Sampai saat ini Bara masih belum tahu alasan kenapa Bastian ingin menikahi Defira tiba-tiba. Yang jelas beberapa minggu lalu dia hanya mendapatkan instruksi untuk menghandle semua pekerjaan Defira dan Bara tidak boleh menolaknya.
Hari ini untuk kali kedua pria yang menjabat sebagai Direktur itu pergi ke rumah Bastian dengan rasa penasarannya.
"Loh kayaknya lagi ada tamu," ucapnya ketika dia melihat suasana rumah Bastian yang agak ramai.
Tanpa mengurangi niat awalnya, barang melangkahkan kakinya menuju ke dalam rumah sambil memberikan salam.
Semua orang yang ada di dalam rumah itu menoleh ke arah sumber suara.
"Eh Bara, Sini masuk, Nak. Kebetulan banget kita lagi pada ngumpul." Elina Melambaikan tangannya memberikan kode agar pria itu mendekatinya.
Barat tersenyum simpul sebelum kemudian dia mendekati wanita paruh baya itu.
Sangat ketara wajah kebingungan Bara ketika pria itu melihat ada Defira dan satu bocah yang sama sekali tidak dia kenali di sana.
Gibran yang sadar dengan kebingungan Bara, akhirnya mulai angkat bicara.
"Duduk dulu, Bar," ucapnya. Barang mengganggu kemudian mendudukkan dirinya di samping Elina.
"Kenalin, dia calon istri Bastian dan yang di sebelahnya itu adiknya, Dafa." Gibran, ayahnya Bastian mencoba menjelaskan semuanya.
"Harusnya kamu juga udah kenal sama Defira kan? Dia kan kerja di kantor," lanjut Gibran sambil menatap Bara.
Sebelum menjawab, barang menolehkan pandangannya pada Bastian yang juga sedang menatapnya.
"Ah iya Ayah. Bara atau Defira kok. Ya udah lama kerja di kantor masa Bara gak tahu," jawabnya setelah mendapatkan sinyal dari Bastian.
"Kalian lagi ada acara ya?" tanya barat takut mengganggu kegiatan keluarga itu.
"Enggak kok. Kita cuma lagi ngomong-ngomong biasa aja," jawab Gibran seadanya.
Bara bersyukur jika dia benar-benar tidak mengganggu kegiatan itu.
"Jadi hal penting apa yang membuat kamu datang ke sini?" Kali ini Elina yang bertanya.
Bara menggelengkan kepalanya dengan senyuman simpul di wajahnya. "Enggak kok, Bu. Bukan urusan penting. Bara cuma mau main aja sama Bastian," jawabnya.
Bastian yang merasa tidak memiliki janji dengan pria itu mengernyitkan keningnya dan mengirim kode pada Bara.
Semua orang yang melihat itu sangat sadar jika Bara ingin menyampaikan sesuatu pada Bastian.
"Kayaknya kalian harus ngomong dulu deh." Gibran memberikan masukan pada kedua anaknya itu. Ya, Gibran sudah menganggap Bara sebagai anaknya sendiri.
Bara dan Bastian mengangguk berterima kasih kepada sang Ayah karena sudah peka dengan keadaan.
Akhirnya kedua pria jangkung itu meninggalkan tempat itu untuk menuju ke tempat yang lebih sepi. Kali ini balkon kamar Bastian yang jadi tujuan mereka.
"Jadi ada apa?" Tanpa basa-basi, Bastian langsung menanyakan maksud dari kedatangan Bara ke rumahnya.
Sebelum menjawab, cara mengeluarkan rokok dari sakunya kemudian menyalakannya.
Pria itu menghisap rokok hingga kepulan asap keluar dari mulut dan hidungnya. Hal itu juga tak jauh berbeda dengan Bastian yang sama-sama melakukannya.
"Waktu itu lo belum cerita kenapa lo tiba-tiba pengen nikah sama Defira," tanya Bara.
Bastian menghela nafasnya dan terkekeh kecil. "Gue kira ada hal penting sampai lo susul gue ke rumah," kekehnya.
Bara memusatkan perhatiannya pada Bastian. "Bagi gue ini penting, jadi jawab sekarang."
"Gue bosan dengar ocehan orang tua gue buat cepat-cepat nikah."
"Jadi?" tanya Bara belum menangkap maksud dari perkataan Bastian.
"Waktu itu kebetulan kalau nyuruh gue ngomong sama Defira tentang kerjanya yang nggak memuaskan. Mungkin itu kesempatan buat gue, buat jadiin dia istri," jelas Bastian.
"Lo serius mau nikahin dia?" tanya Bara agak ragu.
"Menurut lo?" Bara menyimpan sedikit kecurigaan pada temannya itu.
"Jangan bilang lo ..." Bara menggantungkan kalimatnya, menunggu agar Bastian menjawabnya.
"Hmm, gue bikin perjanjian sama dia." Bastian memfokuskan pandangannya pada Bara. Kali ini, topik yang sedang mereka bahas adalah hal yang sangat penting. Itu sebabnya kenapa Bastian harus berbicara dengan hati-hati.
"Lo gila?" ucap Bara tak setuju dengan ide dari sahabatnya itu.
Sebelum menjawab, Bastian kembali memalingkan pandangannya ke arah langit yang sangat indah malam ini.
"Hhmm, gue tahu ini salah. Tapi gue juga gak bisa terus-terusan dengar tekanan dari orang tua gue buat nikah. Gue juga sadar umur orang tua gue udah gak muda lagi. Mereka mau lihat anaknya nikah," jelas Bastian.
"Tapi lu juga gak harus berbuat sejauh ini," nasehat Bara.
"Satu tahun, cuma satu tahun kok nggak lebih. Setelah itu gue bakal cerai sama dia."
Bara sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Dia sangat bingung dengan pola pikir Bastian.
"Terus dia setuju?" tanyanya.
Bastian mengangguk. Asap rokok kembali keluar dari mulutnya.
"Gue bantu biaya operasi adiknya. Sebagai gantinya dia harus nikah sama gue selama setahun."
Bara memijat pelipisnya. Dia tak tahu lagi apa yang harus dia katakan.
"Bas, semua yang lo lakuin kali ini pasti bakal ada konsekuensinya. Lo siap?" Bara kembali bertanya.
"Sejak awal gue minta dia buat nikah kontrak sama gue, gue udah sadar dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan sebisa mungkin kita bakal menghindari itu semua," jawab Bastian.
"Oke kalau itu yang jadi keputusan lo. Gue gak bisa ngomong apa-apa lagi. Semoga lo bahagia sama pernikahan lo." Bara menepuk bahu Bastian sebagai tanda dia mendukung pria itu.
"Yuk balik," ajak Bara setelah dia menyelesaikan semua hal yang ingin dibahas dengan Bastian.
Bastian mengangguk. Dia menekan puntung rokok pada asbak ada di atas meja sebelum mereka kembali ke bawah.
"Rencananya kamu mau sekolah di sekolah lama kamu atau pindah ke sekolah baru?" Elina terdengar bertanya pada Dafa.
"Belum tahu, Bu. Dafa ngikut Kakak aja," jawabnya. Bukannya dia sok akrab dengan Elina, hanya saja beberapa saat lalu ketika dia memanggilnya tante, wanita paruh baya itu langsung melayangkan protesnya.
Memang benar jika letak sekolah Dafa yang lama cukup jauh dengan rumahnya yang sekarang.
"Kayaknya Dafa aku pindahin aja ke sekolah yang dekat sama rumah, Bu. Kasihan juga soalnya kalau dia harus sekolah dengan jarak yang sejauh itu." Kali ini Defira yang menjawab.
Itulah seputar pembicaraan yang terdengar di telinga Bara dan Bastian ketika mereka baru saja kembali ke sana.
Elina mengangguk paham. "Loh udah selesai kok cepat amat," ucap Gibran yang melihat kedua putranya sudah kembali turun.
"Udah Yah. Gak terlalu banyak kok. Cuma ngomongin sesuatu yang nggak terlalu penting," kekeh Bara.
Sebisa mungkin dia mencoba menormalkan ekspresinya setelah tahu apa alasan di balik Bastian yang menikahi Defira dengan tiba-tiba.
"Yakin nggak penting?" tanya Gibran menyelidiki.
Jantung Bara berpacu dengan cepat takut Ayahnya itu mengetahui apa yang dia dan Bastian sembunyikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments