Luna And The Dire Wolf
Seorang gadis dengan mantel berwarna merah terlihat menyusuri jalanan setapak di tengah hutan La Eterno. Ia memasukkan kedua telapak tangan ke dalam saku mantel berbahan bulu domba itu.
"Astaga, dingin sekali!" ujar Luna dengan suara gemetar karena rasa dingin yang menusuk tulang.
Hutan tersebut terletak di pinggiran Kota Flor, sehingga hanya sedikit penduduk yang tinggal di dalamnya. Hal itu menyebabkan suasana hutan sangat sunyi di malam bahkan pada siang hari sekali pun. Luna berniat untuk mengunjungi sang nenek dan tinggal bersamanya selama liburan musim dingin.
Luna terus melangkah di bawah langit gelap yang tertutup kabut. Akan tetapi, cahaya bulan sukses menyinari kawasan penuh pepohonan pinus itu, sehingga Luna tidak memerlukan pencahayaan tambahan dari benda lain.
"Hah, sedikit lagi!" Luna mengembuskan napas kasar dari mulut, sehingga karbon dioksida yang keluar terlihat mengepul layaknya asap rokok.
Luna memutuskan untuk berhenti sejenak sambil beristirahat, karena sudah lelah. Terlebih lagi ini baru setengah perjalanan ke rumah sang nenek. Dia duduk beralaskan tumpukan salju yang membuat celananya basah. Gadis berambut coklat tua itu tidak memiliki pilihan lain.
Luna pun bersandar pada batang pohon pinus yang tumbang, lalu mengeluarkan sepotong Bolilo berisi potongan daging dan selada. Dia menikmati roti itu ditemani coklat hangat yang dibawa dalam termos kecil.
Setelah merasa tenaganya terisi kembali, Luna pun melanjutkan perjalanan. Dia menapaki jalanan berbatuan yang mulai tertutup salju secara perlahan. Sesekali dia bersenandung untuk mengusir kesunyian.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar lolongan serigala. Sontak Luna menghentikan langkah. Dia langsung teringat cerita tentang makhluk bernama Dire Wolf. Serigala purba raksasa yang dipercaya masih mendiami serta menjaga hutan La Eterno.
"Jangan-jangan ...." Luna menelan ludah berulang kali.
Peluh mulai bercucuran membasahi dahi serta tubuhnya yang tertutup mantel. Luna kembali berjalan, dan mempercepat langkah membelah hutan, agar segera sampai di rumah sang nenek.
Napas gadis cantik itu semakin memburu. Jantungnya berdegup begitu kencang. Dari berjalan cepat, kini langkahnya semakin lebar dan lebih cepat.
Sesekali terdengar jejak kaki lain di atas salju selain milik Luna. Seakan ada orang lain yang sedang berlari mengejar gadis itu. Semakin lama suara langkah kaki itu semakin terdengar dekat.
"Astaga! Siapa itu!" teriak Luna.
Akhirnya Luna memutuskan untuk menghentikan langkah dan mengatur napas. Dia memperhatikan sekeliling. Sunyi, hanya terdengar embusan angin dan suara daun pinus yang saling bergesekan.
"Kenapa aku tidak kepikiran ini sejak tadi?"
Luna langsung merogoh ponsel dalam saku mantelnya. Dia menghidupkan ponsel pintar itu dan segera menghubungi sang paman. Awalnya dia ingin memberi kejutan untuk paman serta sang nenek. Jadi, gadis itu tidak memberi kabar bahwa akan pulang ke rumah.
"Ayolah, angkat!" gerutu Luna sembari menempelkan ponsel pada daun telinga. Dia juga menggigit kuku-kukunya karena rasa takut yang menguasai.
Namun, Luna tidak mendapatkan jawaban. Berkali-kali dia mengulangi panggilan dan hasilnya sama. Sang Paman tidak menjawab panggilan.
Tiba-tiba kembali terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah Luna. Dia terbelalak kemudian menelan ludah kasar. Mulai terdengar suara geram hewan buas.
Jangan-jangan ....
Perlahan Luna mendongak karena sumber suara yang berasal dari atas kepalanya. Dia membatu seketika saat menyadari apa yang sedang mengamatinya dari atas sana.
Seekor serigala dengan mata merah menyala tengah mengawasi dengan tatapan buas. Ukuran hewan liar itu sangat besar. Jauh lebih besar dari ukuran serigala pada umumnya, bisa sampai lima kali lipat.
Serigala tersebut memiliki bulu tebal dan panjang berwarna putih bersih seputih salju. Deretan giginya yang runcing, sukses membuat Luna bergidik ngeri. Namun, cahaya bulan justru membuat tampilan serigala itu terlihat menawan.
Luna sempat terpesona melihat keindahan makhluk yang kini hampir menerkamnya itu. Akan tetapi, sedetik kemudian dia tersadar. Kuku tajam serigala itu pasti mampu mengeluarkan semua isi perutnya dengan sekali cakar.
"A-aku mohon, jangan sakiti aku. Lepaskan aku. Aku masih ingin hidup," pinta Luna dengan mata berkaca-kaca.
Serigala berbulu putih itu masih terus menggeram. Ia sepertinya memang tidak mengerti perkataan dari Luna. Kaca-kaca di mata Luna mulai meleleh dan meluncur membasahi pipi.
"Maaf, jika kamu merasa terganggu karena senandungku barusan. Atau mungkin kamu tidak suka wilayahmu kupijak? Tapi, ini adalah jalan satu-satunya menuju rumah nenek." Luna berusaha meminta maaf, berharap makhluk raksasa itu mengerti ucapannya dan membiarkan dia pergi melanjutkan perjalanan.
"Bolehkan aku mengganti nyawaku dengan ini?" Luna menarik kalung dengan liontin berbentuk bulan sabit yang melingkar di lehernya. Dia pun menunjukkan benda tersebut kepada serigala itu.
"Ini pemberian kedua orangtuaku. Kalung ini sama berharganya dengan nyawaku. Aku tidak mau mati sekarang. Jadi, aku mohon lepaskan aku," pinta Luna di tengah isak tangisnya yang semakin kencang.
Luna pun meletakkan kalung tersebut di atas tumpukan salju kemudian menunduk berulang kali. Dia berharap makhluk di hadapannya itu mengerti apa yang dia katakan.
Benar saja, suara geram serigala raksasa itu perlahan menghilang. Luna pun memberanikan diri untuk melirik ke atas. Betapa terkejut gadis itu ketika tatapannya dengan sang serigala bertemu.
Tatapan buas Dire Wolf itu seakan melembut. Bola mata yang awalnya merah, kini berubah menjadi kebiruan layaknya batu safir. Gadis itu terpana melihat keindahan di depannya.
Serigala itu menunduk, menggigit kalung yang diberikan oleh Luna, kemudian berjalan mundur beberapa langkah sembari terus mengawasi Luna. Setelah merasa aman, makhluk itu pun balik badan kemudian berlari cepat membelah hutan pinus tersebut.
Tanah di bawah Luna terguncang hebat seiring derap langkah sang serigala. Salju yang menumpuk di puncak pohon pinus pun sampai longsor karena ulah makhluk itu.
"Akhirnya!" ujar Luna seraya membuang napas lega.
Gadis cantik itu pun kembali mengumpulkan kekuatan serta keberanian untuk segera berdiri dan melanjutkan perjalanan. Tanpa dia sadari ada sepasang mata yang terus mengawasinya sepanjang perjalanan.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan lama, akhirnya Luna bisa melihat rumah sang nenek. Rumah mungil yang terbuat dari kayu dan juga kaca. Rumah di mana dia dibesarkan penuh cinta oleh nenek dan juga sang paman.
"Estoy en casa (aku pulang)!" seru Luna kemudian melangkah lebih cepat menuju pintu rumah itu.
Gadis itu tersenyum lebar, bersiap menyaksikan ekspresi sang nenek karena kedatangannya yang mendadak. Luna yakin, kalau sang nenek akan melompat kegirangan dan melupakan keluhan punggungnya beberapa bulan terakhir.
Luna mengangkat lengannya kemudian mengetuk pintu kayu tersebut. Dia mengulangi gerakan itu hingga tiga kali. Namun, benda di depannya itu tidak segera terbuka.
"Ah, sepertinya aku terlalu larut datang ke sini."
Bahu Luna merosot. Ada sedikit penyesalan kenapa dia tidak memberitahukan kepada pamannya kalau dia pupang hari ini. Jadi, paling tidak sang paman akan tetap terjaga hingga dia sampai rumah dengan selamat.
Ketika Luna sedang bergelut dengan secuil penyesalannya, tiba-tiba pintu rumah terbuka. Sosok renta dengan mantel bulu coklat pun menyipitkan mata ke arah Luna.
"Siapa, kamu?" tanya Martha sambil terus memicingkan mata untuk mengenali gadis itu.
"Nenek, ini aku ... Luna." Luna menepuk pelan dadanya.
"Luna siapa? Aku tidak mengenalmu! Pergi!" usir Martha.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
AdindaRa
Karyamu keren banget saay, 😍 satu tips iklan dan setangkai bunga mawar mendarat untuk Author.
2022-12-19
1
Mayya_zha
bagus ceritanya....
2022-12-19
1
Baby_Miracles
keren kyk lagi nonton film. Iklan dan bunga untukmu. O iya, makasih koin yang waktu itu☺
2022-12-19
1