kamu udah cantik kok." Ucapnya sambil tersenyum.

Seruni hanya diam saja. Hingga tangan Amel mencekal pergelangan tangannya, Seruni hanya bisa pasrah dan menurut saja.

Suasana nampak berbeda saat pintu kamar terbuka. Ketika langkah Seruni tiba di ruang tamu, ia menunduk karna tak berani menampakkan wajahnya di hadapan keluarga Subagio.

"Runi, kenalkan. Ini nak Subagio, calon suamimu." Ungkap bapak.

Sontak Seruni mengangkat wajahnya. Ia tatap Mereka semua satu persatu. Sepasang wanita dan pria paruh baya menatap ke arahnya dengan pandangan melotot, kemudian seorang pria muda yang cukup familier di matanya.

Pak Wiraka.

Iya, pak Raka.

Tidak ada sosok lain lagi di sana.

Lalu? Dimana sosok yang katanya bernama Subagio, si calon suami Seruni? Seruni edarkan pandangannya pada seluruh isi ruangan.

Tapi nihil. Tak ada siapapun lagi.

"Ayo kenalan dulu." Amel tiba-tiba menyenggol lengan Seruni.

"Pak Raka kenapa ada di sini?" Seruni tidak bisa menahan diri lebih lama lagi dari rasa ingin tahunya.

"Kamu sendiri? Kamu anak bungsu pak Herman?" Tanya Wiraka pada Seruni.

"Iya, aku anak bungsu bapak".

Ucapku cengoh.

Raka tampak menegang. Salivanya tertelan dengan susah payah.

"Bapak, ibu. Yang mau di jodohkan sama Runi mana? Katanya mas Subagio udah datang? Mana orangnya?"

"Lho yang di depan kamu ini namanya Subagio. Namanya Wiraka Subagio, Mawar Seruni".

Seruni menganga sekian detik. Tak menyangka bahwa calon suami yang namanya cukup ndeso ini, adalah dosenku.

Wiraka Subagio. Si dosen killer.

~~

Terpopuler

Comments

bintang

bintang

baru ada luang untuk membaca,

2022-11-11

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 65 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!