Akhirnya karena tekanan yang diberikan oleh dua pria yang ada di hadapannya, Liz menceritakan tentang apa yang terjadi di kantor tadi.
"Lagian kalau kemampuannya cuma gosip gak harus diterima kerja di sana," kesalnya mengakhiri ceritanya.
"Kita juga gak tau kalau mereka suka gosip. Awal masuk ke sana mereka semua gak keliatan suka gosip." Bara membela dirinya.
"Ya udah sih. Udah kamu tegur juga kan mereka?" tanya Bastian mencoba mengakhiri perdebatan kedua temannya.
Liz mengangguk. "Ya udah. Nanti kalau mereka masih kaya gitu, tinggal aku yang ambil tindakan."
Akhirnya setelah Bastian mengatakan hal itu, kedua temannya berhenti berdebat.
Mereka melanjutkan acara makan mereka dengan obrolan ringan.
"Ibu bilang mau ketemu. Kapan-kapan ke rumah deh," ujar Bastian.
"Hhmm aku juga hampir lupa kalau aku belum nemuin Ibu sama Ayah. Mereka baik-baik aja, kan?" tanya Liz.
"Mereka baik-baik aja."
"Pastilah, kan anak semata wayangnya mau nikah, jadi pasti mereka lebih dari kata baik-baik saja."
Ucapan Bara barusan berhasil mendapatkan tinju ringan dari Bastian.
"Bas, kok aku masih ragu ya kamu mau nikah," ujar Liz.
"Gak usah kamu pikirin. Aku - "
Drrtt
Ucapan Bastian terpotong oleh dering ponselnya. Tiga orang itu sontak memandang ponsel Bastian yang berdering di atas meja.
"Angkat telpon dulu ya," pamit Bastian.
Seperginya Bastian dari sana, Liz dan Bara saling pandang. "Dokter Wika? Siapa?" tanya Liz penasaran.
Dia melihat dengan jelas siapa yang menelpon Bastian tadi. Bara menggeleng, dia juga tak tahu siapa orang yang menelpon Bastian tadi. Namanya itu terdengar sangat asing.
"Dia gak selingkuh dari Defira, kan?" curiga Liz.
Sementara itu Bara menjawabnya dalam hati. "Kalaupun dia selingkuh, itu gak jadi masalah. Toh pernikahan mereka hanya skenario."
"Bar!!" sentak Liz yang tak mendapatkan jawaban dari Bara.
“Hah? Apa?” tanya Bara terkejut ketika Liza menghentaknya. “Ditanya kok malah ngelamun sih!” Liza malah makin kesal.
“Iya, nanya apa?” Bara berusaha membuat Liza kembali mengatakan pertanyaannya.
“Dia gak selingkuh dari Defira, kan?” Liza akhirnya mengulangi pertanyaannya. “Ya mana aku tau. Lagian itu juga urusan dia,” jawab Bara.
Liza menajamkan tatapannya pada Bara. “Awas aja kalau dia berani selingkuh!” Dia berbicara dengan pelan tapi menusuk.
Sementara itu di sana Bastian memandang ponselnya dengan heran. “Ngapain dia nelpon?” tanyanya.
Untuk mengakhiri rasa penasarannya, akhirnya dia mengangkat panggilan itu. “Halo,” ucapnya.
“Ah, Bas ini kamu?” Gadis di seberang sana bertanya seolah mereka telah mengenal begitu lama.
“Ada apa?” Bastian kembali bertanya tanpa menjawab pertanyaan tak guna gadis itu.
“Enggak ada apa-apa. Aku cuma mau mastiin kalau nomornya benar,” ujar Dokter itu.
“Mohon maaf sebelumnya, tapi saya rasa kita tak terlalu dekat untuk berbicara akrab melalui telpon apalagi dengan panggilan ‘aku-kamu’.” Bastian memang tak mudah menerima orang baru dalam hidupnya.
“G-gak gitu – “
“Kalau gak ada hal lain yang ingin Anda sampaikan, saya tutup telponnya.” Tanpa menunggu Dokter itu menjawab, Bastian telah lebih dulu menutup sambungan telpon itu.
Dia mengangkatnya takut jika Dokter itu akan menyampaikan hal penting tentang kontrol Dafa, tapi jika hanya ingin mencari kesempatan untuk dekat dengannya, maka dia tak akan meladeninya.
“Dasar cewek aneh!” kesalnya. Di menggelengkan kepalanya sebelum kemudian kembali ke arah teman-temannya.
Dua orang yang menunggu di sana memandang Bastian penuh tanya dan harap agar pria itu bisa memberitahu mereka siapa yang menelpon.
“Apa?” tanya Bastian saat dua temannya memandangnya dengan tatapan memohon.
“Ck gak peka,” decak Liza sambil membuang pandangannya. Dia meminum minumannya tak ingin memperpanjang masalah itu.
“Siapa yang nelpon?” Kali ini malah Bara yang sangat penasaran akhirnya menanyakan hal yang sedari tadi mengganggu pikirannya.
Kening Bastian mengernyit. “Kok kepo?” ujarnya yang akhirnya dihadiahi pukulan ringan dari Liz. Sepertinya untuk sekarang dia harus berkomplot dengan Bara untuk mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya.
“Kamu selingkuh?” tambah Liza. Mata Bastian terbelalak saat gadis itu mengatakan kalimat keramat itu dengan sangat lancar.
“Selingkuh apanya!!” teriaknya tak terima. Semua orang yang dekat dengan mereka sontak melihat ke arah Bastian dengan pandangan aneh.
Liz dan Bara yang sadar akan hal itu segera mengangguk canggung meminta maaf pada semua orang.
“Terus tadi yang telpon siapa?” tanya Liz. Bastian menghela nafasnya dalam sebelum dia menjawab. “Dia psikiater yang nanganin adiknya Defira,” jawabnya pada akhirnya.
“Kok telpon sih? Sejauh ini aku kalau sama Dokter gak berani telpon loh. Apalagi dia cewek,” ujar Liza tak terima.
Bastian yang juga tak tahu jawaban dari pertanyaan Liz, hanya menggedikan bahunya tak peduli.
“Awas aja ya kamu sampai selingkuh dari Defira.” Liza mencoba memperingati Bastian.
“Kok aku sih? Yang teman kamu itu aku atau Defira sih?” ujar Bastian tak terima. “Itu karena lo mata keranjang,” timpal Bara acak.
“Sembarangan lo kalau ngomong.” Bastian menoyor kepala Bara mendengar ucapan pria itu. “Sejak kapan gue mainin cewek? Deket sama cewek aja baru-baru ini.” Bastian mencoba membela dirinya.
Namun, apa yang dikatakannya itu memang sebuah kebenaran. Dia memang tak lagi berhubungan dengan makhluk yang namanya wanita setelah kejadian beberapa tahun silam.
Bara dan Liz terdiam saat mendengar apa yang diucapkan Bastian. Mereka sangat tak ingin mengungkit hal itu lagi karena mereka tahu tak mudah bagi Bastian untuk melupakannya.
“Udah lah, yang penting jangan selingkuhin Defira! Dia gadis baik loh.” Sekali lagi Liz memperingati Bastian yang kemudian diangguki oleh pria itu.
Mereka kembali berbincang tentang hal lain yang tak melibatkan hati. Akan sangat merepotkan jika mereka membawa hati.
“Kalau gitu kamu besok ke kantor aja. Nanti pulangnya kita bareng ke rumah aku dulu,” ucap Bastian pada Liza.
“Gue juga ikut, pasti mau pada makan, kan?” ujar Bara. Bastian tak bisa menolak jika pria itu sudah mengatakan ingin.
“Ya udah, ikut aja.”
Hari sudah mulai larut dan mereka tak mungkin pulang terlalu larut. “Pulang sekarang yok,” ajak Bastian yang diangguki oleh kedua temannya itu.
Mereka akhirnya pulang dengan Bastian yang menyetir. Pertama pria itu harus mengantar Liz terlebih dulu.
“Makasih udah nganter. Hati-hati di jalan ya.” Liz melambaikan tangannya saat dia sudah tiba di tempatnya.
“Hmm, bye.” Bastian kembali melajukan mobilnya untuk mengantar Bara. “Udah kaya sopir aja gue,” ujarnya.
“Kali-kali lah jadi sopir buat bawahan lo,” jawab Bara diselingi dengan kekehan.
Bastian mendengus mendengar jawaban Bara. Mereka akhirnya sampai di rumah Bara. Bara turun dan Bastian kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke rumahnya.
Hari sudah larut dan hal itu membuat Bastian kesepian karena jalan juga sudah sepi. Dia memutar musik di mobilnya untuk lebih menghidupkan suasana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments