Seorang gadis dengan mantel berwarna merah terlihat menyusuri jalanan setapak di tengah hutan La Eterno. Ia memasukkan kedua telapak tangan ke dalam saku mantel berbahan bulu domba itu.
"Astaga, dingin sekali!" ujar Luna dengan suara gemetar karena rasa dingin yang menusuk tulang.
Hutan tersebut terletak di pinggiran Kota Flor, sehingga hanya sedikit penduduk yang tinggal di dalamnya. Hal itu menyebabkan suasana hutan sangat sunyi di malam bahkan pada siang hari sekali pun. Luna berniat untuk mengunjungi sang nenek dan tinggal bersamanya selama liburan musim dingin.
Luna terus melangkah di bawah langit gelap yang tertutup kabut. Akan tetapi, cahaya bulan sukses menyinari kawasan penuh pepohonan pinus itu, sehingga Luna tidak memerlukan pencahayaan tambahan dari benda lain.
"Hah, sedikit lagi!" Luna mengembuskan napas kasar dari mulut, sehingga karbon dioksida yang keluar terlihat mengepul layaknya asap rokok.
Luna memutuskan untuk berhenti sejenak sambil beristirahat, karena sudah lelah. Terlebih lagi ini baru setengah perjalanan ke rumah sang nenek. Dia duduk beralaskan tumpukan salju yang membuat celananya basah. Gadis berambut coklat tua itu tidak memiliki pilihan lain.
Luna pun bersandar pada batang pohon pinus yang tumbang, lalu mengeluarkan sepotong Bolilo berisi potongan daging dan selada. Dia menikmati roti itu ditemani coklat hangat yang dibawa dalam termos kecil.
Setelah merasa tenaganya terisi kembali, Luna pun melanjutkan perjalanan. Dia menapaki jalanan berbatuan yang mulai tertutup salju secara perlahan. Sesekali dia bersenandung untuk mengusir kesunyian.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar lolongan serigala. Sontak Luna menghentikan langkah. Dia langsung teringat cerita tentang makhluk bernama Dire Wolf. Serigala purba raksasa yang dipercaya masih mendiami serta menjaga hutan La Eterno.
"Jangan-jangan ...." Luna menelan ludah berulang kali.
Peluh mulai bercucuran membasahi dahi serta tubuhnya yang tertutup mantel. Luna kembali berjalan, dan mempercepat langkah membelah hutan, agar segera sampai di rumah sang nenek.
Napas gadis cantik itu semakin memburu. Jantungnya berdegup begitu kencang. Dari berjalan cepat, kini langkahnya semakin lebar dan lebih cepat.
Sesekali terdengar jejak kaki lain di atas salju selain milik Luna. Seakan ada orang lain yang sedang berlari mengejar gadis itu. Semakin lama suara langkah kaki itu semakin terdengar dekat.
"Astaga! Siapa itu!" teriak Luna.
Akhirnya Luna memutuskan untuk menghentikan langkah dan mengatur napas. Dia memperhatikan sekeliling. Sunyi, hanya terdengar embusan angin dan suara daun pinus yang saling bergesekan.
"Kenapa aku tidak kepikiran ini sejak tadi?"
Luna langsung merogoh ponsel dalam saku mantelnya. Dia menghidupkan ponsel pintar itu dan segera menghubungi sang paman. Awalnya dia ingin memberi kejutan untuk paman serta sang nenek. Jadi, gadis itu tidak memberi kabar bahwa akan pulang ke rumah.
"Ayolah, angkat!" gerutu Luna sembari menempelkan ponsel pada daun telinga. Dia juga menggigit kuku-kukunya karena rasa takut yang menguasai.
Namun, Luna tidak mendapatkan jawaban. Berkali-kali dia mengulangi panggilan dan hasilnya sama. Sang Paman tidak menjawab panggilan.
Tiba-tiba kembali terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah Luna. Dia terbelalak kemudian menelan ludah kasar. Mulai terdengar suara geram hewan buas.
Jangan-jangan ....
Perlahan Luna mendongak karena sumber suara yang berasal dari atas kepalanya. Dia membatu seketika saat menyadari apa yang sedang mengamatinya dari atas sana.
Seekor serigala dengan mata merah menyala tengah mengawasi dengan tatapan buas. Ukuran hewan liar itu sangat besar. Jauh lebih besar dari ukuran serigala pada umumnya, bisa sampai lima kali lipat.
Serigala tersebut memiliki bulu tebal dan panjang berwarna putih bersih seputih salju. Deretan giginya yang runcing, sukses membuat Luna bergidik ngeri. Namun, cahaya bulan justru membuat tampilan serigala itu terlihat menawan.
Luna sempat terpesona melihat keindahan makhluk yang kini hampir menerkamnya itu. Akan tetapi, sedetik kemudian dia tersadar. Kuku tajam serigala itu pasti mampu mengeluarkan semua isi perutnya dengan sekali cakar.
"A-aku mohon, jangan sakiti aku. Lepaskan aku. Aku masih ingin hidup," pinta Luna dengan mata berkaca-kaca.
Serigala berbulu putih itu masih terus menggeram. Ia sepertinya memang tidak mengerti perkataan dari Luna. Kaca-kaca di mata Luna mulai meleleh dan meluncur membasahi pipi.
"Maaf, jika kamu merasa terganggu karena senandungku barusan. Atau mungkin kamu tidak suka wilayahmu kupijak? Tapi, ini adalah jalan satu-satunya menuju rumah nenek." Luna berusaha meminta maaf, berharap makhluk raksasa itu mengerti ucapannya dan membiarkan dia pergi melanjutkan perjalanan.
"Bolehkan aku mengganti nyawaku dengan ini?" Luna menarik kalung dengan liontin berbentuk bulan sabit yang melingkar di lehernya. Dia pun menunjukkan benda tersebut kepada serigala itu.
"Ini pemberian kedua orangtuaku. Kalung ini sama berharganya dengan nyawaku. Aku tidak mau mati sekarang. Jadi, aku mohon lepaskan aku," pinta Luna di tengah isak tangisnya yang semakin kencang.
Luna pun meletakkan kalung tersebut di atas tumpukan salju kemudian menunduk berulang kali. Dia berharap makhluk di hadapannya itu mengerti apa yang dia katakan.
Benar saja, suara geram serigala raksasa itu perlahan menghilang. Luna pun memberanikan diri untuk melirik ke atas. Betapa terkejut gadis itu ketika tatapannya dengan sang serigala bertemu.
Tatapan buas Dire Wolf itu seakan melembut. Bola mata yang awalnya merah, kini berubah menjadi kebiruan layaknya batu safir. Gadis itu terpana melihat keindahan di depannya.
Serigala itu menunduk, menggigit kalung yang diberikan oleh Luna, kemudian berjalan mundur beberapa langkah sembari terus mengawasi Luna. Setelah merasa aman, makhluk itu pun balik badan kemudian berlari cepat membelah hutan pinus tersebut.
Tanah di bawah Luna terguncang hebat seiring derap langkah sang serigala. Salju yang menumpuk di puncak pohon pinus pun sampai longsor karena ulah makhluk itu.
"Akhirnya!" ujar Luna seraya membuang napas lega.
Gadis cantik itu pun kembali mengumpulkan kekuatan serta keberanian untuk segera berdiri dan melanjutkan perjalanan. Tanpa dia sadari ada sepasang mata yang terus mengawasinya sepanjang perjalanan.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan lama, akhirnya Luna bisa melihat rumah sang nenek. Rumah mungil yang terbuat dari kayu dan juga kaca. Rumah di mana dia dibesarkan penuh cinta oleh nenek dan juga sang paman.
"Estoy en casa (aku pulang)!" seru Luna kemudian melangkah lebih cepat menuju pintu rumah itu.
Gadis itu tersenyum lebar, bersiap menyaksikan ekspresi sang nenek karena kedatangannya yang mendadak. Luna yakin, kalau sang nenek akan melompat kegirangan dan melupakan keluhan punggungnya beberapa bulan terakhir.
Luna mengangkat lengannya kemudian mengetuk pintu kayu tersebut. Dia mengulangi gerakan itu hingga tiga kali. Namun, benda di depannya itu tidak segera terbuka.
"Ah, sepertinya aku terlalu larut datang ke sini."
Bahu Luna merosot. Ada sedikit penyesalan kenapa dia tidak memberitahukan kepada pamannya kalau dia pupang hari ini. Jadi, paling tidak sang paman akan tetap terjaga hingga dia sampai rumah dengan selamat.
Ketika Luna sedang bergelut dengan secuil penyesalannya, tiba-tiba pintu rumah terbuka. Sosok renta dengan mantel bulu coklat pun menyipitkan mata ke arah Luna.
"Siapa, kamu?" tanya Martha sambil terus memicingkan mata untuk mengenali gadis itu.
"Nenek, ini aku ... Luna." Luna menepuk pelan dadanya.
"Luna siapa? Aku tidak mengenalmu! Pergi!" usir Martha.
"Nek, tolong jangan bercanda. Ini aku, Luna ... cucumu!" Suara Luna meninggi karena tidak terima dengan sikap sang nenek.
"Luna siapa? Cepat, sana pergi!" teriak Martha dengan telunjuk mengarah ke tengah hutan.
Tak lama kemudian terdengar suara derap langkah yang sedang menuruni anak tangga. Seorang pria berkumis dan berjanggut lebat menghampiri dua perempuan beda usia itu. Dia adalah Diego, paman Luna.
"Ada apa ini? Luna? Sejak kapan kamu pulang?" tanya Diego dengan mata terbelalak.
"Nenek kenapa, Paman?" tanya Luna kebingungan.
"Nanti aku jelaskan. Ayo, masuk dulu."
Mereka bertiga pun melangkah memasuki rumah tersebut. Aroma kayu yang menguar dari dinding serta lantai rumah itu menyapa indra penciuman Luna. Ketiganya kini duduk di ruang tengah dengan api dalam tungku perapian yang menyala.
"Kenapa tidak bilang kalau kamu pulang hari ini?" tanya Diego.
"Niatnya aku mau memberikan kejutan untuk kalian. Tapi, ternyata ...." Luna menatap sedih sang nenek yang kini melemparkan tatapan tajam ke arahnya.
"Ibu mengalami demensia. Aku ingin sekali membawanya ke kota untuk perawatan intensif. Tapi, kamu tahu sendiri keadaan ekonomi kita."
Bahu Luna merosot. Memang benar yang dikatakan sang paman. Luna pun bisa sekolah karena beasiswa yang dia dapatkan. Selain itu, gadis tersebut juga bekerja paruh waktu untuk mendapatkan uang jajan.
"Iya, aku paham. Aku akan bekerja lebih keras lagi dan membawa nenek berobat ke kota."
"Istirahatlah, aku akan membawa Ibu ke kamarnya. Ini sudah larut malam."
Luna mengangguk kemudian tersenyum lebar. Dia terus menatap punggung nenek dan juga sang paman hingga menghilang di balik pintu. Setelah itu, barulah Luna masuk ke kamarnya.
Keesokan harinya, Luna terbangun karena ketukan pada permukaan pintu kamar. Gadis cantik itu mulai menggeliat dan mengumpulkan kesadaran. Mulutnya pun terbuka lebar saat menguap untuk mengeluarkan sisa kantuk.
Perlahan dia melangkah turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu. Dibukanya kenop pintu itu. Sekarang sang nenek berdiri di hadapannya dengan senyum merekah. Sontak Luna langsung menghambur ke pelukan sang nenek.
"Nenek!" seru gadis cantik itu sambil menyusupkan wajah ke pelukan Martha.
"Kamu kenapa tidak menemui Nenek saat datang! Aku sangat merindukanmu, Luna!"
Luna tersenyum kecut di balik punggung sang nenek. Demensia benar-benar telah merenggut memori Martha, dan membuat ingatannya timbul tenggelam. Martha melepas pelukannya kemudian merangkum wajah cucu kesayangannya itu.
"Cepat cuci muka! Nenek sudah menyiapkan Enchiladas kesukaanmu!"
Mendengar nama makanan itu, membuat air liur Luna meleleh. Dia langsung membayangkan gurihnya potongan ayam yang dibalut dengan tortilla dan disiram saus tomat. Gadis itu menelan ludah berulang kali.
"Wah, aku sudah lama tidak makan enchiladas! Tunggu aku di meja makan, Nek!" Luna langsung berlari ke kamar mandi dan mencuci muka.
Setelah sarapan, Luna memutuskan untuk keluar rumah dengan membawa buku sketsa. Dia mengisi waktu luang untuk melukis pemandangan di sekitar rumah sang nenek.
Gadis cantik itu mulai menggoreskan pensil ke atas kertas. Mengamati lebat dan tingginya pohon pinus di hadapan mata, lalu menuangkan visual yang dua tangkap ke dalam buku sketsa.
"Aku memang pelukis handal!" seru Luna seraya menatap hasil goresan pensilnya dengan senyum jemawa.
Ketika Luna hendak mengamati lagi pepohonan di depannya. Seorang lelaki bertubuh tegap tengah berdiri sembari menodongkan senapan ke atas pohon. Lelaki itu agaknya sedang berburu tupai.
Gerombolan tupai melompat dari dahan satu ke dahan lain, sehingga membuat pepohonan bergoyang tak beraturan. Tumpukan salju pun turun ke atas tanah karena ulah hewan insektivora tersebut.
Luna terpesona seketika. Lelaki tampan di depannya itu memiliki garis wajah tegas. Rambut lurusnya berwarna putih dan terurai panjang dan diikat separuh bagian. Tanpa sadar jemari Luna bergerak dan menggambar sosok lelaki tersebut.
"Sedang apa kamu?" tanya lelaki itu dengan suara datar.
"A-aku sedang ...."
Luna menelan ludah kasar, merasa tertangkap basah karena menggambar lelaki itu tanpa ijin. Dia segera menutup kembali buku sketsanya agar tidak ketahuan.
"Sedang apa?" tanya lelaki itu lagi.
"Menggambar pepohonan di sana!" Luna menunjuk deretan pohon pinus yang bergerak pelan ditiup angin.
"Siapa kamu? Aku baru melihatmu. Seingatku rumah ini hanya ditinggali seorang perempuan tua dan lelaki paruh baya."
"Oh, aku cucunya. Memang sudah lama tidak pulang sejak menginjak usia sekolah, karena tinggal di asrama sekolah. Selama ini nenek dan paman yang selalu mengunjungiku."
"Siapa namamu?"
"Luna, Luna Garcia." Luna mengulurkan tangan sambil tersenyum ramah.
Namun, lelaki itu hanya melirik tangan Luna sekilas. Kemudian menatapnya lagi dengan tatapan datar. Luna mengerutkan dahi, dan menarik kembali uluran tangannya.
"Maaf, kalau membuatmu tidak nyaman. A-aku masuk saja kalau begitu." Luna tersenyum kecut, lalu beranjak dari kursi.
"Aku Valko Martinez. Mau ikut masuk ke hutan?"
"Ya?"
"Mau ikut aku berburu dan masuk lebih jauh ke hutan itu?" Valko menunjuk ke arah hutan dengan ibu jarinya.
Luna terdiam. Dia berpikir sejenak. Sebenarnya dia sangat tertarik untuk memasuki hutan di sisi selatan, dan mengabadikan isi hutan itu ke dalam buku sketsanya. Namun, selama ini Luna dilarang ke sana karena masih banyak hewan buas yang berkeliaran.
"Boleh," jawab Luna.
Valko tersenyum miring. Dia tidak menyangka bahwa gadis itu begitu cepat mengiyakan ajakannya. "Kalau begitu, ayo!"
Luna langsung berjalan mengekor di belakang Valko. Dia berusaha terus membuka pembicaraan dengan lelaki itu. Awalnya Valko hanya menjawabnya dengan sepatah dua patah kata. Akan tetapi, lama-kelamaan lelaki itu terbawa suasana yang diciptakan Luna. Keakraban pun kini mulai tercipta di antara keduanya.
"Kamu tinggal di mana?"
"Aku tinggal di hutan bagian timur."
"Pekerjaanmu?"
"Aku? Pemburu?"
"Berapa umurmu?"
Mendengar pertanyaan terakhir Valko membuat langkahnya terhenti. Dia menatap tajam ke arah Luna dengan menyipitkan mata. Valko terlihat tidak suka mendapat pertanyaan itu dari Luna.
"Apa kamu itu petugas sensus yang sedang menyamar?"
"Ya?" Kedua alis Luna naik.
"Cerewet sekali, ingin mengetahui semua tentangku. Jika sudah tahu semuanya, maka kamu akan menyesal karena sudah mengenalku." Valko mendekati Luna berusaha mengintimidasi gadis itu.
"Ah, bu-bukan itu maksudku. Aku takut berbicara tidak sopan jika tidak mengetahui umurmu." Luna tersenyum canggung dan kakinya terus melangkah mundur.
Valko terus melangkah maju, dan terus mengintimidasi Luna dengan tatapan serta senyum miringnya. Nyali gadis bermata coklat terang itu pun menciut. Dia terus melangkah mundur untuk menjaga jarak dengan Valko. Sampai akhirnya punggung Luna menempel pada pohon Oak besar di belakangnya.
"Apa aku perlu membungkam bibirmu itu agar tidak cerewet?" Valko mengungkung Luna di antara kedua lengan kokohnya, dan mendekatkan wajah ke muka gadis cantik tersebut.
Napas Valko langsung menyapu permukaan kulit putih Luna. Gadis itu menelan ludah kasar ketika menatap mata biru Valko. Dia seperti melihat keajaiban Tuhan yang begitu sempurna. Ketampanan Valko sukses membuat jantungnya berdegup semakin kencang.
Tanpa sadar gadis itu memejamkan mata karena tiba-tiba Valko mendekatkan bibirnya. Sedetik kemudian, dia terbelalak karena bisikan lelaki tampan tersebut.
"Bibirmu cerewet, sehingga membuat binatang buruanku kabur semua," bisik Valko kemudian menjauhkan tubuhnya dari Luna.
"Ayo, kita pulang! Lihatlah langit sudah berubah gelap!"
Akhirnya mereka berdua kembali menyusuri jalanan setapak hutan dan kembali ke rumah. Valko mengantar Luna pulang, sebelum dia kembali ke rumahnya. Ketika sampai di kediaman nenek Luna, sang paman menatap tajam dua sejoli yang baru keluar dari rimbunan pepohonan pinus itu.
"Dari mana kalian?" tanya Diego tegas.
Diego melirik jam yang menempel pada dinding kamarnya. Seharian ini dia sama sekali tidak melihat keponakannya di dalam rumah. Lelaki paruh baya itu pun melangkah menuju kamar sang ibu, hendak menanyakan keberadaan Luna.
"Bu, di mana Luna?" tanya Diego kepada sang ibu yang sedang duduk di kursi goyangnya sembari menatap langit malam melalui jendela kamar.
"Langit malam ini begitu indah. Lihat di luar bulan terlihat malu mengintip makhluk bumi di balik kabut."
Diego mengusap wajahnya kasar. Penyakit sang ibu mulai kambuh lagi. Akhir-akhir ini perempuan berusia renta itu memang sering kehilangan memorinya karena demensia. Diego akhirnya memutuskan untuk menghubungi Luna melalui ponsel.
Namun, Luna tidak mengangkat panggilannya. Setelah menajamkan pendengaran, sayup terdengar suara deringan ponsel. Diego melangkah pelan menaiki anak tangga untuk mencari sumber suara. Ternyata suara itu berasal dari dalam kamar sang keponakan.
Diego masuk ke kamar Luna. Ternyata gadis itu tidak membawa serta ponselnya ketika pergi. Dia pun meraih benda pipih tersebut, dan mengecek beberapa pesan di dalamnya. Setelah tidak menemukan pesan mencurigakan, akhirnya dia meletakkan kembali benda pipih tersebut.
"Ke mana kamu, Luna?"
Ketika hendak keluar dari kamar, Diego melihat siluet dua orang yang keluar dari hutan. Lelaki itu pun mendekati jendela dan menajamkan penglihatan. Betapa terkejutnya dia saat mengetahui bahwa Luna sedang berjalan bersama seorang lelaki berambut putih.
"Siapa dia?" gumam Diego sambil terus menyipitkan mata.
Saat jarak keduanya semakin dekat dengan rumah, Diego terbelalak. Ternyata lelaki yang sedang bersama Luna adalah putra pertama dari ketua suku Canis yang tinggal di Hutan La Eterno bagian timur. Diego langsung melangkah cepat menuruni anak tangga dan menghentikan langkahnya di teras rumah.
"Dari mana kalian?" tanya Diego tegas.
"Ah, kami dari hutan, Paman. Aku membutuhkan inspirasi lebih banyak untuk melukis. Dan Valko mengajakku masuk ke hutan untuk mendapat beberapa pemandangan untuk digambar."
"Kamu pulanglah, sudah malam! Jangan sampai keluarga kami terkena masalah karena hal ini!" Diego menatap tajam ke arah Valko yang menatapnya datar.
Valko tidak mengeluarkan suara sepatah katapun. Rahangnya terlihat mengeras, dia juga memicingkan mata terlihat tidak suka dengan sikap Diego. Tak lama kemudian dia langsung beringsut meninggalkan Luna.
Luna yang merasa tidak enak hati pun hanya bisa menatap Valko yang kembali berjalan masuk ke hutan untuk pulang. Setelah tubuh lelaki itu tertelan oleh ratusan pohon pinus yang menjulang, dia masuk ke rumah dan mengikuti Diego duduk di depan perapian.
"Luna, apa kamu tidak tahu seberapa bahayanya dia?"
Luna menyipitkan mata, kemudian menggeleng. Diego menghela napas kasar kemudian meraih cangkir berisi coklat panas di atas meja. Lelaki itu meniupnya perlahan, lalu menyesapnya.
"Dia adalah putra pertama dari ketua suku Canis."
"Dia baik. Aku rasa tidak memiliki tanda bahaya sebagai seorang lelaki."
Mendengar ucapan sang keponakan, membuat Diego naik pitam. Dia meletakkan cangkir berisi coklat itu secara kasar. Mata lelaki itu membulat sempurna.
"Kamu tidak tahu apa pun mengenai suku Canis! Sekarang naik ke atas dan cepatlah tidur! Jangan sampai kamu menemuinya lagi, atau kamu akan menyesal seumur hidup!"
Luna pun segera naik ke kamarnya sesuai perintah sang paman. Rasa jengkel pun merayap di hati gadis cantik itu. Dia tidak suka cara Diego menilai Valko. Walaupun Luna baru mengenal lelaki itu, dia tahu betul bahwa Valko adalah lelaki baik dan bertanggungjawab. Jadi, tidak mungkin dia disakiti oleh lelaki tampan tersebut.
***
Setelah kejadian hari itu, Luna tetap nekat berburu setiap tiga hari sekali bersama Valko. Mereka memutuskan untuk berburu pada malam hari agar tidak ketahuan oleh sang paman. Luna akan membawa lentera dan juga buku sketsa untuk mengabadikan isi hutan larangan. Ternyata hutan tersebut memiliki ragam tanaman indah, dan beberapa hewan liar yang sangat mengagumkan.
Malam itu, adalah malam terakhir liburan musim dingin. Luna mempersiapkan semua keperluan untuk melukis sembari menunggu sang paman terlelap. Langit terlihat begitu terang karena bulan yang membulat sempurna.
"Bulan purnama! Indahnya ...." Luna menatap kagum benda langit berwarna putih kemerahan itu.
Luna ingat betul bagaimana dirinya pertama kali datang ke hutan itu sebulan lalu. Sosok Dire wolf itu kembali terlintas di benaknya. Ada sedikit perasaan was-was, karena takut nantinya akan bertemu dengan makhluk itu lagi.
"Ah, lagi pula aku kan bersama Valko! Dia akan membunuh serigala raksasa itu dalam sekali tembak jika datang mengganggu!"
Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pada permukaan jendela kamar Luna. Ketukan itu berasal dari kayu panjang yang sengaja disiapkan Luna untuk Valko. Lelaki itu akan mengetuk jendela kamarnya dengan benda tersebut jika sudah datang.
Gadis cantik itu segera menggendong tas ransel kecilnya dan turun melalui jendela kamar. Dia tersenyum lebar melihat Valko yang kini tampak gagah dengan pakaian kasual serta senapan di punggungnya.
"Ayo!" seru Luna sembari meninjukan kepalan tangan ke udara.
Keduanya mulai masuk ke dalam hutan dan memulai perburuan. Kali ini Valko melihat rusa berukuran besar. Rusa itu memiliki tanduk yang berbentuk seperti tangan terbuka. Bulu rusa itu berwarna hitam dan ada yang berwarna putih pada bagian perutnya.
"Bull!"
"Ya?" Luna mengerutkan dahi karena tidak mengerti ucapan Valko.
"Bull itu sebutan untuk Rusa Besar Jantan. Diamlah di sini, aku mau mendekatinya perlahan. Jangan berisik!" Valko menempelkan telunjuk pada bibir, kemudian mulai mengendap-endap mendekati rusa tersebut.
Luna duduk di balik pohon sambil mengintip Valko yang masih fokus dengan buruannya. Tak lupa dia juga mengeluarkan buku sketsa untuk mengabadikan momen ini. Sebenarnya gadis itu tidak hanya menggambar pemandangan atau hewan yang ada di hutan itu, tetapi juga menggambar Valko yang sedang berburu.
Valko menjadi daya tarik tersendiri bagi Luna. Matanya selalu tertuju pada lelaki tersebut. Gadis itu mulai menggoreskan pensil ke atas kertas, dan mengamati Valko yang masih fokus menunggu sang rusa jantan lengah.
Suasana hutan begitu hening. Salju sudah tidak setebal biasanya. Sinar bulan purnama menerobos daun jarum pohon pinus dan menyinari Valko yang masih mematung sembari menyodorkan senapannya ke arah rusa besar.
Tak lama kemudian terdengar suara letusan senjata api yang menggema. Valko berhasil menembak rusa itu tepat di kakinya. Rusa besar itu pun roboh dan tersungkur ke atas tanah.
"Berhasil!" teriak Luna kegirangan karena melihat keberhasilan lelaki di hadapannya itu.
Luna segera beranjak dari tempatnya duduk dan mendekati Valko. Namun, dia melihat ada hal aneh pada diri Valko. Lelaki itu mematung dengan bahu sedikit gemetar. Dia juga menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
"Valko, kamu baik-baik saja?" tanya Luna panik sembari berusaha menyentuh lengan lelaki itu.
Valko menepis tangan Luna, dan memintanya pergi menjauh. "Pergilah! Lari sejauh mungkin! Pulanglah ke rumah, cepat!"
"Kamu kenapa?"
"Aku bilang pergi!" teriak Valko.
Tiba-tiba Valko melolong layaknya serigala. Perlahan ukuran tubuhnya membesar, bulu-bulu putih panjang mendadak tumbuh dan menutup seluruh permukaan kulitnya. Tak hanya itu, wajahnya berubah layaknya serigala.
"Val-valko!" pekik Luna.
Gadis itu pun terbelalak. Tubuhnya seakan kehilangan kekuatan. Dia ambruk ke atas tanah. Dia tahu betul makhluk yang ada di hadapannya ini. Ia adalah Dire Wolf yang ditemuinya satu bulan yang lalu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!