Pekerjaan yang dilimpahkan Bara padanya sangat banyak hingga dia tak bisa izin barang sehari pun untuk menemani Dafa konsultasi.
Sekarang, akhirnya Dafa pergi ke dokter bersama dengan Bastian. Meskipun Bastian sendiri yang menawarkan untuk mengantar, tetap saja Defira merasa tak enak hati karena bagaimanapun Bastian adalah Bosnya.
“Kenapa ngelamun mulu?” Klara datang di sampingnya dan berhasil membuatnya terkejut.
“Ngagetin aja!” sentak Defira kesal. “Lagian bukannya kerja, itu dokumen malah diliatin mulu,” jawab Klara.
Pandangan Defira sontak tertuju pada dokumen yang saat ini sedang berada dalam genggamannya.
“Gak apa-apa. Sana kerja lagi.” Akhirnya Defira kembali bekerja dengan fokus. Begitu juga dengan Klara. Gadis itu menggelengkan kepalanya merasa heran dengan Defira sebelum kemudian memilih untuk kembali bekerja.
“Defira, ikut saya ke kantor,” ujar Bara yang tiba-tiba datang. Defira mengangguk. Dia menyimpan sejenak pekerjaannya dan mengikuti langkah kaki Bara ke dalam ruangannya.
“Lokasi terakhir yang saya bicarakan, bisakah kamu kembali ke sana buat survei?” tanya Bara pada gadis itu saat mereka tiba di sana.
Defira mengangguk menyetujuinya. “Kamu gak pergi sendiri kok. Demian akan pergi sama kamu, dia juga bertanggung jawab untuk proyek ini,” lanjut Bara.
Defira tahu Demian, hanya saja mereka tak begitu dekat. Hanya sekedar bertemu di kantor dan bertegur sapa.
“Baik, Pak,” jawab Defira. “Kamu bisa kembali bekerja. Untuk waktu surveinya nanti saya beritahu lagi,” ujar Bara yang diangguki oleh Defira.
Meski saat ini dia adalah calon dari pemilik perusahaan ini, tapi hal itu tak mengurangi rasa hormat Defira pada Bara karena di kantor, Bara tetap atasannya.
“Saya permisi, Pak.” Setelah mendapatkan izin dari Bara, Defira akhirnya keluar dari sana.
“Jadi canggung banget sama dia. Mau hormat, dia bawahan gue. Mau seenaknya, dia calon bini atasan gue.” Bara memijit pelipisnya bingung.
****
Mereka telah selesai dengan dokter untuk kontrol pasca operasi. Sekarang mereka hendak pergi ke psikiater.
Trauma yang dialami pasca kecelakaan itu membuat Dafa sedikit terganggu. Kadang dia mengalami kepanikan dalam hal-hal tertentu, dia juga sering bermimpi di malam hari.
“Apa ada perbedaan semenjak kita kontrol?” tanya Bastian pada Dafa. Mereka memang sudah beberapa kali melakukan kontrol semenjak kesembuhan Dafa.
“Hmm, baiknya sekarang aku jarang mimpi tentang kecelakaan itu, Kak. Sebelumnya, hampir tiap malam aku gak bisa tidur,” jawab Dafa.
“Baguslah. Kalau gitu pilihan buat lanjut kontrol emang pilihan yang tepat.” Dafa mengangguk.
Mereka masuk ke sebuah ruangan yang sangat nyaman. Mungkin itu didesain agar pasien merasa betah di sana.
“Hai Daf, apa kabar?” tanya Dokter wanita yang sudah Dafa kenali. Dokter dengan nama Wika itu tersenyum ramah.
“Baik, Dok.” Dafa dan Bastian duduk di kursi yang sudah disediakan di sana. Dokter Wika memandang Bastian.
Baru kali ini dia melihat pria itu. Biasanya Dafa akan datang bersama Defira, kakaknya. “Ah Dok, kenalin. Ini Kak Bastian, dia calon suami Kak Def.” Dafa memperkenalkan Bastian pada Dokter itu.
Dokter itu mengangguk dan mengulurkan tangannya. “Wika,” ujarnya. Uluran tangannya dibalas oleh Bastian.
Pria itu sepertinya tak ada niat sedikitpun untuk membalas senyum yang dikeluarkan Dokter Wika. “Bastian,” jawabnya singkat. Dia melepaskan tautan tangan mereka.
Pandangan Dokter Wika tak lepas dari wajah Bastian. Tentu saja, wanita mana yang akan bisa lepas dari pesona seorang Bastian
Badan tegap degan wajah yang sangat tampan membuat semua wanita mabuk kepayang dibuatnya.
“Dok, bisa kita mulai?” tanya Dafa yang mulai merasa ada yang janggal. Dokter Wika tersentak sebelum kemudian dia mengangguk.
Mereka mulai sesi terapi seperti yang biasa mereka lakukan. Sementara itu Bastian hanya diam memperhatikan mereka yang sedang melakukan terapi itu.
Dia baru tahu ada hal seperti ini. Apakah rasa traumanya juga bisa hilang jika dia melakukan terapi ini?
Bastian segera membuang jauh pemikirannya. Dia baik-baik saja, dia tak perlu melakukan pengobatan apapun.
Cukup lama Bastian menunggu akhirnya mereka telah selesai. Dafa mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Walaupun pengobatan ini seperti menggali masa lalunya, tapi hasilnya cukup signifikan.
Dafa kembali duduk di samping Bastian begitu juga dengan Dokter yang duduk di kursi kebanggaannya.
“Keadaannya sepertinya semakin membaik. Untuk kedepannya jika dirasa sudah tak harus melakukan ini lagi, kita bisa mengakhirinya,” ujar Dokter itu yang mendapat anggukan dari Dafa dan Bastian.
Mereka telah selesai. Bastian dan Dafa hendak keluar namun pergerakan mereka terhenti oleh panggilan Dokter Wika.
“Tunggu sebentar. Bisa saya bicara dengan Bastian?” tanya Dokter itu. Bastian heran, kenapa dia harus berbicara?
“Aku tunggu di luar ya Kak.” Dafa yang paham akhirnya pergi keluar dari ruangan itu sementara Bastian kembali duduk di kursi yang semula dia duduki.
“Ada apa?” tanya Bastian singkat. “Bisakah saya memiliki kontak Anda. Jadi jika ada sesuatu saya bisa sampaikan kepada Anda,” ujar Dokter itu.
Bastian mengernyitkan dahinya. “Saya bukan Kakak kandungnya. Harusnya Anda sudah memiliki kontak Kakaknya, kan?” tanya Bastian.
Kenapa juga dia harus memberikan nomor ponselnya. Bukankah yang lebih berhak mengetahui keadaan Dafa adalah Defira?
“Saya sudah punya. Tapi siapa tahu Kakaknya sedang memiliki gangguan seperti sekarang, jadi saya bisa menghubungi Anda,” ucapnya.
Akhirnya dengan terpaksa karena tak ingin terjebak di sana terlalu lama, Bastian memberikan kontaknya.
“Oke, makasih.” Dokter Wika tersenyum puas ketika dia berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan.
Tanpa meminta izin lagi, Bastian segera keluar dari sana. Sementara itu Wika masih tersenyum dengan puas.
Wanita dengan paras yang cantik itu sepertinya memiliki perasaan lebih pada Bastian. “Masih calon, kan? Belum jadi suami?” tanyanya dengan seringaian.
Entah kenapa niat licik muncul begitu saja dalam benaknya. Dia memutar ponsel yang ada di tangannya sebelum kemudian dia kembali bekerja.
Sementara itu Bastian dan Dafa sekarang sudah dalam perjalanan pulang. “Kakak langsung pulang?” tanya Dafa dalam perjalanan.
“Mau ke kantor dulu bentar. Kenapa? Mau ikut?” tanya Bastian. “Enggak deh malu. Aku pulang aja.” Bastian mengangguk, tak mungkin juga dia memaksa Dafa untuk ikut dengannya.
Akhirnya Bastian mengantar Dafa pulang terlebih dahulu. “Kalau kamu kesepian sendiri di rumah, kamu bisa ke rumah Kakak. Ada Ibu di sana,” ujar Bastian.
“Enggak kok. Aku ke rumah aja, nanti kapan-kapan kalau mau aku pasti ke sana,” jawab Dafa yang kemudian diangguki oleh Bastian.
Mereka tiba di rumah Dafa. Sangat sepi karena memang tak ada siapapun lagi di sana selain dirinya dan Defira. Sekarang Defira ada di kantor, jadi di rumah hanya ada dirinya saja.
“Makasih, Kak. Aku masuk dulu ya, Kakak gak mau mampir?” tanya Dafa pada Bastian. “Sama-sama. Enggak dulu deh, masih ada yang harus Kakak kerjain di kantor,” jawabnya.
Dafa mengangguk. Setelah pria itu masuk ke dalam, Bastian segera berlalu dari sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments