Sepanjang malam, Defira terus saja memikirkan perkataan Ayahnya Bastian tentang pernikahan mereka.
Ada sedikit rasa sesal karena menyetujui perjanjian itu. Namun, jika dia tak melakukannya, adiknya tak akan bisa melakukan operasi.
"Kak," panggil seorang pria dengan nada lemah.
Defira langsung mengalihkan atensinya pada pria yang saat ini berbaring di hadapannya.
Dafa, adik Defira yang baru saja sadar setelah beberapa hari dia sangat betah dengan dunia mimpinya.
"Kamu mau sesuatu? Ada yang sakit?" tanya Defira beruntun.
Dia merasa khawatir walau saat ini rasa lega mendominasi hatinya.
Dafa menggeleng. "Enggak," jawabnya.
"Bentar ya, Kakak panggil Dokter dulu," ucapnya sambil hendak pergi dari sana.
"Jangan tinggalin Dafa ya," lirihnya. Defira mendekati adiknya itu dengan senyuman yang masih tersemat di wajahnya.
"Kakak gak akan kemana-mana. Cuma mau panggil dokter. Kamu harus diperiksa," jawab Defira. Tangannya terangkat untuk mengelus rambut adiknya.
Pria yang masih bersekolah di kelas satu SMA itu memiliki trauma setelah kecelakaan yang terjadi padanya dan berhasil merenggut nyawa kedua orang tuanya.
"Tunggu sebentar, Kakak gak akan lama." Setelah mendapatkan anggukan dari Dafa, Defira segera pergi dari sana untuk memanggil Dokter.
Dafa kini sendiri di ruangannya. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, wajahnya memucat dengan nafas yang terengah-engah.
Dia merasa udara di sekitarnya menipis. Pria itu berusaha untuk meraup nafas sekuat tenaga.
"Daf!" teriak Defira saat dia kembali dan melihat kondisi adiknya yang tidak baik-baik saja.
Dokter yang tadi ikut bersamanya segera menenangkan Defira dan meminta gadis itu untuk menunggu di luar.
"Silahkan tunggu di luar. Biar kami yang menangani ini." Tanpa banyak protes, Defira segera keluar dan mempercayakan adiknya pada Dokter.
Dengan panik, Defira terus merapalkan do'a agar adiknya baik-baik saja.
Entahlah, meskipun bukan dia penyebab dari kecelakaannya, tapi dia merasa tak enak hati pada adiknya.
"Tuhan, semoga dia baik-baik saja," lirih Defira tertahan. Nafasnya tercekat saat dia berusaha menahan tangisnya.
Suara pintu yang terbuka membuat Defira sedikit terlonjak sebelum akhirnya dia menghampiri Dokter itu.
"Gimana keadaan dia, Dok?" tanya Defira panik.
"Dia sudah membaik. Mungkin tadi dia hanya teringat pada kejadian kelam itu. Tapi kami berhasil menenangkannya. Untuk beberapa hari ini usahakan agar tak meninggalkannya sendirian," jelas Dokter.
Defira mengangguk tanpa memikirkan bagaimana nanti dengan pekerjaannya.
"Terima kasih, Dok," ucap Defira sebelum kemudian Dokter itu mengangguk dan berlalu dari sana.
Defira kembali masuk ke ruangan itu setelah mendapatkan izin dari Dokter.
Dilihatnya Dafa tertidur. Mungkin Dokter menyuntikan sesuatu yang membuat adiknya itu tertidur.
Setelah memastikan Dafa terlelap dan menyelimuti anak itu, Defira berjalan ke arah jendela dan mengeluarkan ponselnya.
"Iya, ada apa?" tanya orang di seberang sana.
"Maaf, Pak. Sepertinya beberapa hari ke depan saya tidak bisa masuk kantor," ucap Defira tak berbohong. Dia tak mungkin meninggalkan adiknya dalam keadaan seperti ini.
"Kenapa? Apa terjadi sesuatu?" Orang yang dihubungi Defira adalah Bastian, Bosnya.
"Adik saya tidak bisa ditinggalkan, Pak. Dia sepertinya memiliki trauma?" ucap Defira tak yakin.
Dia juga belum memastikan apakan adiknya itu benar-benar trauma atau tidak.
"Besok saya ke sana." Bukannya memberikan Defira izin, pria itu malah menawarkan diri untuk datang ke sana.
"Gak perlu, Pak. Saya baik-baik saja," jawab Defira menolak dengan halus.
"Saya tutup dulu telponnya." Bukannya menjawab ucapan Defira, Bastian malah mengabaikannya begitu saja.
Defira menjauhkan ponselnya dari telinganya, melihat apakah telponnya masih tersambung dengan Bastian atau tidak.
"Halo?" tanya Defira mencoba memastikan. Namun tak ada jawaban dari sana.
Defira kembali melihat ponselnya dan rupanya sambungan telah diputuskan oleh Bastian.
Gadis itu menghela nafas ketika dia sadar dia tak bisa menolak ucapan pria itu.
"Kenapa harus ke sini? Dia kan gak ada hubungannya sama Dafa," lirihnya.
Karena tak ingin berlarut dalam pikirannya, Defira kembali mendekati brankar adiknya.
Dia melihat adiknya masih belum bangun. Sepertinya efek obat yang diberikan dokter masih berlanjut.
****
Beberapa saat lalu Bastian baru saja tiba di rumahnya dan dia mendapatkan kabar dari Defira jika gadis itu tak akan masuk kantor besok.
Alasan yang digunakan gadis itu cukup mengejutkannya. Ada rasa sesal ketika tadi dia tak mampir dulu untuk menemui adik Defira.
"Udahlah, besok aja ke sana," ujarnya. Dia kembali berjalan ke arah kamarnya setelah sebelumnya dia duduk di ruang tamu terlebih dahulu.
"Defira sampai dengan selamat, kan?" Sebuah suara yang sangat lembut membuat Bastian terpaksa menghentikan langkahnya.
Dia menoleh dan melihat di sana ada Ibunya. "Tadi dia baik-baik aja. Tapi barusan Defira telpon katanya ada sesuatu yang terjadi sama Dafa," jawab Bastian.
Akhirnya niat awal masuk kamar dia urungkan. Dia kembali ke ruang tamu di mana kini Ibunya mendudukkan diri di sana.
"Apa yang terjadi?" tanyanya penasaran.
"Bas juga belum tau. Tapi kayanya ada hubungannya sama trauma itu," jawab Bastian.
"Trauma? Dafa? Siapa itu?" tanya wanita paruh baya itu. Siang tadi memang pertemuan pertama mereka dengan Defira sehingga orang tua Bastian belum tahu tentang kecelakaan itu.
Sementara Bastian sudah tahu semuanya karena dia meminta Defira untuk menceritakan semuanya sebelum dia bertemu dengan kedua orang tuanya.
"Hhmm, Dafa adiknya Defira. Pria itu ngalamin kecelakaan sama orang tua Defira. Dia adalah satu-satunya yang selamat dari kecelakaan itu. Selama ini dia di rumah sakit dan beberapa hari ke belakang dia melakukan operasi patah tulang." Bastian menjelaskan semua yang terjadi. Tak ada gunanya juga jika dia menutupi semuanya.
"Terus sekarang gimana?" tanya Ibunya dengan khawatir.
"Bas juga belum tau, Bu. Tapi besok Bas bakal ke sana kok," jawabnya.
Ibunya mengangguk walau raut khawatir itu masih terlihat dengan jelas di wajahnya.
"Boleh Ibu ikut?" lanjutnya. Bastian langsung menatap Ibunya karena terkejut.
"Jangan dulu deh. Dafa belum tau tentang Defira yang sudah mempunyai kekasih. Dia juga belum tau tentang Bas. Jadi biar Bas dulu yang nemuin dia, habis itu baru kalian boleh," jelasnya.
"Loh, kalian pacaran udah lama. Kenapa adiknya masih belum tau?" Wanita itu bertanya dengan heran.
Bastian tergugup saat mendengar pertanyaan itu. Dia lupa dengan semua kebohongan yang dia sampaikan kepada orang tuanya.
"B-bukan gitu. Kita emang gak bilang siapa-siapa tentang status kita. Jadi adiknya juga belum tau." Bersyukur otak Bastian cepat tanggap untuk menghadapi pertanyaan itu.
Ibunya mengangguk mengerti. "Ya udah, sampaikan salam Ibu buat mereka."
Bastian mengangguk. "Kalau gitu Bas ke atas dulu," pamitnya yang kemudian diangguki oleh Ibunya.
Kali ini Bastian benar-benar pergi ke kamarnya untuk menyelesaikan pekerjaannya agar dia bisa pergi ke rumah sakit besok hari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments